Monday 17 February 2014

Jadi Anak Baik




Tanggal 16 Februari kemarin, aku menemukan sebongkah cahaya. Ialah doa dan harapan yang digantung pada semangat. Oleh seseorang yang sangat kuhormati dan kusayangi. Cahaya itu berbeda dengan cahaya lainnya. Makanya kusebut ‘se’-‘bongkah’. Begitulah maksudnya. Tepatnya adalah restu. Dia memberi restu padaku untuk menentukan jalan yang benar-benar pada kendaliku, lewat tuntunan Tuhan. Aku diizinkan meninggalkan dunia perkuliahan.


Aku telah lima tahun kuliah. Bahkan (akan) memasuki waktu enam tahun. Aku kuliah sejak tahun 2008. Kala itu aku menempuh pendidikan S1 Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Namun, aku akhirnya gagal (lihat di sini). Hal itu membuat aku meneruskan kuliah pada jurusan dan kampus yang berbeda. Aku mengambil studi hukum di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Belum genap aku tiga tahun di kampus putih itu, aku memilih keluar. 

Ya, aku tinggalkan dunia perkuliahan dan memilih membanting nasib dengan caraku sendiri. Aku percaya pada diri dan takdir Tuhan. Meski terdapat sedikit kekhawatiran akan masa depan tanpa gelar kesarjanaan, aku teguh pada tekadku, berusaha untuk hidup dalam jalan yang kutempuh. Seketika aku menjadi sosok yang berbeda dari wajah keluarga besarku.

Dalam keluarga besarku, kepribadian seseorang yang dianggap sukses ialah mereka yang berpendidikan tinggi dan memiliki pekerjaan mentereng di perusahaan besar dengan penghasilan melimpah. Sudah banyak abang dan kakak sepupuku yang seperti itu. Sesuatu yang sama sekali tidak menarik bagiku. Tidak, aku punya jalanku sendiri. 

Sedari SMP aku telah memiliki ragam pemikiran yang kubangun dengan kritis. Aku ‘nyeleneh.’ Aku hampir-hampir tidak berprestasi dalam bidang akademik. Walau sesekali aku menjadi nomor satu di bidang itu. Tapi, sesungguhnya jalan itu tidak menarik bagiku. Sama sekali. 

Semakin beranjak dewasa, semakin aku lebih sering berkelahi dengan pikiranku sendiri. Terlampau ingin tahu pada sesuatu membuat aku menjadi tambah ‘nyeleneh’. Hingga semakin mendesakku untuk ‘menghujat’ lembaga pendidikan tinggi. Ya, aku menjadi benci dengan kampus. Entah, karena aku naif atau sok idealis, aku merasa kampus lebih sering membunuhku. Membunuh bangsa. Terutama dari sistem yang tidak berorientasi pada kemasyarakatan. Akibatnya kampus menjadi sesuatu yang ekslusif. Benci? Boleh jadi semakin bertambah. 

Berangkat dari sana, pelan-pelan aku tinggalkan kuliahku. Apakah aku menjadi sosok yang bermalas-malasan di atas kasur? Sesekali iya. Tapi, seiring aku menjadi ‘mantan’ mahasiswa, aku mengambil inisiatif. Tidak, aku tidak ingin gagal sebagai manusia. Aku tahu punya bakat dan kemampuan. Sebenarnya setiap orang pun memiliki kemampuan. Tinggal cara mengasahnya saja yang perlu ditingkatkan.

Akhirnya, berbekal kemampuan dan nasihat orang tua, aku telusuri jalanku sendiri. Tak jadi soal bagiku jika nantinya akan menjadi pemenang atau pecundang. Toh dalam kehidupan pemenang tidak hanya satu, pun pecundang tidak selalu jadi pecundang. Hanya perlu yakin dan tentukan jalan. Insya Allah dituntun. Sederhananya, dari ini semua aku hanya ingin jadi manusia yang baik, selayaknya nasihat beliau, ‘cukup satu hal, jadilah anak baik’.

Dunia ‘baru’, sambut lah aku!

Malang 17 Februari 2014
Aqsha Al Akbar

No comments:

Post a Comment

Silahkan komen yaa