Nampaknya
fantasi menjadi saksi dari petualanganku di bukit aksara. Selama dua puluh
delapan hari, kesenangan muncul secara pasti. Barangkali, inilah titik awal
dari sebuah perjalanan. Dimulai pada awal Februari, ragam janji sebagian
kututupi. Sedang sebagian optimisme memuncaki jati diri. Ya, akhirnya matahari
terakhir Februari menyajikan penutupan yang hakiki.
Tentu
saja bulan Februari memberiku banyak kesan. Mungkin ia mencoba menerangkan
bagaimana pepohonan doa bertunas. Harapan menjadi seseorang dalam konteks karir
yang idealis, semakin hari semakin bergema. Memadatkan sumbu hingga meledakkan
gelora, menjadi wajar. Karena semangat idealisme akan menerbitkan layar resesi
andai terus menerus dihembus buaian dosa.
Pada
bulan kedua ini, laksana pengukur pasti, dua puluh dua tulisan di blog sudah
kuterbitkan. Tentu saja ini belum ditambah dengan beberapa karya yang sengaja
kueramkan sampai menetas. Mungkin saja kekuatan idealisme sedang menunjukkan
tajinya. Sementara puji-puji tidak lekang dalam dzikir. Karena ini yang
sebaik-baiknya dikultuskan.
Sebenarnya,
perjalanan di bulan ini tidak begitu saja tanpa aral. Itu akan selalu ada,
entah sebagai duri yang menyakiti atau sebagai duri yang justru mengobati. Karena
nikmat ujian ada kala pasrah diri menjadi kunci sejati. Penting juga mengingat
rentetan kisah yang mengantarku dari satu peron ke peron lain. Seolah memberi
ruang agar dapat merasa segala personifikasi dari realita. Meski terdapat juga
lembaran dalam bentuk nyata. Bukan sembarang lembaran biasa. Ia justru yang
dengan caranya sendiri menyisipkan butiran idealisme ke dalam tubuhku. Sosok itu
tidak lain seorang temanku sendiri.
Nazri |
Ada
hal yang menarik dari dirinya. Entah memaksa memirip-miripkan kata dalam rima
bersama Februari, namun rasanya cocok jika citra bulan ini lekat padanya. Temanku
ini bernama Nazri. Seorang teman SMA yang juga akrab dipanggil ‘Ayi’ atau ‘Ai’.
Sebagian lainnya memanggil ‘Ateng’ atau juga ‘Kepik’. Ah, itu cuma sekedar
sebutan nama. Namun, yang jelas ini menjadi hal menarik untuk diungkapkan;
Nazri dan Februari.
Ini
bukan tentang penggambaran dirinya secara utuh. Apalagi sebagai sebuah biografi
atau catatan tentang figur. Tetapi, ini mengenai semangat yang ia tularkan
padaku. Beberapa penulis dalam suatu komunitas, telah menuliskan catatan kecil
tentang dirinya. Tentu saja berdasarkan pengalaman bersama sosok bertubuh mini
itu. Bedanya dengan mereka, pada tulisan ini lebih tepat menggambarkan ia
sebagai seorang teman sejak SMA yang kini telah mengapung di atas samudera
kata. Satu ketakjubanku, jelas dari cara ia merendah saat menerima dirinya
dikagumi, terutama karena ‘anak rohani’nya.
Begitu
juga denganku, kekaguman juga melekat pada tulisan yang ia tulis lewat blog
pribadinya. Jujur saja, aku belum membaca karya dia yang telah diterbitkan
dalam beberapa buku, entah antologi atau novel. Yang jelas, aku tidak bisa
memungkiri bahwa tulisannya mampu mengangkat semangatku. Bukan hanya lewat
tulisannya, tetapi juga lewat obrolan-obrolanku dengannya selama Februari ini.
Aku
menganggapnya sebagai guru, meski ia berkali-kali menolak. Tidak ada rasa
keseganan dalam diriku ketika menyematkan ‘gelar’ itu padanya. Bagiku, mereka
yang memiliki kelebihan yang tidak/belum kumiliki, pantas dijadikan teladan. Aku
tidak membual akan hal ini. Karena sejatinya guru, ia yang tidak pernah meminta
disebut sebagai guru, namun tak pernah henti ‘mengajari’. Terima kasih mungkin
tidak cukup, tetapi saat ini hanya itu yang dapat dihaturkan.
Mungkin
ia tidak sadar tentang kesan yang tumbuh dari orang lain terhadapnya. Tetapi,
tersirat nyata ia mensyukuri semua itu. Setidaknya tulisannya menunjukkan
siratan tersebut. Demikian juga dengan diriku, karena kegelisahan akhirnya
selalu bertemu ujung. Meski harus mengalami reinkarnasi terus menerus. Spesialnya,
bulan Februari ini bukan hanya tentang bagaimana aku mengalami proses, tetapi
juga memahami arti penting dari sebuah relasi. Akhirnya, gong bulan ketiga
telah disiapkan. Penabuh harapan juga telah siap menggetarkan. Dari takdirNya,
aku ucapkan terima kasih Februari. Semoga pagi ini menjadi seutas janji yang
enggan terputus lagi; untuk sebuah perjalanan yang hakiki.
Malang, 28 Februari
Aqsha Al Akbar
aduuh makjang! apa ini? baru baca aku..
ReplyDeletehahaha
Makasi Way, aku dan febuari, kayaknya mirip judul novel teenlit gitu :D
Sekali lagi, aku bukan guru, meskipun sempat jadi mahasiswa FKIP, tapi kan nggak lulus.
Kita sama-sama belajar, jadi kita harus cari guru bareng juga. Setidaknya saling berbagi pengalaman, ataupun relasi. Aku yakin, kau lebih dari cuway yang aku kenal. Nyatanya, sampe sekarang aku terus pelajari tulisan kau di blog, terutama cerpen, aku suka gaya cerpen kau. Impas, aku yang sebenarnya belajar sama kau. Terima kasih guru. :)