Aku
telah hidup sepanjang nafas memberi ruang. Sepanjang nasib berteriak lantang
atau menertawakan. Dari nadi yang menjaga seluruh. Juga dari kelopak mimpi yang
membuka pelan. Membawaku pada dunia yang jemawa, yang kadang menikamku bersama
keangkuhannya.
Mentari
impian yang pernah menyinari kini redup. Memilih kegelapan yang bermuram durja.
Aku, akan tetap berjalan. Mencari tapak jejak yang berselimut embun. Melalui atrium
harapan. Siap melesakkan jiwa bersama tuntunan takdir.
Bersama
kokohnya semangat yang kau sematkan padaku, Ayah, aku tidak akan mundur barang
sejengkal. Seperti geloramu membangkitkan kehidupan. Meski yang terakhir itu
belum penuh kutasbih.
Ayah,
kebanggaan akan putra satu-satu ini belum terjadi lagi padamu. Lewat mimpi dan
harapan yang kau taburkan padaku, rasa-rasanya aku terlalu jauh melekat
padanya. Belum lagi kini aku hanya bisa menyerahkan rasa malu. Sedang yang membikin
hati tersenyum tak dapat membingkai harapan.
Kekalahan
demi kekalahan aku alami. Luka dan derita tak terkira rasanya. Dilecehkan sana-sini.
Beringsut malu dan segan pada teman-teman seperjuangan yang telah menempatkan
diri pada singgasana kesuksesan. Membuat para pendoa mereka bangga. Lagi, itu
belum aku tuangkan pada cangkir manis hari senjamu.
Maafkan
lah. Barangkali Allah ‘membiarkanku’ pada jalan yang lain. Mencari tanda-tanda
dari Maha Kehendak-Nya. Meniti dari setitik cahaya yang paling kecil. Mengasah diri
dari ketidak-sempurnaan. Menuju jalan yang penuh arti. Walau mesti terpatri
sejenak di sana-sini. Seolah nadinya bersembunyi dari kabut dimensi.
Maafkan
lah, Ayah. Sungguh mengerti kesusahanmu memenjarakanmu. Siang dan malam
membakar peluhmu. Hanya demi senyuman akhir yang tanpa akhir. Dari pijar-pijar
kehidupan anakmu, aku, putra sulungmu.
Apa
yang tersisa saat ini adalah tentang pengembaraan. Suatu jejak langkah yang
melangkah dari kekalahan awal. Memacu bersama pertobatan dosa. Dosaku padamu
yang selalu enggan kau terima. Karena bagimu hanya ketulusan. Sedang dosaku padamu adalah ibarat aral yang
mengimbangi dan menghidupi ketulusan yang lahir seiring tangisan pertamaku.
Ayah,
sepotong janji masa lalu tak mampu aku tepati. Hanya nasihatmu yang kini kutanam
dalam-dalam. Nasihat abadi dari kebijaksanaanmu. Sebuah bekal bagi
perjalananku. Untukmu melalui harapanku. Padamu yang akan kuberikan senyum. Hari-hari
saat memori suka cita melantun nada.
Aqsha Al Akbar
No comments:
Post a Comment
Silahkan komen yaa