Friday 21 February 2014

Aku Kiri



“Kiri” bukanlah berarti sebuah cap yang disejajarkan dengan ideologi seperti sosialis, bahkan komunis seperti pandangan umum masyarakat Indonesia. Anggapan bahwa orang yang beraliran Kiri merupakan golongan komunis lahir sejak paska pembantaian terhadap kader, anggota dan pengikut PKI pada tahun 1965-1966 atau yang kita kenal sebagai G30S. Sengaja tidak saya sebutkan G30S-PKI, karena dengan fakta-fakta yang saya ketahui dan keyakinan saya, berpendapat, gerakan tersebut bukan didalangi oleh PKI (pembunuhan jenderal). Pada tulisan ini, saya mencoba meluruskan pandangan Kiri sesuai filosofi historisnya.


Kiri adalah suatu bentuk gerakan sosial yang kritis, berpikir menentang dan melawan kemapanan suatu otoritarian yang ada. Kiri juga suatu gelombang sosial yang melegitimasi diri atau kelompoknya untuk ‘membaca ulang’ terhadap berbagai keadaan sosial, politik, pendidikan dan ekonomi yang terjadi pada suatu negara.

‘Membaca ulang’ ini meliputi segala sesuatu yang bersifat mutlak dalam pengetahuan atau pemahaman yang disandingkan pada suatu ideologi. Dalam bahasa saya, adalah pemahaman umum atau lazim kita ketahui sekarang sebagai sebuah mainstream. Pemahaman umum ini disejajarkan pada suatu ideologi yang terlihat dalam struktur sosial yang baku atau formil.

Dalam suatu literasi, saya menemukan istilah Logosentrisme, istilah ini berarti pemusatan suatu pemahaman atau bahkan sebuah ideologi kepada satu ragam. Pemaksaan paham ini ditujukan pada masyarakat agar diikuti. Hemat saya, ini lah suatu bentuk represi dan sentralisasi kebenaran. Umumnya, hal ini dilakukan untuk meng-counter ide dan pemahaman non-sentral atau non-mainstream.

Hal tersebut sangat berkaitan dengan kemapanan atau estabilishment suatu hegemoni. Jika ada yang belum tahu apa itu hegomoni, menurut Antonio Gramsci, hegemoni merupakan bentuk kekuasaan atas berbagai hal. Kekuasaan tersebut merupakan alat atau usaha untuk mendominasi. Dahulu, hanya dikenal dominasi kekuasaan antar negara. Seperti negara yang kuat akan mengontrol dan menguasai negara yang lemah. Dikenal bentuknya seperti imperialisme atau imperialisasi. 

Tetapi, belakangan hegemoni dapat diperluas makna dan penggunaannya, misalnya pada kelas sosial, kebudayaan, ideologi, bahasa, pendidikan, ekonomi, politik dan lain-lain. Tidak melulu antar negara lagi.

Nah, kekhawatiran terbesar saya sebagai anak bangsa atau pemuda juga sebagai mantan mahasiswa adalah tumpulnya daya kritis masyarakat, khususnya mahasiswa. Karena saya percaya, mahasiswa memiliki tugas penting untuk mengantar negerinya menjadi lebih baik. Baik dalam hal kesejahteraan dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan melalui fungsi pokok mahasiswa, seperti sebagai Agent of Control, sebelum menjadi agen perubahan.

Saya cukup beruntung, selama saya kuliah mau belajar dan mencoba peka terhadap keadaan sekitar. Banyak buku-buku yang berkaitan dengan sosial saya baca. Hal ini menunjang pemahaman saya atas kesalahan yang ada pada negeri. Tidak bisa kita elakkan, bahwa Indonesia sudah begitu keropos. Orang mungkin bicara tentang korupsi, tapi saya tidak fokus pada hal korupsi. Saya lebih melihat pada sistem yang ada. Kenapa pejabat bisa korupsi? Semua terletak pada sistem yang salah. Dan, maaf saja, bagi saya korupsi adalah masalah remeh temeh. 

