Wednesday 5 February 2014

Altar dan Latar





“Mama, jadi kapan belikan saya keyboard?” Pinta Altar pada mamanya sekali waktu.

“Kamu serius mau main musik?”

“Saya janji akan belajar musik dengan baik, Ma.” 

“Sabar ya, Nak.” Ucap Mama Altar sambil membelai putra sulungnya.

Itu dulu, hampir sedekade yang lalu. Ketika Altar masih begitu asing dengan instrument musik. Apa yang mendesak pikirannya untuk memiliki alat musik muncul ketika ia dan teman-temannya tak sengaja melihat seorang Oom dekat rumah bermain piano. Om itu tak lain Oom dari teman Altar sendiri. Lentikan jemari si Oom begitu mempesona Altar. Rasa antusiasnya pun terbayar ketika pada suatu waktu ia berkesempatan mengutak-atik tuts piano di rumah Lalu, keponakan si Oom.

“Ini cara mainnya bagaimana, Om?” Yang secara kebetulan sang guru dadakan itu berada di rumah Lalu.

“Lihat, tuts putih ini namanya C. Tuts sebelahnya, D. Terus berurutan sampai G lalu A dan kembali lagi di C.” Demikian kala itu Ia mendapat pelajaran paling dasar tentang bunyi-bunyi tuts pada piano.

Tujuh tahun berlalu, kini Altar telah memiliki sebuah keyboard pribadi, pemberian orang tuanya saat ulang tahunnya yang ke 14. Guru demi guru ia datangi hanya untuk menimba ilmu tentang benda persegi panjang yang mampu mengeluarkan ratusan bunyi. Kemahirannya pun mengantarkan Altar menjadi lebih kreatif. Beberapa lagu berhasil ia ciptakan. Dari yang paling malas ia dengar hingga pada lagu yang ia putar beruang-ulang, meski rekamannya hanya dari handphone. Kemenangan bersama bandnya di berbagai festival musik pun turut mewarnai hari-harinya saat SMA. Suatu kebanggaan yang tak luput dari perhatian dan kekaguman teman-teman perempuan di sekolahnya.

Altar yang saat ini sedang berada jauh dari kampung halamannya mulai frustasi dengan karir bermusiknya. Memang, awal tujuan utamanya ke Jogja bukan untuk berkarir musik, melainkan meneruskan studi pada salah satu perguruan swasta. Namun, keterikatannya pada musik tak mampu ia elakkan. Ia terus saja berkarya. Kali ini lagu-lagunya lebih sering ia ciptakan dengan menggunakan sebuah gitar yang dibawa dari kampungnya. Keyboardnya? Sengaja ia tinggalkan. Selain karena mengalami sedikit kerusakan, ia juga merasa repot untuk membawanya. 

“Kenapa tidak membentuk band saja?” Usulku ketika awal-awal perkenalannya di kos. Ternyata Altar memang telah berkeinginan membentuk sebuah band. Sebuah band yang professional dan memiliki pandangan serta genre musik yang sama dengannya. Altar sendiri menyukai musik Rock ‘n Roll. Ia sangat mengagumi Chuck Berry. Musisi Rock n’ Roll yang begitu tenar sejak tahun 50-an hingga tahun 1979. Lagu-lagu yang Altar ciptakan pun rata-rata bernada genre tersebut. 

Memasuki semester 3, Ia dan temannya Soekarsa membentuk sebuah band. Dengan didukung oleh teman-teman yang ikut ambil bagian dalam proses pembuatan lagu, akhirya dengan konsep yang sederhana Altar meluncurkan album pertamanya. Lagu-lagu yang ia sertakan pada album ini berjumlah 10. Karena latar belakangnya yang tidak memiliki sumber dana yang cukup, dengan optimis yang terselip pada penyesalan (akan nasibnya) Ia hadirkan juga rekaman ‘musik kamar’. Tentu ia tidak akan mampu merekam semua lagunya di dapur rekaman yang memakan biaya mahal. Satu lagu yang direkam bahkan hampir sama dengan biaya kesehariannya untuk dua minggu.

“Kita maunya mayor label, tapi saya nggak punya uang untuk bisa diterima produser-produser di sana. Coba indie pun kita juga harus rela rogoh uang jajan sebulan. Itu pun cuma jadi satu lagu. Belum tentu juga ada yang mau beli. Jangankan beli, di-download sama banyak orang saja sudah bikin senang.” Katanya padaku, saat kami sedang berbincang-bincang.

“Ya pelan-pelan, Al. Yang penting kamu buka jalan saja dulu. Kalau memang rezeki, bukan tidak mungkin nantinya sejajar dengan Ahmad Dhani!?” Jawabku menanggapi omongannya. Yang demikian mengundang tawanya.  Aku dan Altar memang sering mengobrol saat tengah malam, ketika anak kos yang lain sedang pulas tertidur. Dan memang hanya Altar seorang yang bisa aku ajak bertuka pikiran. Sedangkan teman kosku yang lain terasa membosankan. Mendengarkan bagaimana Ia berusaha keras untuk menjadi musisi yang hebat, sedikit banyak membuatku seolah terlibat pada perjalanannya itu.

Namun, apa yang dikejar oleh Altar bukan saja soal musik. Ia pun serius menekuni perkuliahannya. Sebagai mahasiswa ekonomi, Ia dengan idealismenya terkadang merasa perlu berbuat sesuatu memikirkan perekonomian Indonesia yang tidak sehat. Aku yang tak paham tentang ekonomi mengangguk saja sambil berusaha mengimbangi wacana perekonomiannya dengan pengetahuanku yang terbatas. Sekali waktu aku dan dia juga ikut membahas sastra. Untuk yang satu ini, pembicaraan antara kami berdua jauh lebih mengalir dibandingkan pembicaraan tentang masalah perekonomian. Demikian juga dengan pembahasan musik, meski kadang kala Altar lebih banyak mengetahui sampai ke seluk beluknya. Maklum, Ia memang seorang musisi yang kebetulan belum dikenal oleh bangsanya sendiri.

