Wednesday 5 February 2014

Sisi Lain






Sang dosen terus saja menerangkan materi perkuliahan. Tangan kirinya memegang sebuah remote kecil yang mengarahkan slide materi pada sebuah layar putih. Sedang tangan kanannya memegang spidol. Sesekali spidol itu ikut terayun mengikuti gerak tangan si dosen ketika menerangkan. Dosen tua itu merupakan dosen senior di fakultas. Pengabdiannya pada kampus dan fakultas mengantarkan dia menjabat sebagai Dekan. Para mahasiswa yang duduk pada barisan depan memperhatikannya dengan serius. Sedang bagian tengah ke belakang, yang terdengar hanya celotehan para mahasiswa yang kuliah demi mengejar ijazah. Tidak peduli ilmu yang bertebaran di sekitarnya. Diantara mahasiswa yang berisik ternyata menyisakan juga seorang mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan serius, Ia Regi.

Mahasiswa barisan belakang sebagian lainnya tidur. Terlihat juga sepasang mahasiswa-mahasiswi berpacaran dengan diam-diam. Seorang mahasiswa yang kurang kerjaan sengaja mengusili Regi yang sibuk memperhatikan perkataan dosen. Regi yang diganggu diam saja. Senyumnya sedikit ia lempar pada temannya. Itu sudah cukup untuk mendorong temannya untuk membatalkan usilan kedua.

“Saudara! Tentunya saudara tak keberatan nantinya hidup dalam kemelaratan, bukan!? Karena menjadi seorang sarjana hukum yang idealis di Indonesia ini sulit. Lain halnya jika saudara ingin kaya sendiri dengan menjadi notaris atau pengacara, itu juga kalau saudara sukses. Kalau tidak? Tetap saja jadi gelandangan!” Kata sang dosen.

“Hari-hari belakangan lebih-lebih membuat saya miris, saudara-saudara. Melihat banyaknya ahli hukum negeri kita yang berubah jadi mafia. Kadang membuat saya malu. Kadang juga membuat saya ketakutan, apakah kiranya yang saya berikan pada saudara menjadikan saudara bernasib seperti mereka. Semoga Allah menunjukkan jalan kebaikan pada saudara!” Tutupnya yang menandakan perkuliahan siang itu berakhir.

Para mahasiswa tentu saja girang. Mereka yang sudah kelewat bosan dengan penyampaian pak dosen tua akhirnya bebas. Belum lagi kebanyakan dari mereka tidak sempat sarapan pagi, maklum perkuliahan dimulai pagi sekali. Dengan bobot SKS yang besar, tentu memakan waktu yang banyak. Tiga jam mereka mengikuti perkuliahan. Mahasiswa barisan depan yang serius memperhatikan tidak jarang menguap. Walaupun sembunyi-sembunyi.

Ketika sedang mengemas perlengkapan mengajar, dosen itu melihat kepada seorang mahasiswa di pojok kiri ruang kelas. Di sana Regi sedang mencatat sesuatu. Ia seolah tidak merasa perlu buru-buru keluar, meski perut lapar dan mulutnya pahit karena ingin merokok. Sang dosen pun menegurnya:

“Kenapa saudara selalu paling akhir keluar kelas?”

Kaget mendengar pertanyaan dosen, Regi yang semula sedang menunduk terpaksa mendongakkan kepalanya dan melihat ke arah sosok lelaki tua berambut keriting. 

“Oh ini pak, saya sedang mencatat sedikit,” jawab Regi singkat tersenyum kecil.

“Saudara, Regi, bukan?”

“Iya pak.”

“Kenapa saudara tidak pernah kelihatan di awal perkuliahan sebelumnya?” 

“Saya berhalangan, pak. Maaf.” Regi keliatan kikuk ditanya seperti itu. Meskipun Ia tahu, dosen kesenangannya ini tidak pernah memusingkan kehadiran mahasiswa. 

“Sangat disayangkan kalau saudara tidak rutin mengikuti perkuliahan. Karena seingat saya, semester lalu saudara cukup menonjol di kelas saya. Bukan begitu?” Lanjut sang dosen yang sudah mengemasi barangnya. Kali ini ia berjalan pelan ke deretan kursi di sekitar Regi. Regi yang melihat itu segera menghentikan tulisannya.

“Suatu pujian bagi saya, pak. Terima kasih,” balasnya pada sang dosen.

“Terkadang kita tidak bisa mengelak dari banyak masalah. Saya dengar dari desas-desus dosen lain di kantor, menyebut saudara sudah berubah sama sekali. Kenapa saudara tidak pernah aktif dan rajin ke kampus lagi?” Dosen itu pun duduk di kursi yang berselang 2 meja dari kursi tempat Regi duduk.

