Sang
lelaki terus saja melangkahkan kakinya. Tak terhitung berapa jarak yang telah
ia tempuh. Tak terkira juga tampungan ember bila ia harus memeras keringat yang
telah membasahi seluruh pakaiannya. Aroma tak sedap pun mengudara dan seolah
menyebabkan polusi kecil pada mereka yang berjalan pas-pasan dengannya.
Sebagian sengaja menutup hidup. Yang lain berpura acuh tak acuh. Ada juga yang
berlagak menghargai sambil tahan nafas. Tapi, jelas pohon-pohon yang berada di
pinggirnya tak mampu menahan bau ketiak yang merebak dari keringatnya. Ia toh
tidak peduli.
Dari
tadi pagi, selepas mengenakan pakaian kaos berwarna abu-abu bercorak garis
selempang, sang lelaki kurus berhidung mancung ini memutuskan segera keluar
dari persembunyiannya. Badannya yang tidak terlalu tinggi itu terlihat setengah
terbungkuk saat berjalan. Diujung bibirnya yang sedikit tebal berwarna
kemerah-merahan seperti orang Eropa, terselip sebatang rokok kretek. Ia
benar-benar tidak peduli pada sekitarnya. Ia hanya berjalan menatap lurus ke
depan. Hanya sesekali ia toleh kiri-kanan ketika ada sesuatu yang menariknya.
Selebihnya, ia menatap lurus ke depan.
Lagaknya
yang acuh tak acuh bukan tak mengundang perhatian pejalan kaki lainnya. Terang
saja, sang lelaki berambut ikal ini seolah pemilik tunggal trotoir. Sedang
orang-orang dianggapnya seperti debu-debu yang mengotori dan mengganggu
jalannya. Tak segan-segan ia menabrak siapa saja yang tepat berada di depannya.
Tidak berkata maaf setelahnya. Berlalu. Sedang yang lainnya mendesis keheranan.
Ada juga yang menggerutu menyumpahi. Sedang preman-preman sekitaran daerah
tersebut terpancing emosinya.
“Woy
anjing! Kau pake itu mata! Lihat-lihat kalau jalan. Monyet!” Sumpah si preman.
Rupanya temannya yang berada 30 meter di depannya mendengar ucapan kawannya itu.
Melihat sang lelaki tak mempdulikan celotehan temannya, maka kali ini
dihadangnya lelaki yang bermata merah itu.
“Udah
jagoan, bung?” Ucapan yang mengundang perhatian orang-orang yang berada
disekitar. Si lelaki yang tercegat ini tetap tenang. Ia hanya diam saja. Ia
pandangi juga preman ini. Lalu dengan mengangkat bahunya sedikit, ia mencoba
pergi dari cegatan itu. Namun, preman yang kali ini telah mendapat sokongan
bantuan dari kawan lainnya merasa egonya dilecehkan. Tidak terima perlakuan si
lelaki, ia pun menarik pundak si lelaki hingga hampir terjatuh. Sebenarnya si
preman tersebut agak ragu dengan tindakannya. Ini muncul setelah memegang
pundak sang lelaki dengan cengkraman jari-jari tangannya. Ia merasakan pundak
yang begitu keras karena otot sang lelaki.
Sang
lelaki itu boleh saja memiliki postur badan yang kurus. Tapi, dibalik tampilan
luarnya itu, ia menyimpan otot-otot yang berisi di sekujur tubuhnya. Ia yang
tadinya berusaha tenang dan acuh pada ucapan si preman, berangsur-angsur
menyala amarahnya. Namun, ia tetap berusaha mengontrol.
“Kalau
mau cari ribut, saya bukan lawan abang. Lepasin tangan abang dari pundak saya.
Saya ada perlu. Mau pergi,” ucap sang lelaki pada preman yang sedari tadi masih
mencengkram pundak lelaki itu.
“Kenapa?
