Friday 14 March 2014

Golput?



Mungkin jodoh, ketika saya mau menulis tentang Pemilu April dan Juli mendatang, berbarengan dengan pengumuman bahwa PDI-P mengesahkan Jokowi sebagai capres. Euforia masyarakat terlihat begitu meriah, khususnya di jejaring sosial Facebook dan Twitter. Mereka yang sejak lama mengagumi Jokowi, menyambut berita ini dengan keyakinan yang belum lagi pasti; Jokowi adalah presiden Indonesia yang akan datang.
Beh! 

Yah, saya tidak memiliki reaksi yang seragam dengan pendukung Jokowi, justru sebagai orang biasa yang bebas berpolitik, saya netral dan memilih bereaksi lewat tulisan. Tapi, tunggu, kalau ada yang menganggap tulisan ini tentang Jokowi, salah. Seperti yang saya sampaikan di atas, saya akan menulis tentang Pemilu April dan Juli nanti.

Sejak dikategorikan “dewasa” oleh hukum, saya sudah diperbolehkan untuk mengikuti pemilu. Hak ini saya dapatkan sejak 2009 lalu, ketika pemilu lima tahunan berlangsung. Namun, sampai sekarang, hak memilih yang saya miliki itu masih perawan. Belum sama sekali tersentuh cap tinta biru di ujung kelingking jari saya. Ya, saya adalah penganut ideologi “golput”. Hayyah...ideologi pula? Kira-kira begitulah. Meskipun saya memiliki kecenderungan memilih SBY waktu itu, namun tetap saja golput adalah pilihan bijaksana. Selain takut salah memilih, saya juga ragu tentang kapasitas SBY dan Partai berwarna biru itu. Eh ternyata, keraguan saya beneran terjadi: Indonesia hancur lebur di rezim SBY! Apa saja yang menyebabkan Indonesia hancur selama pemerintahan beliau? Tahu sendirilah. Sudah capek kita menjelaskan 100 lembar dosa rezim ini, eh masih ada lagi lembaran dosa yang menyusul. Nggak ada habisnya!

Di tahun politik ini, gaung pemilu kembali bergemuruh. Setiap calon, baik calon untuk badan legislatif dan eksekutif, bermunculan dan bersuara dengan sedikit kampanye. Uniknya, “kampanye” untuk menang pada pemilu ini lebih bergema dibandingkan program langsung kepada masyarakat, khususnya di wilayah pedalaman. Namun, gemuruh dan antusias menyambut pesta demokrasi tidak hinggap di hati dan pikiran saya. Pahitnya, mungkin inilah titik terendah saya memandang situasi perpolitikan tanah air. Sama sekali tidak ada rasa semangat dalam diri saya untuk “menikahi” hak saya dengan tinta biru di ujung jari kelingking.

Tentu saya boleh memiliki paham ideologi dan politik tersendiri. Dan karena hal inilah saya menyandarkan alasan untuk golput kedua kalinya. Meski terdapat kemungkinan pandangan ini berubah nantinya, namun saya memutuskan bahwa pesta demokrasi ini sia-sia, kalau sistem negara tetap seperti sekarang. Kecuali, kalau ada figur dan partai politik yang mendukung untuk melaksanakan revolusi di negara ini, bisa jadi saya akan memilih. Setidaknya, daftar di bawah ini menjadi standar saya untuk mengikuti pemilu:

- Berani mencanangkan revolusi jangka panjang untuk Indonesia.
- Inti perjuangan revolusi adalah menjadikan Indonesia sebagai negara yang; berdikari, mandiri, bebas intervensi, berkarakter sebagai satu kesatuan antar suku-suku dan berjalan lurus dengan amanat konstitusi.
- Berani menasionalisasikan aset vital negara dari genggaman swasta asing/lokal (khususnya SDA).
- Berani menghapus sistem liberal, baik ekonomi dan politik.
- Hapus sistem kapitalisme.
- Menolak bantuan IMF.
- Keluar dari forum perdagangan dunia seperti WTO.
- Lepas dari perdagangan bebas yang tidak sehat.
- Tingkatkan usaha ekonomi mikro.
- Perkuat perbankan berbasis syariah.
- Melaksanakan Land Reform.
- Reformasi hukum.
- Reformasi sistem pendidikan.
- Lumpuhkan praktik KKN secara bertahap.
- Dan yang tak kalah penting, hapus “Jawa Sentrisme”.

Hanya “sesederhana” itu alasan yang dapat membuat saya ikut pemilu. Jika ada calon yang menggagas program tersebut dalam kampanyenya, besar kemungkinan saya akan memilih. Dan, besar kemungkinan juga tidak ada figur yang berani mengangkat isu di atas. Ya iyalah, mana ada yang berani. Keburu kejedor sebelum disumpah jadi presiden. Hati-hati, agen rahasia berkeliaran.

Ya itu dululah. Toh poin-poin di atas perlu penjabaran lebih lanjut. Sedang saat ini, saya tidak bernafsu menggedor pikiran untuk berpikir daleeem lagi. *SIGH*

Malang, 14 Maret 2014
Aqsha Al Akbar

4 comments:

  1. Iya. Kali ini aku juga Golput. Capek di PHPin terus sama yang katanya wakil rakyat itu. :/

    ReplyDelete
  2. Ya gitulah bang. Walopun ada kecenderungan pada satu tokoh, saya jg gak berani milih. haha.

    ReplyDelete
  3. Aku terpaksa golput... tp jgn blg siapa2 ya..dimarahin nanti :D

    ReplyDelete

Silahkan komen yaa