Monday 3 March 2014

Hasta La Victoria Siempre, El Commandante!


El Commandante, Hugo Chavez

Awal Maret 2013 lalu, publik Venezuela tumpah ruah ke jalanan kota, terutama di ibu kota, Caracas. Bukan untuk unjuk rasa atau memperingati hari besar nasional. Bukan, hari itu tanggal 5 Mei 2013 dan hari-hari berikutnya, warga Venezuela diselimuti duka. Betapa tidak, El Commandante Hugo Chavez meninggal dunia akibat penyakit kanker yang menghantuinya selama dua tahun. Kabar ini jelas merupakan pukulan telak bagi warga Venezuela, terlebih bagi masyarakat miskin di sana.

Jutaan warga Venezuela mengantar Chavez menuju pemakamannya

Tangisan dan perasaan tidak rela warga Venezuela setelah ditinggal oleh sang pemimpin besar Revolusi Venezuela, seakan menegasikan stigma buruk yang disematkan oleh Amerika Serikat dan media pro Paman Sam tersebut. Gambaran yang menyebut Chavez sebagai pemimpin diktator dan tidak berperikemanusiaan bagi rakyatnya sendiri, terbukti salah besar! Isak tangis dan rasa cinta warga Venezuela adalah jawaban jelas, bahwa sang El Commandante adalah figur yang dikagumi oleh jutaan warganya.


Tangisan warga Venezuela setelah ditinggal Chavez

Lantas mengapa AS begitu “anti” terhadap Chavez? Seringkali ia disebut sebagai sosok yang paling berbahaya bagi Amerika Latin dan juga dunia. Tentu tidak sulit menjawab pertanyaan lugu tentang sikap AS tersebut. Sejak Chavez menjabat sebagai presiden, dengan berani ia melepaskan Venezuela dari cengkraman modal AS. Menghilangkan pengaruh AS di Venezuela yang telah subur sebelumnya. Chavez, yang sempat dipenjara (tahanan politik) layaknya sang guru, Fidel Castro, naik ke podium presiden setelah memenangkan pemilu akhir tahun 1998. Dengan sigap ia nasionalisasikan aset bangsa yang selama ini dikuasai pihak swasta lokal maupun asing.

Tentu saja hal ini membuat AS kebakaran jenggot. Pasalnya, Venezuela dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan minyak melimpah. Kebijakan ekonomi Hugo Chavez yang sosialis, memang menggiring Venezuela menjadi negara independen dalam pengembangan ekonomi. Belum lagi, kebencian AS dilatar belakangi oleh perbedaan ideologi, “Kiri” vs “Kanan”. Kiri jelaslah sebuah gelar bagi negara penganut paham yang dicetuskan oleh Karl Marx. Sedangkan Kanan, adalah sebuah ideologi yang mendewakan liberalisme dan pemenuhan hak individu seluas-luasnya. Perang ideologi ini secara signifikan mempengaruhi wilayah Amerika Latin lainnya. Sebuah kondisi yang mengkhawatirkan bagai hegemoni AS yang telah tumbuh begitu mekarnya. Tak pelak, konfrontasi Venezuela terhadap AS (kebijakan kapitalisnya) ibarat Perang Dingin masa lampau. Dimana AS dan kekuatan dari timur Uni Soviet bersitegang dalam arena ideologi.

Baik AS dan Uni Soviet kala itu, berebut kekuatan dan pengaruh. Muncul gerakan Blok Timur di bawah naungan Pakta Warsawa dan NATO bikinan AS serta sekutu sebagai perwakilan Blok Barat. Apa yang dilakukan Hugo Chavez selama memimpin Venezuela juga menyerupai Uni Soviet. Bersama Evo Morales (Bolivia) dan Rafael Correa (Ekuador), mereka “berdakwah” mengajarkan rasa cinta pada bangsa sendiri dan kemanusiaan lewat sosialisme. Sekarang, wajah Amerika Selatan/Amerika Latin menjadi wilayah “merah” alias negara-negara berhaluan sosialis. Ini pula yang membuat AS dan sekutunya di Eropa ketakutan.

Bujuk rayu AS dan Eropa yang menerapkan kebijakan ekonomi kapitalis sebagai candu bagi negara miskin, jelas merupakan bentuk soft colonialism di era modern. Dalih-dalih mengamankan keuangan negara miskin dengan memberi “bantuan” berupa utang, justru malah menjebloskan negara penerima bantuan ke dalam jurang kemiskinan yang paling fundamental. Taktik AS dan sekutu inilah yang ditolak oleh mayoritas negara anggota CELAC, sebuah komunitas negara Amerika Latin dan Karibia.

Sudah banyak contoh yang menggambarkan kesemena-menaan AS dalam melebarkan sayap kapitalismenya di dunia. Tidak usah jauh-jauh, di Indonesia sendiri perusahaan AS berdiri dengan lempangnya dari ujung Sumatera hingga ujung timur Indonesia. Sedangkan hasilnya bagi pribumi Indonesia? Nol besar! Inilah permainan utama kapitalisme dalam memperkaya diri atau korporasi tanpa kenal batas. Hal ini pula yang melatarbelakangi pola pikir subversif Chavez terhadap perekonomian yang selama bertahun-tahun dianggap “mencerahkan” dunia. Ia tidak segan menghantam AS dengan gaung revolusi negerinya dan kemandirian bangsanya. Seolah ingin membuktikan, negara manapun mampu berdiri tegak tanpa pasokan dana yang menuntut pembalasan budi ala AS.