“Akan saya usahakan kedepannya hal ini tidak terulang lagi, pak.” Regi semakin kikuk menghadapi perkataan sang dosen. Malu juga ia mendengar itu. 

Sang dosen hanya mengangguk saja dan tangan keriputnya itu merogoh saku kemeja berwarna putih. Dikeluarkannya sebungkus rokok dan korek api. Tanpa sungkan Ia langsung membakar balutan tembakau. Regi cukup kaget melihat itu, terlebih sang dosen menawarkan rokok padanya. Entah karena memang Ia sudah kepingin merokok atau segan menolak, ia catut juga sebatang rokok kretek itu.

“Tenang, tidak ada aturan baku tentang merokok di dalam kelas, kecuali saat sedang perkuliahan.” Terang si dosen tersenyum. Kali ini suasana sedikit jadi lebih santai. Baik Regi yang awalnya kikuk dan dosen yang tadinya seolah bergaya resmi, telah hilag bersama asap rokok yang mengitari mereka.

“Saudara tentu tahu, saya ini tidak pernah menilai mahasiswa saya goblok atau pun pintar. Nilai mereka pun saya beri sesuka hati saya. Suka hati karena, kalau menurut saya Ia paham pada materi walaupun tidak rajin masuk serta mengabaikan tugas yang saya berikan, tetap akan mendapatkan nilai yang baik.” Lanjut sang dosen. Regi tidak bisa komentar apa-apa tentang itu. Di satu sisi Ia hanya seorang mahasiswa yang nilai akhirnya bergantung pada seorang yang sedang berbicara padanya itu.

“Nah sekarang, coba ceritakan apa yang membuat saudara jarang masuk seperti saat semester lalu? Tentu ungkapan maaf saudara memiliki kekuatan yuridisnya, bukan?” Tanya sang dosen setengah memancing untuk mendapatkan alasan yang pasti tentang ketidakhadiran Regi. Alasan Yuridis? Tentu. Setiap perkataan dan perbuatan yang dilakukan oleh seorang penggiat hukum harus memiliki dasar yang sah. Tidak bedanya dengan ucapan biasa. Mahasiswa hukum, terutama, ia dibiasakan berbicara dengan penyertaan dasar hukum yang ada.

“Saya tidak memiliki alasan yang pasti, pak,” jawab Regi bingung.

“Nah…nah. Tidak bisa begitu. Ah.. Mari.” Sang dosen mengajak Regi keluar ruangan ketika dilihatnya pegawai fakultas hendak membersihkan dan mengunci ruangan. Maka bergegaslah mereka berdua. Regi yang berharap percakapan itu segera berakhir, justru digiring sang dosen menuju kantin yang terletak tidak jauh dari ruang kelas. Sebelum berangkat, sang dosen berpesan pada pegawainya, “ini tolong letakkan di atas meja saya. Terima kasih.”

Setiba di kantin, para mahasiswa lain yang melihat Regi dan sang dosen mulai bertanya-tanya. Kehadiran dua orang itu betul-betul mencuri perhatian mereka. Anggapan bahwa Regi sedang menjilat sang dosen pun juga muncul. 

“Ah pasti Regi mau cari nilai. Ditraktirnya lah bapak itu,” timpal seorang mahasiswa.

“Ah mana mungkin, yang ada kebalikannya. Regi kan anak pejabat. Barangkali bapak itu mau memanfaatkan Regi biar dekat ke pejabat-pejabat,” bantah seorang mahasiswa yang duduk di sebelahnya.

Sosok perempuan yang duduk bersama mahasiswi lainnya mendengarkan celotehan dua orang tadi. Lantas berujar lah perempuan itu.

“Cowok kok sukanya gossip?” Sindirnya yang mengundang senyum-senyum temannya yang lain. Perempuan ini bernama Nadia. Teman dekatnya tahu kalau Nadia memang tertarik pada Regi. Hanya saja, Regi memang tidak terlalu terbuka kepada siapa pun. Tak pelak, Nadia hanya bisa mengagumi Regi sambil berharap ada keajaiban yang membuat mereka berdua menjadi dekat.

Nadia memang tidak cantik. Namun, Nadia cukup pintar dalam menguasai materi. Indeks prestasinya lumayan baik, nyaris menyentuh garis batas cumlaude. Untuk urusan percintaan, perempuan yang sedikit hitam ini sering kandas. Tak ada satu pun lelaki yang pernah menjalin kasih bersamanya.

Di pojok kantin yang menghadap ke jalanan kecil kampus, duduk lah Regi dan sang dosen. Jalanan kecil di dekat mereka, terlihat para mahasiswa sedang berjalan. Diantaranya ada yang berhenti sejenak dan bersalam ketika bertemu rekan seperjuangan. Sebagian lain yang mengenakan jaket berwarna khusus menandai organisasi tertentu, terus berkelompok menyusuri jalan kecil itu. Yang tersisa mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang) dengan kesehariannya yang sangat monoton. 

