Orang
tua itu masih saja duduk memandangi anaknya yang pertama. Sedang anaknya itu,
Yusuf, hanya mampu tertunduk lesu. Ingin bicara, namun juga tidak berani.
Baginya, sosok dua orang yang dihadapannya bagaikan dua jenderal yang sedang
memarahi prajuritnya. Hanya kata “ya” yang seakan diizinkan oleh mereka.
Bantahan berarti melawan. Melawan berarti isyarat kedurhakaan. Durhaka berarti
neraka jahanam. Begitu lah ucapan orang tua dan guru-guru Yusuf sejak Ia kecil.
Sekarang pun tetap berlaku. Meski usia Yusuf telah mencapai 22 tahun, aturan
tak tertulis itu harus tetap dipatuhi. Tak peduli alasan apapun.
Sudah
dua jam lamanya Yusuf diceramahi oleh orang tuanya. Si bapak lebih suka
berceramah dalam intonasi yang keras dan menggetarkan. Bahkan suara si bapak
sudah merubuhkan tembok-tembok yang membentengi rumah Yusuf. Rumah yang besar
dan megah. Dengan pilar-pilar yang menjulang tinggi di teras sisi depan, sisi
kanan, sisi kiri dan sisi belakang rumah. Berwarna putih keemasan. Awal
konstruksi dulu, para arsitek yang disewa si bapak mengatakan, “pilar-pilar ini
adalah symbol kekokohan rumah bapak. Gempa sekalipun tidak akan meggoyahkan
pilar-pilar raksasa nan perkasa ini”, kata para arsitek mantap. Tapi, tidak
dengan ledakan suara si bapak. Pilar-pilar yang kokoh itu nyatanya runtuh.
Awalnya empat pilar bagian depan yang patah dan tumbang satu per satu. Kemudian,
satu dua tambahan ledakan berikutnya karena amarah yang dilontarkan si bapak
hingga liurnya muncrat-muncrat, tak mampu lagi dibendung oleh tujuh pilar sisi
belakang. Mengetahui hal ini, pilar sisi kiri dan sisi kanan mulai waspada.
Berharap cemas mereka tidak rubuh layaknya saudara mereka di sisi depan dan
belakang. Harapan mereka terkabulkan. Suara si bapak yang memarahi Yusuf selanjutnya
tidak terlalu keras. Kalau saja tidak ada dinding-dinding yang menahannya lebih
dulu, bukan tidak mungkin pilar sisi kiri dan kanan juga mengalami nasib yang
sama.
Yusuf
yang mendengar amarah si bapak masih tetap tertunduk sambil sesekali
mengucapkan “ya”. Itu pun dengan terbata-bata. Untuk kata “ya” saja Ia harus
terbata-bata. Sungguh itu kata paling pendek dalam kamus bahasa Indonesia. Namun, bedanya kali ini, Yusuf tidak hanya
tertunduk dan mengucapkan “ya”. Ia yang berbadan besar dan kekar (barangkali
rajin ikut fitness) sekaligus bermuka garang ini mulai menitikkan air mata. Tak
kuasa menahan diri dari desakan dalam badannya untuk meneteskan air mata. Ia
tidak menangis. Tidak. Ia hanya menitikkan air mata. Namun, cukup kiranya
tetesan itu membuat ruang tengah rumahnya tempat Ia disidang oleh ‘malaikat
siksa kubur’ tersebut menjadi banjir. Ia malu. Ia pun bingung, alasan apa yang
membuat Ia menitikkan air mata. Takut kah? Boleh jadi. Sedih? Ah, badannya yang
atletis dan wajahnya yang garang itu sungguh perkasa untuk menunjukkan kesedihannya.
Awalnya
genangan air hanya semata kaki. Namun, semakin derasnya goncangan yang Ia
rasakan ditubuhnya, akhirnya genangan air mata tersebut mulai mencapai ujung
sofa tempat Ia dan orang tuanya duduk. Sekitar sepaha lah tingginya. Hal yang
membuat mereka bertiga menaikkan kaki-kakinya untuk dilipatkan diatas sofa.
Melihat hal ini si bapak mulai bicara lagi:
“Nangis
kau!? Anak laki kok cengeng!? Diam!!”
Si
bapak yang melihat Yusuf telah melipatkan kaki di atas sofa berkomentar lagi:
“Itu
kaki kau! Turunkan! Sejak kapan kau menjadi tidak sopan!? Bahkan sampai tata krama
sopan santun yang paling remeh pun kau langgar! Turunkan!” Teriak si bapak.
