Karena memang aku mencintainya dari sisi takutku. Takut
menerima rasa yang muncul. Takut pada pengakuanku. Takut pada ungkapan cinta. Takut
pada penolakan. Menjadi sedemikian romantis dalam ketakutan.
“Aku berusaha mati-matian mengumpulkan keberanian
untuk mengatakan semua ini padamu,” aku berlatih di hadapan tembok.
Tak khusyuk. Azan tiba-tiba memanggil, menghentikan
latihanku yang kesekian kalinya. Selesai shalat, aku kembali duduk di depan
laptop. Kebetulan ada internet yang menyediakan perahu untuk berlayar menuju
pelabuhan dirinya. Kupandangi wajahnya dalam bingkai layar social media. Dari senyumannya seolah memberi setangkai cinta di
taman kecilku.
“Aku mencoba untuk mengakui, bahwa kamu sesungguhnya
yang aku cinta. Terimalah cintaku!” di sela mimpi kecil, aku bersenggama dalam
bayang-bayang cinta.
Malang, 3 Maret 2014
Aqsha Al Akbar
:')
ReplyDelete