Ketegasan Chavez tidak melulu tentang sikapnya yang kontra terhadap AS. Tetapi ia juga begitu tegas menyikapi berbagai isu global lainnya. Konflik Israel-Palestina adalah salah satunya. Ia sangat membenci Israel yang terus menerus memborbardir Gaza. Karena marah dengan Israel, dengan tegas ia usir perwakilan duta besar Israel di Venezuela. Sekaligus ia juga menegur Arab Saudi yang cenderung “adem ayem” melihat tetangga muslimnya dihancurkan Israel. Wajar saja memang, mengingat Arab Saudi sudah sangat lama berpelukan dengan kedigdayaan AS.

Sikap ketegasan yang berbau penentangan sana-sini sekaligus menyeret ia sebagai tokoh kontroversial, semata-mata dilakukan atas dasar kemanusiaan. Siapa sangka, ia begitu murah hati dan sangat mencintai keindahan. Keindahan surgawi dalam dunia. Ia menjadi seseorang yang begitu terpukul hatinya ketika melihat para manusia kelaparan dan kekurangan. Saat terjadi krisis pangan di Haiti pada 2008, dengan sigap ia mengirim armada pesawat terbang bermuatan 364 ton makanan. Lihat juga bantuannya pada Aceh saat diterjang tsunami tahun 2004 silam, Venezuela tercatat memberikan bantuan senilai 2 juta dolar AS untuk pendidikan, kesehatan dan perumahan. Belum lagi saat ia dengan ramah memberi dukungan terhadap Iran, negara kesepian yang diombang-ambing AS-Eropa karena diduga memiliki senjata pembunuh massal. Tercatat, telah 11 kali total kunjungan kedua pemimpin tersebut; Chavez & Ahmadinejad.

Rasanya sangat banyak sumbangan “cuma-cuma” yang diberikan Venezuela kepada negara-negara (yang sedang kesusahan/krisis) lain di dunia. Ini menjadi cerminan dirinya saat bersikap kepada rakyatnya sendiri. Selain kaum kaya dan borjuis, tidak ada yang membenci Hugo Chavez. Pendidikan gratis, harga BBM termurah di dunia, kesehatan gratis, perumahan gratis dan usaha untuk mereduksi jurang sosial (kaya-miskin) adalah contoh kesuksesan Hugo Chavez selama memimpin Venezuela. Tidak bijak rasanya memandang negara berhaluan sosialis ---dengan standar kebutuhan negara masing-masing—merupakan negara pengacau dan anti kemanusiaan. Sudah saatnya negara miskin, berkembang atau negara dunia ketiga bangkit dan melihat, bahwa kapitalisme adalah iblis yang menyesatkan. Bukan sosialisme sebagaimana media barat gencar memberitakannya. Termasuk Indonesia yang semakin mirip sebagai bonekanya AS.

Indonesia perlu mencotoh kebijakan Venezuela dalam upaya pemberantasan kemiskinan dan berdikari sebagai sebuah bangsa. Bangsa ini semakin lama semakin tergerus pada jurang yang sangat dalam. Krisis 1998 seharusnya menjadi pelajaran, betapa kapitalisme sebenarnya tidak akan kuat selamanya. Pun dengan krisis 2008 yang menimpa AS dan sebagian besar negara eropa. Tidak perlu berbangga diri karena Indonesia cenderung stabil pada krisis terakhir. Karena memang komoditi ekspor negara kita tidak pernah sebesar negara lain.

Akhirnya saya selalu bermimpi, mendiami negeri sendiri tanpa campur tangan pihak asing. Hidup dalam kemandirian ekonomi dan begitu kuat dalam kebudayaan. Terlalu lama hidup menunjukkan wajah hipokrit di tengah bangsa sendiri lama-lama jengah juga. Alih-alih memberdayakan kemampuan dalam negeri, kita justru bunuh diri dengan investasi palsu.

Dan engkau, Hugo Chavez sang El Commandante, semoga semangatmu menular pada anak negeri ini. Agar mampu melihat keserakahan dan kekejaman kapitalis global yang membunuh ribuan anak penerus bangsa.

Hasta Siempre, Hugo!
Tak banyak kata yang bisa kusebutkan. Karena memang membahas Hugo Chavez tidak ada habisnya. Hari ini, 3 Maret 2014, aku datang lebih cepat dua hari menuju peringatan setahun pasca meninggalnya engkau. Layaknya seorang rakyatmu, Frank Aponte yang rela mengantre dua hari demi mengantarkan engkau pada peristirahatan terakhir.

Hasta La Victoria Siempre, El Commandante!


Malang, 3 Maret 2014

Aqsha Al Akbar

No comments:

Post a Comment

Silahkan komen yaa