Friday 28 February 2014

Rima Bulan Kedua


Nampaknya fantasi menjadi saksi dari petualanganku di bukit aksara. Selama dua puluh delapan hari, kesenangan muncul secara pasti. Barangkali, inilah titik awal dari sebuah perjalanan. Dimulai pada awal Februari, ragam janji sebagian kututupi. Sedang sebagian optimisme memuncaki jati diri. Ya, akhirnya matahari terakhir Februari menyajikan penutupan yang hakiki.

Tentu saja bulan Februari memberiku banyak kesan. Mungkin ia mencoba menerangkan bagaimana pepohonan doa bertunas. Harapan menjadi seseorang dalam konteks karir yang idealis, semakin hari semakin bergema. Memadatkan sumbu hingga meledakkan gelora, menjadi wajar. Karena semangat idealisme akan menerbitkan layar resesi andai terus menerus dihembus buaian dosa.

Pada bulan kedua ini, laksana pengukur pasti, dua puluh dua tulisan di blog sudah kuterbitkan. Tentu saja ini belum ditambah dengan beberapa karya yang sengaja kueramkan sampai menetas. Mungkin saja kekuatan idealisme sedang menunjukkan tajinya. Sementara puji-puji tidak lekang dalam dzikir. Karena ini yang sebaik-baiknya dikultuskan.

Sebenarnya, perjalanan di bulan ini tidak begitu saja tanpa aral. Itu akan selalu ada, entah sebagai duri yang menyakiti atau sebagai duri yang justru mengobati. Karena nikmat ujian ada kala pasrah diri menjadi kunci sejati. Penting juga mengingat rentetan kisah yang mengantarku dari satu peron ke peron lain. Seolah memberi ruang agar dapat merasa segala personifikasi dari realita. Meski terdapat juga lembaran dalam bentuk nyata. Bukan sembarang lembaran biasa. Ia justru yang dengan caranya sendiri menyisipkan butiran idealisme ke dalam tubuhku. Sosok itu tidak lain seorang temanku sendiri.

Nazri
Ada hal yang menarik dari dirinya. Entah memaksa memirip-miripkan kata dalam rima bersama Februari, namun rasanya cocok jika citra bulan ini lekat padanya. Temanku ini bernama Nazri. Seorang teman SMA yang juga akrab dipanggil ‘Ayi’ atau ‘Ai’. Sebagian lainnya memanggil ‘Ateng’ atau juga ‘Kepik’. Ah, itu cuma sekedar sebutan nama. Namun, yang jelas ini menjadi hal menarik untuk diungkapkan; Nazri dan Februari.

Ini bukan tentang penggambaran dirinya secara utuh. Apalagi sebagai sebuah biografi atau catatan tentang figur. Tetapi, ini mengenai semangat yang ia tularkan padaku. Beberapa penulis dalam suatu komunitas, telah menuliskan catatan kecil tentang dirinya. Tentu saja berdasarkan pengalaman bersama sosok bertubuh mini itu. Bedanya dengan mereka, pada tulisan ini lebih tepat menggambarkan ia sebagai seorang teman sejak SMA yang kini telah mengapung di atas samudera kata. Satu ketakjubanku, jelas dari cara ia merendah saat menerima dirinya dikagumi, terutama karena ‘anak rohani’nya.

Begitu juga denganku, kekaguman juga melekat pada tulisan yang ia tulis lewat blog pribadinya. Jujur saja, aku belum membaca karya dia yang telah diterbitkan dalam beberapa buku, entah antologi atau novel. Yang jelas, aku tidak bisa memungkiri bahwa tulisannya mampu mengangkat semangatku. Bukan hanya lewat tulisannya, tetapi juga lewat obrolan-obrolanku dengannya selama Februari ini.

Aku menganggapnya sebagai guru, meski ia berkali-kali menolak. Tidak ada rasa keseganan dalam diriku ketika menyematkan ‘gelar’ itu padanya. Bagiku, mereka yang memiliki kelebihan yang tidak/belum kumiliki, pantas dijadikan teladan. Aku tidak membual akan hal ini. Karena sejatinya guru, ia yang tidak pernah meminta disebut sebagai guru, namun tak pernah henti ‘mengajari’. Terima kasih mungkin tidak cukup, tetapi saat ini hanya itu yang dapat dihaturkan.

Mungkin ia tidak sadar tentang kesan yang tumbuh dari orang lain terhadapnya. Tetapi, tersirat nyata ia mensyukuri semua itu. Setidaknya tulisannya menunjukkan siratan tersebut. Demikian juga dengan diriku, karena kegelisahan akhirnya selalu bertemu ujung. Meski harus mengalami reinkarnasi terus menerus. Spesialnya, bulan Februari ini bukan hanya tentang bagaimana aku mengalami proses, tetapi juga memahami arti penting dari sebuah relasi. Akhirnya, gong bulan ketiga telah disiapkan. Penabuh harapan juga telah siap menggetarkan. Dari takdirNya, aku ucapkan terima kasih Februari. Semoga pagi ini menjadi seutas janji yang enggan terputus lagi; untuk sebuah perjalanan yang hakiki.

Malang, 28 Februari
Aqsha Al Akbar


1 comment:

  1. aduuh makjang! apa ini? baru baca aku..
    hahaha

    Makasi Way, aku dan febuari, kayaknya mirip judul novel teenlit gitu :D
    Sekali lagi, aku bukan guru, meskipun sempat jadi mahasiswa FKIP, tapi kan nggak lulus.
    Kita sama-sama belajar, jadi kita harus cari guru bareng juga. Setidaknya saling berbagi pengalaman, ataupun relasi. Aku yakin, kau lebih dari cuway yang aku kenal. Nyatanya, sampe sekarang aku terus pelajari tulisan kau di blog, terutama cerpen, aku suka gaya cerpen kau. Impas, aku yang sebenarnya belajar sama kau. Terima kasih guru. :)

    ReplyDelete

Silahkan komen yaa