Ada yang begitu membekas dalam hati dan pikiranku. Pun Altar, barangkali. Semua orang yang berada di dekatnya tentu tak akan meragukan kemampuan Altar bermusik. Lagu ciptaannya memiliki gaya yang khas jika didengar dengan teliti. Namun, nasibnya belum lagi membawa Altar pada kesuksesan, selain rasa frustasi yang begitu menjalar pada pikirannya. Tidak jarang ia menangis meratapi ini semua. Keinginannya untuk sukses luar biasa besar. Bahkan, aku saja sampai-sampai merasakan derita yang sama. Seolah nasibnya menjadi nasibku. Masih jelas dalam ingatanku ketika Altar dan Soekarsa melakukan launching album pertama setahun yang lalu. Dengan acara yang sangat sederhana, betul-betul sangat sederhana dan sarat kekurangan sana-sini, Altar tetap menunjukkan aksinya dengan tulus. Seolah ia ingin tunjukkan pada orang-orang bahwa dia musisi handal dan professional. Meskipun aku tahu, baik aku maupun Altar disaat yang sama merasakan perasaan sedih bercampur kecewa. Tangisan dalam hati tak mampu lagi dibendung. Pasalnya, baik aku, Altar dan teman-teman yang lain merasa ada yang salah pada dunia ini, negeri ini. 

Tidak banyak seorang seniman atau musisi yang begitu tulus menyajikan karya seni penuh kualitas. Terutama jika dibandingkan banyaknya artis baru yang melejit namanya dan kaya raya hanya karena memiliki modal yang besar untuk menyodok karyanya secara instan tanpa bekal bermusik yang dicapai melalui kerja keras. Siapa pun musisi yang telah mati-matian berjuang demi kesuksesan bermusik menjadi dongkol karenanya. Seakan merasa diludahi terang-terangan. Begitu kejam kah perindustrian musik kita? Tak mungkin untuk berkata tidak. 

“Jadi bikin album kedua?” Tanyaku suatu hari.

“Jadi. Ini lagi proses,” jawabnya senyum.

“Sama kayak dulu atau rekam studio?” Tanyaku menyelidik.

“Studio. Biarin saja lama selesainya, biar juga duit jajan harus kepotong. Album ini harus jadi.” Altar begitu yakin dengan jawabannya. 

Aku sendiri tidak pernah menyangsikan kerasnya usaha yang Ia geluti. Hampir-hampir segalanya ia lakukan dengan serius. Altar yang sejak awal kukenal dulu, telah aku sisiri karakternya. Ia tidak akan menyia-nyiakan setiap peluang yang ada. Termasuk bakat-bakat yang terus saja hidup dalam dirinya. 

“Kadang capek saya harus terus menerus begini. Kiriman uang dari rumah nyendat. Kerja di kampus juga bayarannya kecil. Saat yang bersamaan, saya juga masih rekaman. Ini saja baru tiga lagu yang baru direkam. Stres saya mikirnya,” keluhnya padaku malam itu. 

“Sudah manggung-manggung? Coba saja manggung, barangkali dapat fee. Syukur-syukur ketemu orang baik yang mau jadi sponsor,” tanggapku sedikit memberi usul.

“Iya sudah. Ini juga baru dapat tawaran mentas di Baron CafĂ©. Malam minggu nanti mulai. Memang sih enggak dapat bayaran. Tapi, ya lumayan lah nyari nama. Barangkali ada yang nge-fans sama saya,” Terkekeh Altar bicara.

“Soekarsa bagaimana, masih?” 

“Eh, enggak. Dia keluar. Focus ke organisasi dia. Ada sih dia kalau sempat ikut membantu kalau ada tawaran ngisi acara. Ini juga yang buat saya sebenarnya kecewa dengan dia. Sudah berat gini, malah ditinggal di tengah jalan.” Altar menjadi berubah air mukanya. Nampak rasa kecewa mengkeruti wajahnya.

“Betul-betul kamu serius jadi musisi, Al?” Tanyaku meraba keyakinannya. Altar mengangguk. 

“Enggak takut jatuh di tengah jalan?” Sengaja aku menanyakan hal ini padanya. Karena alaminya, seorang bermental baja sekali pun akan goyah pendirian dan semangatnya jika digoncang cobaan. Bahkan jika cobaan itu kelihatannya kecil, namun pada waktu yang ‘salah’ bukan tidak mungkin mampu membuat seseorang menjadi patah arang. Menjadikannya setitik debu kotor yang melengkapi duka. Duka yang tak pernah sempat menyentuh tabir kebahagiaan dan kemenangan.

Altar butuh waktu sedikit lebih lama untuk menjawab pertanyaanku. Ia tertunduk. Tatapannya kini telah menjalar pada seisi ruangan. Sedang hatinya mulai mencoba mengetuk pintu langit. Mencari kepastian tentang keyakinannya. Aku sendiri sedikit merasa tidak enak kalau-kalau pertanyaanku justru mematahkan semangatnya. Yang kemudian terdengar adalah:

“Bagiku prinsipnya satu; Serahkan Karya atau Nyawa!” Tegasnya mantap. Kulihat matanya berbinar-binar. Batinku pun menyeruak pada pikiran, seolah ingin berkata dengan angkuh, ‘Hei bangsaku, sungguh menyesal kalian kalau tidak mengenal sahabatku ini!’.

Malang, 5 Februari 2014
Aqsha Al Akbar


No comments:

Post a Comment

Silahkan komen yaa