Ada yang lebih fundamental dibandingkan masalah korupsi. Kesenjangan sosial kita begitu besar. Antara kaum kaya dan kaum miskin terdapat jarak yang sangat renggang. Akhirnya perbedaan kehidupan antara si kaya dan si miskin menjadi pemandangan biasa. Masyarakat menjadi tidak peduli alias apatis. Karena, toh sistem negara kita membenarkan itu. Problematika kemiskinan bukan jadi tanggungan masyarakat umum, tetapi pemerintah. Pandangan ini membuat masyarakat tidak peduli. 

Karena itu, sebagai bagian kecil masyarakat, saya mencoba membaca ulang. Saya menjadi Kiri. Saya memiliki sikap akan hal tersebut. Saya tidak bisa melihat keadaan seperti ini terus berlangsung. Sementara orang berebut singgasana kekayaan. Orang kaya sibuk melebarkan sayap modalnya. Perekonomian pun menjadi kolaps. Lihatlah krisis ekonomi yang terjadi di eropa sejak 2008 lalu. Semua terjadi karean gagalnya sistem kapitalisme.

Maaf, dalam hal ini, jarang sekali masyaraka umum Indonesia peduli dan mencoba menempatkan pikirannya pada seabrek masalah. Kita kerap menyalahkan pemerintah. Iya betul, patut disalahkan pemerintah itu. Tapi, mereka memang sengaja demikian. Karena, pemerintah sejatinya bukan pemerintah yang mengatur negara. Mereka kaum yang diatur oleh pergerakan modal. Hemat saya, ada negara dalam negara. Sudah banyak contoh. Terlibatnya si pejabat ini, pejabat itu dan lain-lain dengan proyek-proyek, adalah tanda bahwa pejabat tersebut mengisi pos pemerintahan demi memuluskan ambisi para pemodal. Dibukanya pasar bebas menjadi bukti lain yang mengisyaratkan bahwa pemerintah kita tak lain adalah boneka kapitalis.

Di sini kaum Kiri mengambil peran. Mereka sudah pasti menjadi anti pemerintah, sama dengan saya yang anti pemerintah. Jangan percaya dengan program pemerintah untuk masyarakat,  embel ini embel itu. Semuanya hanya sekedar politik etis. Mirip seratus persen dengan apa yang dilakukan Belanda dahulu saat menjajah Indonesia. Kalau sudah demikian apalagi namanaya kalau bukan degradasi bangsa?

Sekali lagi, Kiri bukan kaum yang condong beraliran sosialis, komunis atau apalah itu yang menjadi paham umum. Justru kaum Kiri adalah golongan masyarakat yang siap membawa negara dan masyarakat sejahtera bebas dari cengkraman hegemoni. Lihatlah Bung Karno, Presiden pertama kita, beliau sosok Kiri. Bahkan dalam suatu pidatonya, Ia menyeru pada setiap orang termasuk menteri-menterinya agar menjadi Kiri. Semua ini dilakukan agar masyarakat tidak tumpul daya pikir, inisasi, kepekaan dan kritisnya.

Apa jadinya sebuah negara kalau masyarakatnya tenggelam dalam hal-hal yang tidak produktif dan menjadi ultra konsumtif? Sedikit banyaknya, sikap tersebut sudah kita rasakan dewasa ini.

Malang, 21 Februari 2014
Aqsha Al Akbar

2 comments:

  1. hmm sebenarnya kesalahan pemerintah jg diawali oleh moral pribadinya..jadi mari merubah diri sendiri dulu untuk peduli baru menggerakkan badan ke seluruh arah..yuk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam.
      Iya bu, saya sih memang memilih untuk bergerak sendiri dulu ketimbang berharap sama pemerintah. walaupun pada akhirnya semuanya harus saling mempunyai sikap.

      Delete

Silahkan komen yaa