Thursday 20 February 2014

Warga Otak




Pertama, saya sedang bingung mau menulis apa. Karena memang otak saya sedang bermain dengan otak-otak yang lain. Bagi saya, biarlah toh dia berhak menikmati kehidupannya. Eh, tapi sebenarnya otak saya sering bermalas-malasan. Jarang sekali mau bekerja dan hidup selayaknya otak-otak pada umumnya. 


Oh saya lupa, hari ini memang hari besar otak. Seingat saya hari lahir otak yang dirayakan secara nasional oleh penduduk otak. Ada si sel, ada si apa namanya saya tidak tahu dan mereka sedang bersantai di pantai laut merah (baca saja darah yang mengalir). 

Sebenarnya saya sedang menulis novel. Mungkin kali ini yang benar-benar serius. Setelah sebelumnya tidak pernah tekun dalam pengerjaannya. Hingga terbengkalai. Lalu saat mau melanjutkan, saya pikir, ‘ini novel jelek banget’ dan segera dengan kejam saya hapus. Padahal sudah masuk bab 3-4. Iya jelek. Dan, yaa begitulah.

Pembaca yang budiman....

Tunggu!

Saya hampir-hampir tidak memiliki pembaca yang ada di blog ini. Okelah, tidak ada masalah. Meski secara ‘resminya’ saya memiliki dua pengikut (itu juga teman), saya tetap menulis di blog ini. Barangkali dibaca sama Pak Karno dari liang kubur atau juga mas Pramoedya dari balik tirai panggung Nobel. Ah sudah, kebanyakan memang pembaca hantu. Haha.

Saya menulis ini berdasarkan satu alasan, karena saya kebingungan meneruskan novel saya. Padahal sebelumnya saya sudah menargetkan sehari menulis 15 halaman atau paling tidak 1 bab. Tapi, otak saya lagi libur. Mereka beraninya meliburkan diri. Oh tidak, mereka berhak meliburkan diri. Tapi, tenang, saya punya tim kepresidenan dalam tubuh kerempeng saya. 

Ada sebuah sistem untuk menyuruh otak kembali pulang dari pesta nasional tahunan itu. Saya beserta jajaran menteri tubuh sepakat untuk membikin keadaan negara seolah-olah sedang kacau. Katakanlah ada ancaman dari negara tetangga yang akan menyerang negeri. Negara ini sudah siap menyerang dengan senjata andalan, seperti: rasa lapar, rasa capek dan rasa marah. Jadi untuk melindungi warga otak-otak, saya perintahkan mereka semua untuk masuk ke dalam rumah dan berlakulah jam malam. 

Padahal cuma tipu-tipu.

Ternyata warga otak-otak ini lari ketakutan. Melihat tank-tank dan para serdadu tentara di setiap sudut kota otak dan dipenuhi berbagai macam pernak-pernik militer (emang ada pernak-pernik militer? Anggap saja ada).

Nah, yang perlu diketahui, warga otak-otak ini ternyata ketakutan sekali dengan yang namanya rasa lapar, rasa capek dan rasa marah. Karena kestabilan hidup mereka dapat terganggu. Sebagai pemimpin negara yang bertanggung jawab, saya yang juga sebagai sutradara ini, melindungi warga negara otak-otak berupa makanan yang bernutrisi. Lalu saya minta mereka semua untuk tetap kembali beraktivitas seperti sedia kala, dengan perlindungan negara tentunya. Hah, saya kok yang ngatur.

Tapi, masalah membangkitkan tulisan bukan itu saja. Di samping berpura-pura ada kekacauan dan memaksa otak kembali beraktivitas, ada masalah baru; warga otak kiri yang ingin merasa ekslusif dari otak kanan. 

Kaum otak kiri beranggapan, mereka adalah kaum intelektual dan tahu segala macam kaedah serta mengatasi keadaan. Mereka menganggap kaum otak kanan hanyalah kaum yang susah diatur. Pusing juga saya. Karena toh dalam negara bagian otak ini (saya lupa bilang, kalau otak merupakan negara bagian saya-red) harus seimbang antara keduanya. Perihal dua kaum yang berbeda ini harus diselesaikan. Mereka harusnya sadar bahwa otak kanan dan otak kiri adalah satu kesatuan. 

Akhirnya, demi terwujudnya program yang termaktub dalam visi dan misi saya saat kampanye presiden yang tujuan utamanya adalah negara sehat dengan tulis-menulis, saya kemukakan gagasan. Ini juga masukan yang saya terima dari negara tetangga yang baik. Gagasannya adalah:

“Saat melaksanakan program tulis menulis, biarkan otak kanan yang bekerja dulu. Biarkan mereka selesai dan berpuas diri. Lalu, kaum otak kiri mulai bekerja untuk menganalisa dan membenahi kalau-kalau ada kesalahan dalam kerja otak kanan tadi”.

Dan ternyata, gagasan saya ini (gagasan pinjaman) disambut baik oleh kedua kaum. Apalagi saya memberi insentif bagi pihak-pihak yang telah selesai bekerja berupa lagu-lagu favorit dari setiap kaum. Harapan saya, program ‘Negara Sehat dengan Menulis’ dapat terlaksana.

Demikianlah pembaca yang budiman.
Semoga saya gila dalam konteks yang antonim. Heh!?

Ini tulisan bukan?

Malang, 20 Februari 2014
Aqsha Al Akbar

2 comments:

  1. ini tulisan mas ..jelas banget..dan melihat gayanya, Anda tuh berbakat nulis novel ..idenya aja bagus, keren..asal diteruskan dg serius dan konsisten! ayo..semangat! dibuat serial di blog jg ok!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduh bu. ini tulisan iseng-iseng pas lagi buntu. Tapi, makasih banget dorongannya, bu. Insya Allah saya sedang serius menggarap novel. Ada sedikit 'battle' dengan penulis lain. Hehehe..

      Delete

Silahkan komen yaa