“Mama,
jadi kapan belikan saya keyboard?” Pinta Altar pada mamanya sekali waktu.
“Kamu
serius mau main musik?”
“Saya
janji akan belajar musik dengan baik, Ma.”
“Sabar
ya, Nak.” Ucap Mama Altar sambil membelai putra sulungnya.
Itu
dulu, hampir sedekade yang lalu. Ketika Altar masih begitu asing dengan
instrument musik. Apa yang mendesak pikirannya untuk memiliki alat musik muncul
ketika ia dan teman-temannya tak sengaja melihat seorang Oom dekat rumah
bermain piano. Om itu tak lain Oom dari teman Altar sendiri. Lentikan jemari si
Oom begitu mempesona Altar. Rasa antusiasnya pun terbayar ketika pada suatu
waktu ia berkesempatan mengutak-atik tuts piano di rumah Lalu, keponakan si
Oom.
“Ini
cara mainnya bagaimana, Om?” Yang secara kebetulan sang guru dadakan itu berada
di rumah Lalu.
“Lihat,
tuts putih ini namanya C. Tuts sebelahnya, D. Terus berurutan sampai G lalu A
dan kembali lagi di C.” Demikian kala itu Ia mendapat pelajaran paling dasar
tentang bunyi-bunyi tuts pada piano.
Tujuh
tahun berlalu, kini Altar telah memiliki sebuah keyboard pribadi, pemberian
orang tuanya saat ulang tahunnya yang ke 14. Guru demi guru ia datangi hanya
untuk menimba ilmu tentang benda persegi panjang yang mampu mengeluarkan
ratusan bunyi. Kemahirannya pun mengantarkan Altar menjadi lebih kreatif.
Beberapa lagu berhasil ia ciptakan. Dari yang paling malas ia dengar hingga
pada lagu yang ia putar beruang-ulang, meski rekamannya hanya dari handphone.
Kemenangan bersama bandnya di berbagai festival musik pun turut mewarnai
hari-harinya saat SMA. Suatu kebanggaan yang tak luput dari perhatian dan
kekaguman teman-teman perempuan di sekolahnya.
Altar
yang saat ini sedang berada jauh dari kampung halamannya mulai frustasi dengan
karir bermusiknya. Memang, awal tujuan utamanya ke Jogja bukan untuk berkarir musik,
melainkan meneruskan studi pada salah satu perguruan swasta. Namun,
keterikatannya pada musik tak mampu ia elakkan. Ia terus saja berkarya. Kali
ini lagu-lagunya lebih sering ia ciptakan dengan menggunakan sebuah gitar yang
dibawa dari kampungnya. Keyboardnya? Sengaja ia tinggalkan. Selain karena
mengalami sedikit kerusakan, ia juga merasa repot untuk membawanya.
“Kenapa
tidak membentuk band saja?” Usulku ketika awal-awal perkenalannya di kos.
Ternyata Altar memang telah berkeinginan membentuk sebuah band. Sebuah band
yang professional dan memiliki pandangan serta genre musik yang sama dengannya.
Altar sendiri menyukai musik Rock ‘n Roll. Ia sangat mengagumi Chuck Berry.
Musisi Rock n’ Roll yang begitu tenar sejak tahun 50-an hingga tahun 1979.
Lagu-lagu yang Altar ciptakan pun rata-rata bernada genre tersebut.
Memasuki
semester 3, Ia dan temannya Soekarsa membentuk sebuah band. Dengan didukung
oleh teman-teman yang ikut ambil bagian dalam proses pembuatan lagu, akhirya
dengan konsep yang sederhana Altar meluncurkan album pertamanya. Lagu-lagu yang
ia sertakan pada album ini berjumlah 10. Karena latar belakangnya yang tidak
memiliki sumber dana yang cukup, dengan optimis yang terselip pada penyesalan
(akan nasibnya) Ia hadirkan juga rekaman ‘musik kamar’. Tentu ia tidak akan
mampu merekam semua lagunya di dapur rekaman yang memakan biaya mahal. Satu
lagu yang direkam bahkan hampir sama dengan biaya kesehariannya untuk dua
minggu.
