Sunday 2 February 2014

Lengkingan





Orang tua itu masih saja duduk memandangi anaknya yang pertama. Sedang anaknya itu, Yusuf, hanya mampu tertunduk lesu. Ingin bicara, namun juga tidak berani. Baginya, sosok dua orang yang dihadapannya bagaikan dua jenderal yang sedang memarahi prajuritnya. Hanya kata “ya” yang seakan diizinkan oleh mereka. Bantahan berarti melawan. Melawan berarti isyarat kedurhakaan. Durhaka berarti neraka jahanam. Begitu lah ucapan orang tua dan guru-guru Yusuf sejak Ia kecil. Sekarang pun tetap berlaku. Meski usia Yusuf telah mencapai 22 tahun, aturan tak tertulis itu harus tetap dipatuhi. Tak peduli alasan apapun. 


Sudah dua jam lamanya Yusuf diceramahi oleh orang tuanya. Si bapak lebih suka berceramah dalam intonasi yang keras dan menggetarkan. Bahkan suara si bapak sudah merubuhkan tembok-tembok yang membentengi rumah Yusuf. Rumah yang besar dan megah. Dengan pilar-pilar yang menjulang tinggi di teras sisi depan, sisi kanan, sisi kiri dan sisi belakang rumah. Berwarna putih keemasan. Awal konstruksi dulu, para arsitek yang disewa si bapak mengatakan, “pilar-pilar ini adalah symbol kekokohan rumah bapak. Gempa sekalipun tidak akan meggoyahkan pilar-pilar raksasa nan perkasa ini”, kata para arsitek mantap. Tapi, tidak dengan ledakan suara si bapak. Pilar-pilar yang kokoh itu nyatanya runtuh. Awalnya empat pilar bagian depan yang patah dan tumbang satu per satu. Kemudian, satu dua tambahan ledakan berikutnya karena amarah yang dilontarkan si bapak hingga liurnya muncrat-muncrat, tak mampu lagi dibendung oleh tujuh pilar sisi belakang. Mengetahui hal ini, pilar sisi kiri dan sisi kanan mulai waspada. Berharap cemas mereka tidak rubuh layaknya saudara mereka di sisi depan dan belakang. Harapan mereka terkabulkan. Suara si bapak yang memarahi Yusuf selanjutnya tidak terlalu keras. Kalau saja tidak ada dinding-dinding yang menahannya lebih dulu, bukan tidak mungkin pilar sisi kiri dan kanan juga mengalami nasib yang sama.
Yusuf yang mendengar amarah si bapak masih tetap tertunduk sambil sesekali mengucapkan “ya”. Itu pun dengan terbata-bata. Untuk kata “ya” saja Ia harus terbata-bata. Sungguh itu kata paling pendek dalam kamus bahasa Indonesia.  Namun, bedanya kali ini, Yusuf tidak hanya tertunduk dan mengucapkan “ya”. Ia yang berbadan besar dan kekar (barangkali rajin ikut fitness) sekaligus bermuka garang ini mulai menitikkan air mata. Tak kuasa menahan diri dari desakan dalam badannya untuk meneteskan air mata. Ia tidak menangis. Tidak. Ia hanya menitikkan air mata. Namun, cukup kiranya tetesan itu membuat ruang tengah rumahnya tempat Ia disidang oleh ‘malaikat siksa kubur’ tersebut menjadi banjir. Ia malu. Ia pun bingung, alasan apa yang membuat Ia menitikkan air mata. Takut kah? Boleh jadi. Sedih? Ah, badannya yang atletis dan wajahnya yang garang itu sungguh perkasa untuk menunjukkan kesedihannya.

Awalnya genangan air hanya semata kaki. Namun, semakin derasnya goncangan yang Ia rasakan ditubuhnya, akhirnya genangan air mata tersebut mulai mencapai ujung sofa tempat Ia dan orang tuanya duduk. Sekitar sepaha lah tingginya. Hal yang membuat mereka bertiga menaikkan kaki-kakinya untuk dilipatkan diatas sofa. Melihat hal ini si bapak mulai bicara lagi:

“Nangis kau!? Anak laki kok cengeng!? Diam!!”