Takut? Enggak suka?” dengan sinis si preman itu bicara. Matanya yang sipit
mulai melotot. Orang-orang di sekitar mulai menyingkir satu per satu. Agaknya
mereka paham bahwa akan ada perkelahian. Kawanan preman lainnya mulai mengepung
sang lelaki. Mereka seperti terbiasa dan tahu bersikap jika melihat kejadian
seperti ini. Dengan tangan yang mengepal, masing-masing dari mereka sudah
melihat tajam pada si lelaki.
Sang
lelaki menyadari dirinya tidak dalam kondisi yang aman. Ia tahu bahaya yang
mungkin menghampirinya. Tenang namun tetap waspada dalam amarah yang dikontrol,
ia kembali berusaha membujuk.
“Sudah
lah bang. Saya mau pergi. Abang butuh duit saya? Saya kasih! Lepasin tangan
abang,” katanya lugas dan tegas. Preman-preman itu diam saja sambil menunggu
apa yang dilakukan si lelaki. Mulai si lelaki merogoh saku celanan jins
hitamnya. Ditemuinya gulungan uang senilai Rp. 10.000.
“Ini
bang. Ambil. Cukup beli rokok,” kata sang lelaki sekali lagi dan menjulurkan
uang nya pada si preman bermata sipit. Tak bergeming.
“Sepuluh
ribu? Kau main-main sama kita? Enggak tahu siapa kita?” Timpal seorang preman
yang lain.
“Kalau
abang mau lebih, saya enggak punya.” Kali ini sang lelaki sudah siap untuk
bertarung. Bahkan ia sudah merencanakan gerakan pertama hingga ke-lima untuk
menghadapi kawanan preman ini. Ia juga memprediksi siapa yang akan menyerang
pertama dan ikut menimpali di pukulan kedua.
Dan dugaan itu benar, kecuali satu
hal:
“Anak
anjing!!” Sesuai perkiraannya, yang menyerang pertama bukan lah si pemegang
pundaknya. Preman bermata sipit yang bisanya cuma ngomong dan
petantang-petenteng. Tetapi, seseorang yang berada di sebelah kanannya. Seorang
bertubuh pendek dan berkepala botak. Sosok yang tidak sekalipun melemparkan
pandang selain pada si lelaki. Matanya begitu bengis memandang sang lelaki.
‘….ssseet…’
pukulan pertama si botak berhasil ia elakkan. Sesuai rencana.
Ia
pun masuk ke gerakan kedua.
Melihat
si botak gagal mengenai sang lelaki, maka preman yang berada tepat di depannya melayangkan
kakinya ke arah wajah sang lelaki. Dengan sigap, lelaki ini mampu menepis dan
memegang kaki sang preman. Menyadari keseimbangannya telah hancur, maka dengan
mudah preman tersebut didorong oleh lelaki hingga tersungkur di atas trotoir.
Saat
gerakan ketiga, masih dalam rencananya. Sebuah gerakan tanpa gerakan. Trik
psikologi bela diri yang pernah ia dapatkan.
Kali
ini sebuah pukulan yang diayunkan oleh preman yang petantang petenteng
tadi mengenai wajahnya. Sepintas
mulutnya terasa ngilu karena pukulan ini. Cukup keras ia rasa. Namun, itu sudah
diprediksi. Pukulan itu hanya akan membuat si preman menjadi pongah dan
memandang remeh lawannya: sang lelaki. Tiba saatnya gerakan keempat unjuk aksi.
Sang lelaki yang baru saja merasakan gumpalan jari berisikan tulang, kali ini
pecah amarahnya.
Dengan
sekali pukulan melalui siku tangan kirinya, ia sudah membikin preman tukang
bicara tadi menjadi sengap dan megap-megap nafasnya. Maklum pukulan dengan
menggunakan siku lengannya itu tepat mengenai ulu hati sang preman.
Kini
giliran gerakan kelima.