Maka turun lah pelan-pelan kaki si Yusuf. Namun hal ini tak semudah yang
dibayangkan. Ia turunkan juga kakiknya dengan getaran gemetar yang amat sangat.
Maka setelah 30 menit berusaha menurunkan kakinya dengan susah payah, tersentuh
lah karpet berbahan benang emas dengan berat emas 1 kilogram saat kaki-kakinya mulai
terasa dingin. Konon karpet tersebut dibeli si bapak dari Turki. Tidak
main-main harganya, Rp. 30 milyar jadi mahar. Karpet yang diberi nama oleh
pembuatnya ‘Universe’.
Melihat
kaki anaknya sudah mendarat dengan mulusnya di ujung benang karpet, si bapak
mulai tenang. Kemudian tangannya menggapai sebuah kotak yang berada di atas
meja. Kotak yang berbentuk persegi panjang itu ternyata adalah kotak tempat si
bapak menyimpan cerutu. Sebagai orang yang kaya raya, cerutu si bapak pun
memiliki gengsinya tersendiri. Tahu apa mereknya? Gurkha Black Dragon!
Harganya? Bukan kepalang mahalnya, senilai $1.150.00! Cukup mahal untuk sepuluh
batang cerutu. Dengan gas api Zippo Mysteries of the Forest Set miliknya,
dibakar lah cerutu tersebut dengan perlahan. Seakan tidak ingin menyiakan waktu
sedikit pun. Terbakar lah semua cerutu tersebut. Dihisapnya cerutu tersebut
dalam dan khusyuk hingga asapnya begitu mengepul dan membentuk awan-awan.
Bahkan awan-awan yang berada di atas langit pun minggir semuanya. Tahu,
awan-awan yang dibentuk oleh si bapak jauh lebih mentereng dibanding kaum
awan-awan lainnya. “Heh, ada lawan!?” celetuk sombong oleh awan-awan si bapak
pada awan-awan lain.
Namun,
ternyata ketenangan si bapak tidak berhenti sekejap itu saja. Iya benar memang
bahwa anaknya, Yusuf telah menurunkan kakinya ke lantai berselimut karpet
‘Universe’. Tapi, itu, air mata si Yusuf masih saja menetes. Maka bangkit lah
si bapak. Awalnya ia ingin berdiri di atas karpet kebanggaannya, namun tidak
jadi karena genangan air mata telah membasah-kuyupkan seisi ruang tengah.
Alhasil si bapak berdiri di atas sofa dan mencak-mencak pada anaknya yang
berada sekitar 1 meter dihadapannya.
“Cengeng!
Hentikan tangismu! Banci!” teriaknya tanpa tedeng aling.
Maka
mulai lah Yusuf menghentikan tetesan air matanya. Kali ini memang tidak sesulit
menurunkan kakinya. Tidak membutuhkan waktu lama Ia telah menghentikan tangisan
kecilnya itu. Namun, yang terjadi justru lebih mencengangkan. Karena ketakutan,
Yusuf menjadi pucat dan suhu tubuhnya berubah menjadi dingin. Bahkan nyaris
menyamai suhu rata-rata kutub utara. Petaka yang mencengankan itu bukan karena
suhun badannya yang dingin. Tapi, sebelum tetesan air matanya berhenti total,
Yusuf telah kedinginan sebelum dua tetesan air matanya yang terakhir. Tetesan
yang tidak sempat Ia sapu melalui tangannya yang kekar berurat. Alhasil, tumpah
lah tetesan terakhir tersebut ke dalam kolam kecil yang berada di ruang tengah.
Dengan cepat, ibarat api yang menghisapi lautan minyak, dua tetesan air mata
ini sukses menularkan nyawanya dengan cepat pada tetesan air mata lainnya yang
telah menggenang hingga mengakibatkan genangan tersebut terkontaminasi oleh
senyawa dingin yang terkandung di dalamnya. BEKU! Iya! Beku lah semua genangan
air di ruang tengah tersebut. Si ibu yang awalnya tidak menyadari, mulai
mengerti setelah salah satu antingnya yang terbuat dari mutiara sungai Nil
jatuh ke genangan dan membeku.
Sedangkan
si bapak menyadarinya saat tiga helai kumisnya yang tidak sengaja tersenggol
bara api cerutu mengenai kumisnya yang panjang di sisi kanan atas bibirnya.