Si bapak yang melihat Yusuf telah melipatkan kaki di atas sofa berkomentar lagi:

“Itu kaki kau! Turunkan! Sejak kapan kau menjadi tidak sopan!? Bahkan sampai tata krama sopan santun yang paling remeh pun kau langgar! Turunkan!” Teriak si bapak. Maka turun lah pelan-pelan kaki si Yusuf. Namun hal ini tak semudah yang dibayangkan. Ia turunkan juga kakiknya dengan getaran gemetar yang amat sangat. Maka setelah 30 menit berusaha menurunkan kakinya dengan susah payah, tersentuh lah karpet berbahan benang emas dengan berat emas 1 kilogram saat kaki-kakinya mulai terasa dingin. Konon karpet tersebut dibeli si bapak dari Turki. Tidak main-main harganya, Rp. 30 milyar jadi mahar. Karpet yang diberi nama oleh pembuatnya ‘Universe’.

Melihat kaki anaknya sudah mendarat dengan mulusnya di ujung benang karpet, si bapak mulai tenang. Kemudian tangannya menggapai sebuah kotak yang berada di atas meja. Kotak yang berbentuk persegi panjang itu ternyata adalah kotak tempat si bapak menyimpan cerutu. Sebagai orang yang kaya raya, cerutu si bapak pun memiliki gengsinya tersendiri. Tahu apa mereknya? Gurkha Black Dragon! Harganya? Bukan kepalang mahalnya, senilai $1.150.00! Cukup mahal untuk sepuluh batang cerutu. Dengan gas api Zippo Mysteries of the Forest Set miliknya, dibakar lah cerutu tersebut dengan perlahan. Seakan tidak ingin menyiakan waktu sedikit pun. Terbakar lah semua cerutu tersebut. Dihisapnya cerutu tersebut dalam dan khusyuk hingga asapnya begitu mengepul dan membentuk awan-awan. Bahkan awan-awan yang berada di atas langit pun minggir semuanya. Tahu, awan-awan yang dibentuk oleh si bapak jauh lebih mentereng dibanding kaum awan-awan lainnya. “Heh, ada lawan!?” celetuk sombong oleh awan-awan si bapak pada awan-awan lain.

Namun, ternyata ketenangan si bapak tidak berhenti sekejap itu saja. Iya benar memang bahwa anaknya, Yusuf telah menurunkan kakinya ke lantai berselimut karpet ‘Universe’. Tapi, itu, air mata si Yusuf masih saja menetes. Maka bangkit lah si bapak. Awalnya ia ingin berdiri di atas karpet kebanggaannya, namun tidak jadi karena genangan air mata telah membasah-kuyupkan seisi ruang tengah. Alhasil si bapak berdiri di atas sofa dan mencak-mencak pada anaknya yang berada sekitar 1 meter dihadapannya. 

“Cengeng! Hentikan tangismu! Banci!” teriaknya tanpa tedeng aling.

Maka mulai lah Yusuf menghentikan tetesan air matanya. Kali ini memang tidak sesulit menurunkan kakinya. Tidak membutuhkan waktu lama Ia telah menghentikan tangisan kecilnya itu. Namun, yang terjadi justru lebih mencengangkan. Karena ketakutan, Yusuf menjadi pucat dan suhu tubuhnya berubah menjadi dingin. Bahkan nyaris menyamai suhu rata-rata kutub utara. Petaka yang mencengankan itu bukan karena suhun badannya yang dingin. Tapi, sebelum tetesan air matanya berhenti total, Yusuf telah kedinginan sebelum dua tetesan air matanya yang terakhir. Tetesan yang tidak sempat Ia sapu melalui tangannya yang kekar berurat. Alhasil, tumpah lah tetesan terakhir tersebut ke dalam kolam kecil yang berada di ruang tengah. Dengan cepat, ibarat api yang menghisapi lautan minyak, dua tetesan air mata ini sukses menularkan nyawanya dengan cepat pada tetesan air mata lainnya yang telah menggenang hingga mengakibatkan genangan tersebut terkontaminasi oleh senyawa dingin yang terkandung di dalamnya. BEKU! Iya! Beku lah semua genangan air di ruang tengah tersebut. Si ibu yang awalnya tidak menyadari, mulai mengerti setelah salah satu antingnya yang terbuat dari mutiara sungai Nil jatuh ke genangan dan membeku. 