Kehebatan
sang lelaki merubuhkan dua preman dalam interval waktu yang singkat tak
berjalan lurus dengan gerakannya yang kelima. Jelas, ia salah prediksi. Saat ia
berupaya melakukan tendangan memutar ala taekwondo, yang terkena justru bukan
wajah si preman terakhir, preman yang berkepala botak, melainkan tiang yang
menjadi penegak tenda para pedagang. Karena tekanan ototnya yang kencang saat
hendak menendang wajah si preman, tiang penyangga tenda kaki lima itu pun
hilang keseimbangan. Sang lelaki yang kaget kebingungan saat melihat tiang yang
ia tendang mulai kelihatan miring dan memang hendak jatuh. Ia berupaya mencegah.
Namun nyut-nyutan yang dirasakan kakinya membuatnya urung. Maka, sang pendekar
jalanan ini langsung beralih pada rencana B. Dipegangnya kepala si preman
terakhir tersebut dan meremasnya. Seperti adegan action di film-film, dengan
kekuatan yang berlapis amarah ia sobek lah kuping si preman hingga mengucurkan
darah-darah. Lalu seperti tanpa ampun, kali ini ia lekatkan jari-jarinya pada
sisi-sisi mulut yang tipis preman tersebut. Ditariknya dengan sekuat-kuatnya.
Sehingga tak terbayangkan bagaimana mulut si preman tersebut menganga dan
terlihat melebar karena tarikan dan cengkraman jari-jari si lelaki. Preman
gundul ini rubuh seketika. Diikuti dengan rubuhnya tenda yang tiangnya kena
tendang.
Lalu,
jiwanya yang tenang mulai menguasai kembali amarah yang sempat membuatnya
bengis seketika. Preman yang megap-megap nafasnya tadi telah mundur merangkak.
Sedangkan preman yang telinga dan mulutnya robek karena terkaman jari sang
lelaki memilih untuk tetap telungkup di atas trotoir dengan jeritan kesakitan.
Orang-orang tidak berani menolong.
Sebagian pedagang merasa senang melihat kawanan preman itu mengerang
kesakitan. Kawanan preman lainnya? Lari tunggang langgang. Entah melapor ke
bosnya atau mengumpet dibalik terpal busuk dan bau apek. Empat langkah berjalan
dan hendak pergi, sang lelaki berhenti. Ia masih merasakan kakinya terasa
nyut-nyutan. Kesal karena itu, sekali gerakan penutup ia lancarkan. Kali ini ia
benamkan kepala si preman pemilik mata sipit melalui injakan sepatu kulitnya.
Mereka yang melihat ini seperti menahan rasa sakit dan secara tak sengaja
menutup muka.
Dan
berlalu lah sang lelaki dengan dingin. Orang-orang yang tadinya berkerumun
melihat pertunjukan adu ketangkasan tanpa dikomandoi membuka jalan bagi sang
lelaki. Seakan membiarkan sang juara berjalan dengan kebanggaan dalam nuansa
kemenangan sekaligus menunjukkan ketakziman dengan cara-caranya masing-masing.
Sinar
bulan mulai menyinari malam. Tetapi, sinar bulan tak pernah mampu menyinari
detil paling kecil saat malam hari. Bahkan bulan kalah dengan lampu petromaks.
Lebih-lebih pijar lampu berkekuatan listrik yang terangnya bisa diatur sesuka
hati. Sang lelaki tetap berjalan. Ia seperti sudah terlibat pada sebuah
persetujuan pada suatu hal. Perjalanannya yang melelahkan seharian
Maka
tiba lah ia di sebuah kampung yang terdiri dari beberapa gang. Kampung itu
tidak besar. Pemukiman penduduk juga tidak terlihat kumuh dan tidak berdiri
seperti saf sholat yang rapat-rapat. Tidak. Kampung ini berbeda dari kampung
biasanya. Sang lelaki menuju pada sebuah gang yang di ujungnya tertulis
‘Kolongan’. Tulisan tersebut terpampang pada plat besi tua yang ditegakkan
dengan kayu seadanya. Karatan di sekujur plat besi terlihat sudah mengupasi cat
yang digunakan untuk menulis nama gang itu.