Sehingga menyebabkan tiga helai kumis itu terbelah setengah. Sedang setengah
bagian lainnya jatuh ke genangan air mata yang telah membeku. Dilihatnya
perlahan setengah tiga helai kumis itu jatuh ke genangan beku. Tentu saja ia
mampu melihat. Karena proses gravitasi saat itu sedang menurun, sehingga
memperlambat gerak benda jatuh dari atas ke bawah. Ia perhatikan betul kumisnya
yang terpotong itu jungkir balik menahan angin. Sebentar meliuk ke sudut 130
derajat, sebentar juga meliuk ke sudut 60 derajat hingga menukik tajam ke
bawah. ‘Tik..tik…tikk’, jatuh lah semua potongan kumisnya itu dan menancap di
ujung genangan beku yang telah menjadi es. Membentuk duri-duri baru yang tajam
ujungnya. Kaget lah si bapak melihatnya. Kemudian takjub. Namun, ketakjubannya
itu tidak berlangsung lama. Ia sadar sesuatu yang lebih WAH sedang terpapar di
hadapannya.
Iya!
Petaka sesungguhnya. Awalnya Yusuf hendak menaikkan kakinya ke atas sofa lagi
dan berniat melipat rapi. Namun, mengingat bentakan si bapak yang tidak
mengizinkan anaknya lepas dari tata krama kesopanan, membuatnya urung. Baru
kemudian setelah Ia melihat anting dan tiga potong kumis yang tinggal setengah
milik si ibu dan si bapaknya jatuh dan membeku membuat Ia tak ingin berpikir
panjang serta bertekad menaikkan kakinya. Kali ini Ia serius! Terserah bentakan
apa lagi nantinya. Maka dengan sigap diangkatlah kakinya. Namun yang terjadi
sungguh membuatnya lemas. Dua kakinya putus! Karena ia begitu memaksa dengan
keras untuk menarik kakinya dari es yang sudah sangat membeku, akhirnya kaki
itu terputus. Kaki kanannya putus dari pangkal paha. Dan kaki kirinya putus
dari ujung lutut ke bawah. Darah pun mengalir dengan derasnya. Tulang-tulang
kakinya yang sudah merah kemerahan karena darah terlihat. Hal ini membuat es
yang mengitari ruang tengah menjadi berwarna merah. Mirip warna es pertama di Jepang
dahulu kala, saat para anggota Kaisar menikmati sajian es krim pertama dengan
campuran sirup dan rasa. Namun, bedanya es yang telah berwarna merah ini tidak
bisa dinikmati sebagai es krim.
Si
bapak yang tidak tahan melihat darah kemudian membentaki Yusuf lagi. Kali ini
lain bentakannya.
“Itu
darahmu! Hentikan darahmu itu! Jangan biarkan dia mengalir!” Teriak si bapak.
Cukup keras sambil menunjuk-nunjuk ke sumber aliran darah hingga menjatuhkan
lampu Kristal yang berada di atas mereka. Beruntung tidak mengenai para hadirin
sidang.
“Lho,
gimana sih pak? Emangnya darah bisa dihentikan dengan mudah!? Bapak ini
aneh-aneh saja.” Celetuk si ibu menginterupsi si bapak.
“Oh
iya bu. Betul. Lupa bapak,” yang wajahnya memerah menahan malu sambil hendak
ketawa. Namun ditahan karena gengsi tidak ingin diketahui kebodohannya
dihadapan si anak, Yusuf.
Akhirnya,
setelah suara si bapak mulai serak, ia mengisyaratkan pada si ibu untuk gantian
memarahi si Yusuf. Dan mulai lah si ibu memarahi anak sulungnya itu. Berbeda
dengan hentakan suara si bapak, suara si ibu memiliki khasnya sendiri.
Melengkiiiiiiiiiiiiiiing! Hingga memekakkan telinga si bapak dan Yusuf.
Kaca-kaca yang berada di seisi rumah pecah semua. Berkeping-keping. Saking
melengkingnya, suara si ibu mencapai 10 oktaf! Dengan mudah dikalahkannya suara
Georgia Brown, perempuan asal Italia yang suaranya mencapai 8 oktaf dan
memegang rekor dunia. Suara tinggi si ibu pun seakan memandang remeh suara
dentuman keras si bapak. Si bapak boleh saja merubuhkan empat pilar sisi depan
dan tujuh pilar sisi belakang. Namun, suara Super Giga Soprano si ibu dengan
mudahnya melenyapkan segala yang ada. Lima pilar sisi kanan dan lima pilar sisi
kiri rubuh jadi abu seketika. Sedang fondasi rumah dan bahkan isi-isi rumah
ikut terbang! Awan-awan yang lahir dari cerutu si bapak lari terbirit-birit
meminta pertolongan ke kawanan awan lainnya. Kumis si bapak? Terbang! Lenyap!
