Sunday 2 February 2014

Rindu Tanpa Aral





Sang lelaki terus saja melangkahkan kakinya. Tak terhitung berapa jarak yang telah ia tempuh. Tak terkira juga tampungan ember bila ia harus memeras keringat yang telah membasahi seluruh pakaiannya. Aroma tak sedap pun mengudara dan seolah menyebabkan polusi kecil pada mereka yang berjalan pas-pasan dengannya. Sebagian sengaja menutup hidup. Yang lain berpura acuh tak acuh. Ada juga yang berlagak menghargai sambil tahan nafas. Tapi, jelas pohon-pohon yang berada di pinggirnya tak mampu menahan bau ketiak yang merebak dari keringatnya. Ia toh tidak peduli. 


Dari tadi pagi, selepas mengenakan pakaian kaos berwarna abu-abu bercorak garis selempang, sang lelaki kurus berhidung mancung ini memutuskan segera keluar dari persembunyiannya. Badannya yang tidak terlalu tinggi itu terlihat setengah terbungkuk saat berjalan. Diujung bibirnya yang sedikit tebal berwarna kemerah-merahan seperti orang Eropa, terselip sebatang rokok kretek. Ia benar-benar tidak peduli pada sekitarnya. Ia hanya berjalan menatap lurus ke depan. Hanya sesekali ia toleh kiri-kanan ketika ada sesuatu yang menariknya. Selebihnya, ia menatap lurus ke depan.

Lagaknya yang acuh tak acuh bukan tak mengundang perhatian pejalan kaki lainnya. Terang saja, sang lelaki berambut ikal ini seolah pemilik tunggal trotoir. Sedang orang-orang dianggapnya seperti debu-debu yang mengotori dan mengganggu jalannya. Tak segan-segan ia menabrak siapa saja yang tepat berada di depannya. Tidak berkata maaf setelahnya. Berlalu. Sedang yang lainnya mendesis keheranan. Ada juga yang menggerutu menyumpahi. Sedang preman-preman sekitaran daerah tersebut terpancing emosinya.

“Woy anjing! Kau pake itu mata! Lihat-lihat kalau jalan. Monyet!” Sumpah si preman. Rupanya temannya yang berada 30 meter di depannya mendengar ucapan kawannya itu. Melihat sang lelaki tak mempdulikan celotehan temannya, maka kali ini dihadangnya lelaki yang bermata merah itu.

“Udah jagoan, bung?” Ucapan yang mengundang perhatian orang-orang yang berada disekitar. Si lelaki yang tercegat ini tetap tenang. Ia hanya diam saja. Ia pandangi juga preman ini. Lalu dengan mengangkat bahunya sedikit, ia mencoba pergi dari cegatan itu. Namun, preman yang kali ini telah mendapat sokongan bantuan dari kawan lainnya merasa egonya dilecehkan. Tidak terima perlakuan si lelaki, ia pun menarik pundak si lelaki hingga hampir terjatuh. Sebenarnya si preman tersebut agak ragu dengan tindakannya. Ini muncul setelah memegang pundak sang lelaki dengan cengkraman jari-jari tangannya. Ia merasakan pundak yang begitu keras karena otot sang lelaki.

Sang lelaki itu boleh saja memiliki postur badan yang kurus. Tapi, dibalik tampilan luarnya itu, ia menyimpan otot-otot yang berisi di sekujur tubuhnya. Ia yang tadinya berusaha tenang dan acuh pada ucapan si preman, berangsur-angsur menyala amarahnya. Namun, ia tetap berusaha mengontrol. 

“Kalau mau cari ribut, saya bukan lawan abang. Lepasin tangan abang dari pundak saya. Saya ada perlu. Mau pergi,” ucap sang lelaki pada preman yang sedari tadi masih mencengkram pundak lelaki itu.