“Kita
maunya mayor label, tapi saya nggak punya uang untuk bisa diterima
produser-produser di sana. Coba indie pun kita juga harus rela rogoh uang jajan
sebulan. Itu pun cuma jadi satu lagu. Belum tentu juga ada yang mau beli.
Jangankan beli, di-download sama banyak orang saja sudah bikin senang.” Katanya
padaku, saat kami sedang berbincang-bincang.
“Ya
pelan-pelan, Al. Yang penting kamu buka jalan saja dulu. Kalau memang rezeki,
bukan tidak mungkin nantinya sejajar dengan Ahmad Dhani!?” Jawabku menanggapi
omongannya. Yang demikian mengundang tawanya.
Aku dan Altar memang sering mengobrol saat tengah malam, ketika anak kos
yang lain sedang pulas tertidur. Dan memang hanya Altar seorang yang bisa aku
ajak bertuka pikiran. Sedangkan teman kosku yang lain terasa membosankan.
Mendengarkan bagaimana Ia berusaha keras untuk menjadi musisi yang hebat,
sedikit banyak membuatku seolah terlibat pada perjalanannya itu.
Namun,
apa yang dikejar oleh Altar bukan saja soal musik. Ia pun serius menekuni
perkuliahannya. Sebagai mahasiswa ekonomi, Ia dengan idealismenya terkadang
merasa perlu berbuat sesuatu memikirkan perekonomian Indonesia yang tidak
sehat. Aku yang tak paham tentang ekonomi mengangguk saja sambil berusaha
mengimbangi wacana perekonomiannya dengan pengetahuanku yang terbatas. Sekali
waktu aku dan dia juga ikut membahas sastra. Untuk yang satu ini, pembicaraan
antara kami berdua jauh lebih mengalir dibandingkan pembicaraan tentang masalah
perekonomian. Demikian juga dengan pembahasan musik, meski kadang kala Altar
lebih banyak mengetahui sampai ke seluk beluknya. Maklum, Ia memang seorang
musisi yang kebetulan belum dikenal oleh bangsanya sendiri.
Ada
yang begitu membekas dalam hati dan pikiranku. Pun Altar, barangkali. Semua
orang yang berada di dekatnya tentu tak akan meragukan kemampuan Altar
bermusik. Lagu ciptaannya memiliki gaya yang khas jika didengar dengan teliti.
Namun, nasibnya belum lagi membawa Altar pada kesuksesan, selain rasa frustasi
yang begitu menjalar pada pikirannya. Tidak jarang ia menangis meratapi ini
semua. Keinginannya untuk sukses luar biasa besar. Bahkan, aku saja
sampai-sampai merasakan derita yang sama. Seolah nasibnya menjadi nasibku.
Masih jelas dalam ingatanku ketika Altar dan Soekarsa melakukan launching album
pertama setahun yang lalu. Dengan acara yang sangat sederhana, betul-betul
sangat sederhana dan sarat kekurangan sana-sini, Altar tetap menunjukkan
aksinya dengan tulus. Seolah ia ingin tunjukkan pada orang-orang bahwa dia
musisi handal dan professional. Meskipun aku tahu, baik aku maupun Altar disaat
yang sama merasakan perasaan sedih bercampur kecewa. Tangisan dalam hati tak
mampu lagi dibendung. Pasalnya, baik aku, Altar dan teman-teman yang lain
merasa ada yang salah pada dunia ini, negeri ini.