Sang
lelaki berjalan terus. Ia tetap saja tak acuh seperti waktu yang yang telah
lewati sebelumnya. Godaan wanita-wanita remaja belia, perawan atau tak perawan,
tante-tante hingga ibu-ibu yang mulai berumur Nampak menggoda-goda pria-pria
yang melintasi gang tersebut. Tak terkecuali sang lelaki menjadi objek rayuan.
Ia tidak peduli.
Setelah
berjalan sekitar 3-5 menit, ia berhenti sejenak di depan sebuah rumah kecil. Di
beranda tersebut juga terlihat banyak perempuan-perempuan berbusana mencolok.
Berharap rezeki datang melalui persembahan lekuk tubuh dan birahi seksnya.
Namun, tujuan sang lelaki bukan melampiaskan deru dan gairah seksnya. Bukan. Ia
memiliki kecenderungan sendiri terhadap sesuatu.
Setelah
berbicara sedikit dengan wanita yang sedang duduk di kursi dekat pintu masuk
rumah, sang lelaki langsung bergegas ke dalam. Segera ia dapati kamar yang
pintunya setengah terbuka. Tanpa mengetuk ia masuk dengan perlahan. Kakinya
yang tadi siang kesakitan, kali ini sudah tidak ia rasakan lagi. Ia berhenti di
dekat ranjang dan memandangi seorang wanita. Yang ditemuinya saat itu sedang
tiduran membelakangi sang lelaki. Entah karena bisikan atau karena ingin
mengganti posisi, wanita itu menggerakkan tubuhnya dan kemudian dilihatnya sang
lelaki. Setelah memicingkan matanya sedikit, wanita itu tersenyum manis sambil
mengulurkan kedua tangannya menyambut sang lelaki. Sang lelaki yang melihat
sambutan mesra itu langsung menggenggam tangan putih mulus si wanita. Jatuh lah
sang lelaki ke dekapan wanita itu. Seperti sudah lama tidak bertemu dan
tertahan rindu yang sudah menggunung, sepasang turunan Adam dan Hawa itu
bercumbu dalam lautan asmara.
“Abang
kemana aja?” Tanya sang wanita dengan pelan setengah berbisik.
“Abang
baru saja nyampe. Langsung kesini.”
“Kapan?
Tadi pagi? Lho, kok lama sekali nyampe kesini?”
“Iya,
tadi abang ada urusan sedikit. Capek sekali rasanya.”
“Urusan
apa?”
“Ada
tulisan yang harus abang selesaikan.”
“Masih
aja abang menulis. Ada tentunya tulisan buatku, bang? Eh, ini baju abang kenapa
basah sekali? Keringetan? Masak nulis keringatan begini?” Sang wanita tak
hentinya bertanya. Sebenarnya ia tak perlu merasa bertanya. Namun, rindunya
memaksa ia untuk berucap-ucap pada sang lelaki. Pujaannya sejak dulu.
“Sudah
lah. Kau toh lebih memikirkan diriku daripada tulisanku? Badanku pegal-pegal.
Kakiku terutama. Manjakan aku sejenak ya, Mir?” Lembut sekali sang lelaki ini
meminta. Wajah kaku dan sikap dinginnya seakan mencair dengan mudahnya
dihadapan Miranda.
“Ih,
bisanya minta enaknya dulu,” Miranda gemas pada sang lelaki. Dikecupnya jidat
si lelaki dan mulai memijit si lelaki. “Habis ini gentian abang yang manjakan
aku. Haruss…” pintanya yang kali ini telah melepaskan pakaian sang lelaki.
Sang
lelaki akhirnya tertidur. Bersama kisahnya yang belum lagi ia ucapkan. Kisahnya
semasa menjadi perantau. Ikut terlelap dalam sentuhan kasih sayang Miranda.
“Uhh..
Badanmu bauuk, bang….”
Malang,
2 Februari 2014
Aqsha
Al Akbar
No comments:
Post a Comment
Silahkan komen yaa