“Kenapa? Takut? Enggak suka?” dengan sinis si preman itu bicara. Matanya yang sipit mulai melotot. Orang-orang di sekitar mulai menyingkir satu per satu. Agaknya mereka paham bahwa akan ada perkelahian. Kawanan preman lainnya mulai mengepung sang lelaki. Mereka seperti terbiasa dan tahu bersikap jika melihat kejadian seperti ini. Dengan tangan yang mengepal, masing-masing dari mereka sudah melihat tajam pada si lelaki.

Sang lelaki menyadari dirinya tidak dalam kondisi yang aman. Ia tahu bahaya yang mungkin menghampirinya. Tenang namun tetap waspada dalam amarah yang dikontrol, ia kembali berusaha membujuk. 

“Sudah lah bang. Saya mau pergi. Abang butuh duit saya? Saya kasih! Lepasin tangan abang,” katanya lugas dan tegas. Preman-preman itu diam saja sambil menunggu apa yang dilakukan si lelaki. Mulai si lelaki merogoh saku celanan jins hitamnya. Ditemuinya gulungan uang senilai Rp. 10.000. 

“Ini bang. Ambil. Cukup beli rokok,” kata sang lelaki sekali lagi dan menjulurkan uang nya pada si preman bermata sipit. Tak bergeming.

“Sepuluh ribu? Kau main-main sama kita? Enggak tahu siapa kita?” Timpal seorang preman yang lain.

“Kalau abang mau lebih, saya enggak punya.” Kali ini sang lelaki sudah siap untuk bertarung. Bahkan ia sudah merencanakan gerakan pertama hingga ke-lima untuk menghadapi kawanan preman ini. Ia juga memprediksi siapa yang akan menyerang pertama dan ikut menimpali di pukulan kedua. 

Dan dugaan itu benar, kecuali satu hal:

“Anak anjing!!” Sesuai perkiraannya, yang menyerang pertama bukan lah si pemegang pundaknya. Preman bermata sipit yang bisanya cuma ngomong dan petantang-petenteng. Tetapi, seseorang yang berada di sebelah kanannya. Seorang bertubuh pendek dan berkepala botak. Sosok yang tidak sekalipun melemparkan pandang selain pada si lelaki. Matanya begitu bengis memandang sang lelaki.
‘….ssseet…’ pukulan pertama si botak berhasil ia elakkan. Sesuai rencana.

Ia pun masuk ke gerakan kedua.

Melihat si botak gagal mengenai sang lelaki, maka preman yang berada tepat di depannya melayangkan kakinya ke arah wajah sang lelaki. Dengan sigap, lelaki ini mampu menepis dan memegang kaki sang preman. Menyadari keseimbangannya telah hancur, maka dengan mudah preman tersebut didorong oleh lelaki hingga tersungkur di atas trotoir. 

Saat gerakan ketiga, masih dalam rencananya. Sebuah gerakan tanpa gerakan. Trik psikologi bela diri yang pernah ia dapatkan.

Kali ini sebuah pukulan yang diayunkan oleh preman yang petantang petenteng tadi  mengenai wajahnya. Sepintas mulutnya terasa ngilu karena pukulan ini. Cukup keras ia rasa. Namun, itu sudah diprediksi. Pukulan itu hanya akan membuat si preman menjadi pongah dan memandang remeh lawannya: sang lelaki. Tiba saatnya gerakan keempat unjuk aksi. Sang lelaki yang baru saja merasakan gumpalan jari berisikan tulang, kali ini pecah amarahnya. 

Dengan sekali pukulan melalui siku tangan kirinya, ia sudah membikin preman tukang bicara tadi menjadi sengap dan megap-megap nafasnya. Maklum pukulan dengan menggunakan siku lengannya itu tepat mengenai ulu hati sang preman.

Kini giliran gerakan kelima.