Sedangkan si bapak menyadarinya saat tiga helai kumisnya yang tidak sengaja tersenggol bara api cerutu mengenai kumisnya yang panjang di sisi kanan atas bibirnya. Sehingga menyebabkan tiga helai kumis itu terbelah setengah. Sedang setengah bagian lainnya jatuh ke genangan air mata yang telah membeku. Dilihatnya perlahan setengah tiga helai kumis itu jatuh ke genangan beku. Tentu saja ia mampu melihat. Karena proses gravitasi saat itu sedang menurun, sehingga memperlambat gerak benda jatuh dari atas ke bawah. Ia perhatikan betul kumisnya yang terpotong itu jungkir balik menahan angin. Sebentar meliuk ke sudut 130 derajat, sebentar juga meliuk ke sudut 60 derajat hingga menukik tajam ke bawah. ‘Tik..tik…tikk’, jatuh lah semua potongan kumisnya itu dan menancap di ujung genangan beku yang telah menjadi es. Membentuk duri-duri baru yang tajam ujungnya. Kaget lah si bapak melihatnya. Kemudian takjub. Namun, ketakjubannya itu tidak berlangsung lama. Ia sadar sesuatu yang lebih WAH sedang terpapar di hadapannya.

Iya! Petaka sesungguhnya. Awalnya Yusuf hendak menaikkan kakinya ke atas sofa lagi dan berniat melipat rapi. Namun, mengingat bentakan si bapak yang tidak mengizinkan anaknya lepas dari tata krama kesopanan, membuatnya urung. Baru kemudian setelah Ia melihat anting dan tiga potong kumis yang tinggal setengah milik si ibu dan si bapaknya jatuh dan membeku membuat Ia tak ingin berpikir panjang serta bertekad menaikkan kakinya. Kali ini Ia serius! Terserah bentakan apa lagi nantinya. Maka dengan sigap diangkatlah kakinya. Namun yang terjadi sungguh membuatnya lemas. Dua kakinya putus! Karena ia begitu memaksa dengan keras untuk menarik kakinya dari es yang sudah sangat membeku, akhirnya kaki itu terputus. Kaki kanannya putus dari pangkal paha. Dan kaki kirinya putus dari ujung lutut ke bawah. Darah pun mengalir dengan derasnya. Tulang-tulang kakinya yang sudah merah kemerahan karena darah terlihat. Hal ini membuat es yang mengitari ruang tengah menjadi berwarna merah. Mirip warna es pertama di Jepang dahulu kala, saat para anggota Kaisar menikmati sajian es krim pertama dengan campuran sirup dan rasa. Namun, bedanya es yang telah berwarna merah ini tidak bisa dinikmati sebagai es krim.

Si bapak yang tidak tahan melihat darah kemudian membentaki Yusuf lagi. Kali ini lain bentakannya.

“Itu darahmu! Hentikan darahmu itu! Jangan biarkan dia mengalir!” Teriak si bapak. Cukup keras sambil menunjuk-nunjuk ke sumber aliran darah hingga menjatuhkan lampu Kristal yang berada di atas mereka. Beruntung tidak mengenai para hadirin sidang.

“Lho, gimana sih pak? Emangnya darah bisa dihentikan dengan mudah!? Bapak ini aneh-aneh saja.” Celetuk si ibu menginterupsi si bapak. 

“Oh iya bu. Betul. Lupa bapak,” yang wajahnya memerah menahan malu sambil hendak ketawa. Namun ditahan karena gengsi tidak ingin diketahui kebodohannya dihadapan si anak, Yusuf.

Akhirnya, setelah suara si bapak mulai serak, ia mengisyaratkan pada si ibu untuk gantian memarahi si Yusuf. Dan mulai lah si ibu memarahi anak sulungnya itu. Berbeda dengan hentakan suara si bapak, suara si ibu memiliki khasnya sendiri. Melengkiiiiiiiiiiiiiiing! Hingga memekakkan telinga si bapak dan Yusuf. Kaca-kaca yang berada di seisi rumah pecah semua. Berkeping-keping. Saking melengkingnya, suara si ibu mencapai 10 oktaf! Dengan mudah dikalahkannya suara Georgia Brown, perempuan asal Italia yang suaranya mencapai 8 oktaf dan memegang rekor dunia. Suara tinggi si ibu pun seakan memandang remeh suara dentuman keras si bapak. Si bapak boleh saja merubuhkan empat pilar sisi depan dan tujuh pilar sisi belakang. Namun, suara Super Giga Soprano si ibu dengan mudahnya melenyapkan segala yang ada. Lima pilar sisi kanan dan lima pilar sisi kiri rubuh jadi abu seketika. Sedang fondasi rumah dan bahkan isi-isi rumah ikut terbang! Awan-awan yang lahir dari cerutu si bapak lari terbirit-birit meminta pertolongan ke kawanan awan lainnya. Kumis si bapak? Terbang! Lenyap! Hanya satu yang tidak terusik karena lengkingannya, yaitu es yang membeku karena air mata Yusuf. 

