Wednesday 12 February 2014

Harapan Gemilang



Aku telah hidup sepanjang nafas memberi ruang. Sepanjang nasib berteriak lantang atau menertawakan. Dari nadi yang menjaga seluruh. Juga dari kelopak mimpi yang membuka pelan. Membawaku pada dunia yang jemawa, yang kadang menikamku bersama keangkuhannya.


Mentari impian yang pernah menyinari kini redup. Memilih kegelapan yang bermuram durja. Aku, akan tetap berjalan. Mencari tapak jejak yang berselimut embun. Melalui atrium harapan. Siap melesakkan jiwa bersama tuntunan takdir.

Bersama kokohnya semangat yang kau sematkan padaku, Ayah, aku tidak akan mundur barang sejengkal. Seperti geloramu membangkitkan kehidupan. Meski yang terakhir itu belum penuh kutasbih. 

Ayah, kebanggaan akan putra satu-satu ini belum terjadi lagi padamu. Lewat mimpi dan harapan yang kau taburkan padaku, rasa-rasanya aku terlalu jauh melekat padanya. Belum lagi kini aku hanya bisa menyerahkan rasa malu. Sedang yang membikin hati tersenyum tak dapat membingkai harapan.
 
"Nasihatmu padaku selalu sederhana"
Kekalahan demi kekalahan aku alami. Luka dan derita tak terkira rasanya. Dilecehkan sana-sini. Beringsut malu dan segan pada teman-teman seperjuangan yang telah menempatkan diri pada singgasana kesuksesan. Membuat para pendoa mereka bangga. Lagi, itu belum aku tuangkan pada cangkir manis hari senjamu.

Maafkan lah. Barangkali Allah ‘membiarkanku’ pada jalan yang lain. Mencari tanda-tanda dari Maha Kehendak-Nya. Meniti dari setitik cahaya yang paling kecil. Mengasah diri dari ketidak-sempurnaan. Menuju jalan yang penuh arti. Walau mesti terpatri sejenak di sana-sini. Seolah nadinya bersembunyi dari kabut dimensi. 

Maafkan lah, Ayah. Sungguh mengerti kesusahanmu memenjarakanmu. Siang dan malam membakar peluhmu. Hanya demi senyuman akhir yang tanpa akhir. Dari pijar-pijar kehidupan anakmu, aku, putra sulungmu.

Apa yang tersisa saat ini adalah tentang pengembaraan. Suatu jejak langkah yang melangkah dari kekalahan awal. Memacu bersama pertobatan dosa. Dosaku padamu yang selalu enggan kau terima. Karena bagimu hanya ketulusan. Sedang dosaku padamu adalah ibarat aral yang mengimbangi dan menghidupi ketulusan yang lahir seiring tangisan pertamaku.

Ayah, sepotong janji masa lalu tak mampu aku tepati. Hanya nasihatmu yang kini kutanam dalam-dalam. Nasihat abadi dari kebijaksanaanmu. Sebuah bekal bagi perjalananku. Untukmu melalui harapanku. Padamu yang akan kuberikan senyum. Hari-hari saat memori suka cita melantun nada. 

Malang, 12 Februari 2014
Aqsha Al Akbar                                                                    

No comments:

Post a Comment

Silahkan komen yaa