Kehebatan sang lelaki merubuhkan dua preman dalam interval waktu yang singkat tak berjalan lurus dengan gerakannya yang kelima. Jelas, ia salah prediksi. Saat ia berupaya melakukan tendangan memutar ala taekwondo, yang terkena justru bukan wajah si preman terakhir, preman yang berkepala botak, melainkan tiang yang menjadi penegak tenda para pedagang. Karena tekanan ototnya yang kencang saat hendak menendang wajah si preman, tiang penyangga tenda kaki lima itu pun hilang keseimbangan. Sang lelaki yang kaget kebingungan saat melihat tiang yang ia tendang mulai kelihatan miring dan memang hendak jatuh. Ia berupaya mencegah. Namun nyut-nyutan yang dirasakan kakinya membuatnya urung. Maka, sang pendekar jalanan ini langsung beralih pada rencana B. Dipegangnya kepala si preman terakhir tersebut dan meremasnya. Seperti adegan action di film-film, dengan kekuatan yang berlapis amarah ia sobek lah kuping si preman hingga mengucurkan darah-darah. Lalu seperti tanpa ampun, kali ini ia lekatkan jari-jarinya pada sisi-sisi mulut yang tipis preman tersebut. Ditariknya dengan sekuat-kuatnya. Sehingga tak terbayangkan bagaimana mulut si preman tersebut menganga dan terlihat melebar karena tarikan dan cengkraman jari-jari si lelaki. Preman gundul ini rubuh seketika. Diikuti dengan rubuhnya tenda yang tiangnya kena tendang.

Lalu, jiwanya yang tenang mulai menguasai kembali amarah yang sempat membuatnya bengis seketika. Preman yang megap-megap nafasnya tadi telah mundur merangkak. Sedangkan preman yang telinga dan mulutnya robek karena terkaman jari sang lelaki memilih untuk tetap telungkup di atas trotoir dengan jeritan kesakitan. Orang-orang tidak berani menolong.  Sebagian pedagang merasa senang melihat kawanan preman itu mengerang kesakitan. Kawanan preman lainnya? Lari tunggang langgang. Entah melapor ke bosnya atau mengumpet dibalik terpal busuk dan bau apek. Empat langkah berjalan dan hendak pergi, sang lelaki berhenti. Ia masih merasakan kakinya terasa nyut-nyutan. Kesal karena itu, sekali gerakan penutup ia lancarkan. Kali ini ia benamkan kepala si preman pemilik mata sipit melalui injakan sepatu kulitnya. Mereka yang melihat ini seperti menahan rasa sakit dan secara tak sengaja menutup muka. 

Dan berlalu lah sang lelaki dengan dingin. Orang-orang yang tadinya berkerumun melihat pertunjukan adu ketangkasan tanpa dikomandoi membuka jalan bagi sang lelaki. Seakan membiarkan sang juara berjalan dengan kebanggaan dalam nuansa kemenangan sekaligus menunjukkan ketakziman dengan cara-caranya masing-masing.

Sinar bulan mulai menyinari malam. Tetapi, sinar bulan tak pernah mampu menyinari detil paling kecil saat malam hari. Bahkan bulan kalah dengan lampu petromaks. Lebih-lebih pijar lampu berkekuatan listrik yang terangnya bisa diatur sesuka hati. Sang lelaki tetap berjalan. Ia seperti sudah terlibat pada sebuah persetujuan pada suatu hal. Perjalanannya yang melelahkan seharian

Maka tiba lah ia di sebuah kampung yang terdiri dari beberapa gang. Kampung itu tidak besar. Pemukiman penduduk juga tidak terlihat kumuh dan tidak berdiri seperti saf sholat yang rapat-rapat. Tidak. Kampung ini berbeda dari kampung biasanya. Sang lelaki menuju pada sebuah gang yang di ujungnya tertulis ‘Kolongan’. Tulisan tersebut terpampang pada plat besi tua yang ditegakkan dengan kayu seadanya. Karatan di sekujur plat besi terlihat sudah mengupasi cat yang digunakan untuk menulis nama gang itu.