Sedangkan si Yusuf dan si bapak bagaimana nasibnya? Jika rumah bertingkat lima saja bisa lenyap dan terbang bagai tersapu tornado, apalagi hanya seonggok lelaki tua dan seonggok lelaki cengeng? Ya tentu saja mereka berdua ikut terbang. Pakaian mereka pun lepas. Meninggalkan badan tanpa sehelai benang. Parahnya lagi si bapak yang terbang telanjang ini menembus tembok penjara LP Cipinang. Terkaget-kaget lah para sipir penjara yang berada disana. Terlebih saat itu sedang terjadi sidak yang dilakukan pak Wamenkumham bersama jajaran petinggi KPK. Yang membikin kaget bukan karena jebolnya tembok penjara oleh terjangan tubuh si bapak. Melainkan sobeknya perut si bapak, mungkin terbeset atau apa, hal yang membuat segala isi dalam perut si bapak terburai keluar. Pak Wamen, Petinggi KPK, Kepala Sipir Penjara dan para napi yang lain pun terbelalak melihat seonggok badan si bapak. Yang terburai keluar dari dalam badan si bapak bukan organ tubuh. Tetapi ribuan kepingan emas, lembaran rupiah dan dollar, lembaran cek, dokumen rahasia hingga surat-surat penting Negara. Dan yang membikin geli para hadirin penjara LP Cipinang adalah keluarnya tikus-tikus dari mulut si bapak. Mengendap-ngendap diri seakan berusaha lari dari segala yang ada disana. Mengetahui ini semua, baik Pak Wamen dan lainnya berlalu saja sambil komat-kamit satu sama lain. Tubuh si bapak? Barangkali memang disitu tempatnya.

Lain si bapak, lain pula Yusuf. Ia yang juga ikut jadi korban dari terjangan lengkingan suara si ibu justru tersangkut di kawanan awan yang menggantung di langit nirwana. Yusuf yang tadinya tanpa sehelai benang, kini telah berbaju putih berlapis kain sutra. Saat Yusuf membuka matanya, segera lah Ia menyadari bahwa Ia sedang berada di suatu tempat yang tak terlukiskan keindahannya, melainkan perasaan yang tak kenal duka barang setitik pun. Dengan sendirinya pula Ia berjalan ke arah sebuah pohon dengan buahnya yang menggoda. Hingga dirinya tanpa sadar telah berdiri di hadapan pohon tersebut. Pohon yang berada di perbukitan. Saat hendak memetik buah tersebut, terdengar olehnya suara-suara, “Jangan!” Menolehlah dia ke sekelilingnya, kosong. Tidak ditemuinya siapa pun. Karena sudah kebiasaannya untuk patuh, Ia tidak jadi memetik buah di pohon terlarang itu. Maka berlalu lah dia. Namun, saat berjalan kembali Ia tersentak dan segera melihat ke bawah; kaki. Ya! Ia telah dapatkan kembali kakinya yang sempat terputus. Tersenyum mekar lah dia. Dengan perasaan yang gembira mulai lah Yusuf berlari-lari kesana-kemari. Tak pernah Ia rasakan perasaan sebahagia itu sebelumnya. 

Si ibu yang terngaga melihat segala sesuatu yang berada disekitarnya lenyap mulai kebingungan. Pajangan patung emas yang ia kagumi pun tidak terlihat lagi di ujung ruangan. Pun halnya dengan galeri perhiasan yang telah dibeli dari Swis, Perancis dan Inggris juga hilang. Meraung lah si ibu. Betapa sakit hatinya melihat benda-benda nomor wahid itu lenyap seketika. Terlebih karena ulahnya sendiri yang telah mengeluarkan jurus pamungkas; suara beroktaf 10 dan berkekuatan Super Giga Soprano. Tertunduk lah ia. Dan kemudian dipandanginya es berwarna merah disekelilingnya. Es dari air mata anaknya. Kali ini ia meraung sejadi-jadinya. Entah apa yang dirasakannya.

Malang, 2 Februari 2014
Aqsha Al Akbar

3 comments:

  1. Pasti di pucuk jagung 9 alamat rumahnya :D

    ReplyDelete
  2. Huahaha, sialan kau way..
    tega kau angkat cerita masa lalu mr Y ..
    :D

    ReplyDelete

Silahkan komen yaa