Tidak
banyak seorang seniman atau musisi yang begitu tulus menyajikan karya seni penuh
kualitas. Terutama jika dibandingkan banyaknya artis baru yang melejit namanya
dan kaya raya hanya karena memiliki modal yang besar untuk menyodok karyanya
secara instan tanpa bekal bermusik yang dicapai melalui kerja keras. Siapa pun
musisi yang telah mati-matian berjuang demi kesuksesan bermusik menjadi dongkol
karenanya. Seakan merasa diludahi terang-terangan. Begitu kejam kah
perindustrian musik kita? Tak mungkin untuk berkata tidak.
“Jadi
bikin album kedua?” Tanyaku suatu hari.
“Jadi.
Ini lagi proses,” jawabnya senyum.
“Sama
kayak dulu atau rekam studio?” Tanyaku menyelidik.
“Studio.
Biarin saja lama selesainya, biar juga duit jajan harus kepotong. Album ini
harus jadi.” Altar begitu yakin dengan jawabannya.
Aku
sendiri tidak pernah menyangsikan kerasnya usaha yang Ia geluti. Hampir-hampir
segalanya ia lakukan dengan serius. Altar yang sejak awal kukenal dulu, telah
aku sisiri karakternya. Ia tidak akan menyia-nyiakan setiap peluang yang ada.
Termasuk bakat-bakat yang terus saja hidup dalam dirinya.
“Kadang
capek saya harus terus menerus begini. Kiriman uang dari rumah nyendat. Kerja
di kampus juga bayarannya kecil. Saat yang bersamaan, saya juga masih rekaman.
Ini saja baru tiga lagu yang baru direkam. Stres saya mikirnya,” keluhnya
padaku malam itu.
“Sudah
manggung-manggung? Coba saja manggung, barangkali dapat fee. Syukur-syukur ketemu orang baik yang mau jadi sponsor,”
tanggapku sedikit memberi usul.
“Iya
sudah. Ini juga baru dapat tawaran mentas di Baron Café. Malam minggu nanti
mulai. Memang sih enggak dapat bayaran. Tapi, ya lumayan lah nyari nama.
Barangkali ada yang nge-fans sama saya,” Terkekeh Altar bicara.
“Soekarsa
bagaimana, masih?”
“Eh,
enggak. Dia keluar. Focus ke organisasi dia. Ada sih dia kalau sempat ikut
membantu kalau ada tawaran ngisi acara. Ini juga yang buat saya sebenarnya
kecewa dengan dia. Sudah berat gini, malah ditinggal di tengah jalan.” Altar
menjadi berubah air mukanya. Nampak rasa kecewa mengkeruti wajahnya.
“Betul-betul
kamu serius jadi musisi, Al?” Tanyaku meraba keyakinannya. Altar mengangguk.
“Enggak
takut jatuh di tengah jalan?” Sengaja aku menanyakan hal ini padanya. Karena
alaminya, seorang bermental baja sekali pun akan goyah pendirian dan
semangatnya jika digoncang cobaan. Bahkan jika cobaan itu kelihatannya kecil,
namun pada waktu yang ‘salah’ bukan tidak mungkin mampu membuat seseorang
menjadi patah arang. Menjadikannya setitik debu kotor yang melengkapi duka.
Duka yang tak pernah sempat menyentuh tabir kebahagiaan dan kemenangan.
Altar
butuh waktu sedikit lebih lama untuk menjawab pertanyaanku. Ia tertunduk.
Tatapannya kini telah menjalar pada seisi ruangan. Sedang hatinya mulai mencoba
mengetuk pintu langit. Mencari kepastian tentang keyakinannya. Aku sendiri
sedikit merasa tidak enak kalau-kalau pertanyaanku justru mematahkan
semangatnya. Yang kemudian terdengar adalah:
“Bagiku
prinsipnya satu; Serahkan Karya atau Nyawa!” Tegasnya mantap. Kulihat matanya
berbinar-binar. Batinku pun menyeruak pada pikiran, seolah ingin berkata dengan
angkuh, ‘Hei bangsaku, sungguh menyesal kalian kalau tidak mengenal sahabatku
ini!’.
Malang,
5 Februari 2014
Aqsha
Al Akbar