Sang lelaki berjalan terus. Ia tetap saja tak acuh seperti waktu yang yang telah lewati sebelumnya. Godaan wanita-wanita remaja belia, perawan atau tak perawan, tante-tante hingga ibu-ibu yang mulai berumur Nampak menggoda-goda pria-pria yang melintasi gang tersebut. Tak terkecuali sang lelaki menjadi objek rayuan. Ia tidak peduli.

Setelah berjalan sekitar 3-5 menit, ia berhenti sejenak di depan sebuah rumah kecil. Di beranda tersebut juga terlihat banyak perempuan-perempuan berbusana mencolok. Berharap rezeki datang melalui persembahan lekuk tubuh dan birahi seksnya. Namun, tujuan sang lelaki bukan melampiaskan deru dan gairah seksnya. Bukan. Ia memiliki kecenderungan sendiri terhadap sesuatu.

Setelah berbicara sedikit dengan wanita yang sedang duduk di kursi dekat pintu masuk rumah, sang lelaki langsung bergegas ke dalam. Segera ia dapati kamar yang pintunya setengah terbuka. Tanpa mengetuk ia masuk dengan perlahan. Kakinya yang tadi siang kesakitan, kali ini sudah tidak ia rasakan lagi. Ia berhenti di dekat ranjang dan memandangi seorang wanita. Yang ditemuinya saat itu sedang tiduran membelakangi sang lelaki. Entah karena bisikan atau karena ingin mengganti posisi, wanita itu menggerakkan tubuhnya dan kemudian dilihatnya sang lelaki. Setelah memicingkan matanya sedikit, wanita itu tersenyum manis sambil mengulurkan kedua tangannya menyambut sang lelaki. Sang lelaki yang melihat sambutan mesra itu langsung menggenggam tangan putih mulus si wanita. Jatuh lah sang lelaki ke dekapan wanita itu. Seperti sudah lama tidak bertemu dan tertahan rindu yang sudah menggunung, sepasang turunan Adam dan Hawa itu bercumbu dalam lautan asmara.

“Abang kemana aja?” Tanya sang wanita dengan pelan setengah berbisik.

“Abang baru saja nyampe. Langsung kesini.”

“Kapan? Tadi pagi? Lho, kok lama sekali nyampe kesini?” 

“Iya, tadi abang ada urusan sedikit. Capek sekali rasanya.”

“Urusan apa?”

“Ada tulisan yang harus abang selesaikan.”

“Masih aja abang menulis. Ada tentunya tulisan buatku, bang? Eh, ini baju abang kenapa basah sekali? Keringetan? Masak nulis keringatan begini?” Sang wanita tak hentinya bertanya. Sebenarnya ia tak perlu merasa bertanya. Namun, rindunya memaksa ia untuk berucap-ucap pada sang lelaki. Pujaannya sejak dulu.

“Sudah lah. Kau toh lebih memikirkan diriku daripada tulisanku? Badanku pegal-pegal. Kakiku terutama. Manjakan aku sejenak ya, Mir?” Lembut sekali sang lelaki ini meminta. Wajah kaku dan sikap dinginnya seakan mencair dengan mudahnya dihadapan Miranda.

“Ih, bisanya minta enaknya dulu,” Miranda gemas pada sang lelaki. Dikecupnya jidat si lelaki dan mulai memijit si lelaki. “Habis ini gentian abang yang manjakan aku. Haruss…” pintanya yang kali ini telah melepaskan pakaian sang lelaki.

Sang lelaki akhirnya tertidur. Bersama kisahnya yang belum lagi ia ucapkan. Kisahnya semasa menjadi perantau. Ikut terlelap dalam sentuhan kasih sayang Miranda.




“Uhh.. Badanmu bauuk, bang….”



Malang, 2 Februari 2014
Aqsha Al Akbar

No comments:

Post a Comment

Silahkan komen yaa