Hanya satu yang tidak terusik karena lengkingannya, yaitu es yang membeku
karena air mata Yusuf.
Sedangkan
si Yusuf dan si bapak bagaimana nasibnya? Jika rumah bertingkat lima saja bisa
lenyap dan terbang bagai tersapu tornado, apalagi hanya seonggok lelaki tua dan
seonggok lelaki cengeng? Ya tentu saja mereka berdua ikut terbang. Pakaian mereka
pun lepas. Meninggalkan badan tanpa sehelai benang. Parahnya lagi si bapak yang
terbang telanjang ini menembus tembok penjara LP Cipinang. Terkaget-kaget lah
para sipir penjara yang berada disana. Terlebih saat itu sedang terjadi sidak yang
dilakukan pak Wamenkumham bersama jajaran petinggi KPK. Yang membikin kaget
bukan karena jebolnya tembok penjara oleh terjangan tubuh si bapak. Melainkan
sobeknya perut si bapak, mungkin terbeset atau apa, hal yang membuat segala isi
dalam perut si bapak terburai keluar. Pak Wamen, Petinggi KPK, Kepala Sipir
Penjara dan para napi yang lain pun terbelalak melihat seonggok badan si bapak.
Yang terburai keluar dari dalam badan si bapak bukan organ tubuh. Tetapi ribuan
kepingan emas, lembaran rupiah dan dollar, lembaran cek, dokumen rahasia hingga
surat-surat penting Negara. Dan yang membikin geli para hadirin penjara LP
Cipinang adalah keluarnya tikus-tikus dari mulut si bapak. Mengendap-ngendap diri
seakan berusaha lari dari segala yang ada disana. Mengetahui ini semua, baik
Pak Wamen dan lainnya berlalu saja sambil komat-kamit satu sama lain. Tubuh si
bapak? Barangkali memang disitu tempatnya.
Lain
si bapak, lain pula Yusuf. Ia yang juga ikut jadi korban dari terjangan
lengkingan suara si ibu justru tersangkut di kawanan awan yang menggantung di
langit nirwana. Yusuf yang tadinya tanpa sehelai benang, kini telah berbaju
putih berlapis kain sutra. Saat Yusuf membuka matanya, segera lah Ia menyadari
bahwa Ia sedang berada di suatu tempat yang tak terlukiskan keindahannya,
melainkan perasaan yang tak kenal duka barang setitik pun. Dengan sendirinya
pula Ia berjalan ke arah sebuah pohon dengan buahnya yang menggoda. Hingga
dirinya tanpa sadar telah berdiri di hadapan pohon tersebut. Pohon yang berada
di perbukitan. Saat hendak memetik buah tersebut, terdengar olehnya
suara-suara, “Jangan!” Menolehlah dia ke sekelilingnya, kosong. Tidak ditemuinya
siapa pun. Karena sudah kebiasaannya untuk patuh, Ia tidak jadi memetik buah di
pohon terlarang itu. Maka berlalu lah dia. Namun, saat berjalan kembali Ia
tersentak dan segera melihat ke bawah; kaki. Ya! Ia telah dapatkan kembali
kakinya yang sempat terputus. Tersenyum mekar lah dia. Dengan perasaan yang
gembira mulai lah Yusuf berlari-lari kesana-kemari. Tak pernah Ia rasakan
perasaan sebahagia itu sebelumnya.
Si
ibu yang terngaga melihat segala sesuatu yang berada disekitarnya lenyap mulai
kebingungan. Pajangan patung emas yang ia kagumi pun tidak terlihat lagi di
ujung ruangan. Pun halnya dengan galeri perhiasan yang telah dibeli dari Swis,
Perancis dan Inggris juga hilang. Meraung lah si ibu. Betapa sakit hatinya
melihat benda-benda nomor wahid itu lenyap seketika. Terlebih karena ulahnya
sendiri yang telah mengeluarkan jurus pamungkas; suara beroktaf 10 dan
berkekuatan Super Giga Soprano. Tertunduk lah ia. Dan kemudian dipandanginya es
berwarna merah disekelilingnya. Es dari air mata anaknya. Kali ini ia meraung sejadi-jadinya. Entah apa yang dirasakannya.
Malang,
2 Februari 2014
Aqsha
Al Akbar
Pasti di pucuk jagung 9 alamat rumahnya :D
ReplyDeleteYang ada mobil kijang biru itu?
ReplyDeleteHuahaha, sialan kau way..
ReplyDeletetega kau angkat cerita masa lalu mr Y ..
:D