Tanggal
16 Februari kemarin, aku menemukan sebongkah cahaya. Ialah doa dan harapan yang
digantung pada semangat. Oleh seseorang yang sangat kuhormati dan kusayangi. Cahaya
itu berbeda dengan cahaya lainnya. Makanya kusebut ‘se’-‘bongkah’. Begitulah
maksudnya. Tepatnya adalah restu. Dia memberi restu padaku untuk menentukan
jalan yang benar-benar pada kendaliku, lewat tuntunan Tuhan. Aku diizinkan
meninggalkan dunia perkuliahan.
Aku
telah lima tahun kuliah. Bahkan (akan) memasuki waktu enam tahun. Aku kuliah
sejak tahun 2008. Kala itu aku menempuh pendidikan S1 Ilmu Komunikasi di
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Namun, aku
akhirnya gagal (lihat di sini). Hal itu membuat aku meneruskan kuliah pada
jurusan dan kampus yang berbeda. Aku mengambil studi hukum di Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang. Belum genap aku tiga tahun di kampus putih
itu, aku memilih keluar.
Ya,
aku tinggalkan dunia perkuliahan dan memilih membanting nasib dengan caraku
sendiri. Aku percaya pada diri dan takdir Tuhan. Meski terdapat sedikit
kekhawatiran akan masa depan tanpa gelar kesarjanaan, aku teguh pada tekadku,
berusaha untuk hidup dalam jalan yang kutempuh. Seketika aku menjadi sosok yang
berbeda dari wajah keluarga besarku.
Dalam
keluarga besarku, kepribadian seseorang yang dianggap sukses ialah mereka yang
berpendidikan tinggi dan memiliki pekerjaan mentereng di perusahaan besar
dengan penghasilan melimpah. Sudah banyak abang dan kakak sepupuku yang seperti
itu. Sesuatu yang sama sekali tidak menarik bagiku. Tidak, aku punya jalanku
sendiri.
Sedari
SMP aku telah memiliki ragam pemikiran yang kubangun dengan kritis. Aku ‘nyeleneh.’
Aku hampir-hampir tidak berprestasi dalam bidang akademik. Walau sesekali aku
menjadi nomor satu di bidang itu. Tapi, sesungguhnya jalan itu tidak menarik
bagiku. Sama sekali.
Semakin
beranjak dewasa, semakin aku lebih sering berkelahi dengan pikiranku sendiri. Terlampau
ingin tahu pada sesuatu membuat aku menjadi tambah ‘nyeleneh’. Hingga semakin
mendesakku untuk ‘menghujat’ lembaga pendidikan tinggi. Ya, aku menjadi benci
dengan kampus. Entah, karena aku naif atau sok idealis, aku merasa kampus lebih
sering membunuhku. Membunuh bangsa. Terutama dari sistem yang tidak berorientasi
pada kemasyarakatan. Akibatnya kampus menjadi sesuatu yang ekslusif. Benci? Boleh
jadi semakin bertambah.
Berangkat
dari sana, pelan-pelan aku tinggalkan kuliahku. Apakah aku menjadi sosok yang
bermalas-malasan di atas kasur? Sesekali iya. Tapi, seiring aku menjadi ‘mantan’
mahasiswa, aku mengambil inisiatif. Tidak, aku tidak ingin gagal sebagai
manusia. Aku tahu punya bakat dan kemampuan. Sebenarnya setiap orang pun
memiliki kemampuan. Tinggal cara mengasahnya saja yang perlu ditingkatkan.
Akhirnya,
berbekal kemampuan dan nasihat orang tua, aku telusuri jalanku sendiri. Tak
jadi soal bagiku jika nantinya akan menjadi pemenang atau pecundang. Toh dalam
kehidupan pemenang tidak hanya satu, pun pecundang tidak selalu jadi pecundang.
Hanya perlu yakin dan tentukan jalan. Insya Allah dituntun. Sederhananya, dari
ini semua aku hanya ingin jadi manusia yang baik, selayaknya nasihat beliau, ‘cukup
satu hal, jadilah anak baik’.
Dunia
‘baru’, sambut lah aku!
Malang 17 Februari 2014
Aqsha Al Akbar
No comments:
Post a Comment
Silahkan komen yaa