Asap rokok terus mengudara. Regi yang tidak pernah memulai bicara hanya diam saja menunggu perkataan sang dosen. Yang dilihatnya saat itu sang dosen sedang meneguk secangkir kopi. Meja mereka berdua sudah dihias oleh dua gelas minuman dan sepiring gorengan yang telah dipesan sebelumnya. Lengkap dengan sambal petis di sisi kiri piringnya.

“Jadi saudara tidak memiliki alasan yang pasti? Saya sendiri tidak yakin,” ucap sang dosen seraya meletakkan gelas ke atas piring yang mewadahi gelas kopinya. Dipandangi mahasiswanya dengan lekat. Lalu kembali berujar, “santai saja. Kita tidak sedang kuliah. Tidak perlu diurusi apa kata orang.” Katanya saat melihat Regi memandangi teman-teman mahasiswa yang lain.

Merasa kepergok, Regi merespon.

“Enggak, pak.” Regi cengar-cengir.

“Lalu, apa alasannya? Kenapa saudara jarang terlihat saat kuliah?”

Regi yang merasa terus diberondong pertanyaan oleh sang dosen akhirnya bersuara. Kali ini tidak penuh retorika dan berusaha menghindar. Meski awalnya ia kebingungan harus dimulai dari mana, lambat laun ia tanpa malu berbicara terbuka. Ia sampaikan semuanya dengan jujur. Sudah berbulan-bulan Regi berpikir bahwa kuliahnya selama ini tak akan memberikan kebahagiaan padanya. Meskipun Ia menyadari dirinya cukup pintar dalam memahami berbagai materi. Namun, Ia merasa terpaksa dengan itu semua. Belum lagi kegiatannya yang lain lebih membuat Ia bergairah dibanding harus memenuhi standar minimum penilaian dosen di kampus. Ia sangat menyukai dunia kepenulisan. Biar apa kata orang, suatu kali membatin, Ia hanya merasa tenang sekaligus membuatnya berarti daripada menjadi onggokan daging yang hanya bisa mematung di ruangan kelas. Sang dosen sedikit kaget namun tetap memperhatikan dengan serius. 

“Ini masalah serius, saudara,” menanggapi perkataan Regi. Ia hisap dalam-dalam rokoknya dan mengendapkannya pada asbak cembung di atas meja dan melanjutkan.

“Saudara tentu paham, kalau saudara anak pejabat? Bagaimana orang tua saudara kalau mendengar hal ini? Ayah saudara terutama, pernah berkata pada saya sekali waktu. Ia berpesan pada saya untuk memperhatikan saudara. Ia berharap saudara menjadi mahasiswa teladan. Toh saudara memang memiliki kepintaran lebih dibandingkan yang lain. Begini, sebelum saya lanjutkan, benar saudara ingin berhenti kuliah? Sudah bulat kah keyakinan saudara?” Tanya sang dosen yang kali ini memang terlihat lebih serius.

Regi mendengar perkataan yang diiringi pertanyaan sang dosen, dengan sigap langsung menjawab. Tidak ada lagi keraguan dalam batinnya untuk berbicara pada sang dosen. Berlalu waktu yang ia luangan bersama lelaki tua itu dirasakan cukup menenangkan bagi dia. Seakan ia memang membutuhkan tempat bicara.

“Saya serius, pak. Semakin lama saya berpikir tentang ini, semakin saya bertambah yakin. Tiga tahun sudah saya menjadi mahasiswa. Sudah banyak buku saya baca. Sudah banyak perkataan yang saya dengar dari para dosen. Sudah banyak juga saya melihat kakak-kakak tingkat saya yang telah lulus. Tidak semuanya menjadi baik. Semuanya berujung pada titik yang sama, pak. Semua mengemis pada pekerjaan. Menghamba pada perusahaan-perusahaan. Kalau bijak, mereka berwira usaha. Sedangkan yang lain beradu dengan serdadu preman membela kepentingan rakyat. Tidak sedikit juga yang cuma jadi pengangguran. Satu hal yang membawa saya pada kesimpulan: kuliah tidak lagi sebagai pelengkap wacana keilmuan. Fungsinya sudah berubah total. Kuliah adalah tempat orang menghabiskan uang sambil berharap dapat mengembalikan modal yang telah mereka kucurkan selama di universitas.” Jelas Regi penuh keyakinan. Cepat tangannya langsung meraih sebatang rokok milik sang dosen dan menyulutnya dengan segera. Ia tidak segan lagi pamit meminta. Lalu bersandar lah Regi pada tembok di belakang kursi duduknya.

Sang dosen kelihatan sedang berpikir dalam setelah mendengar perkataan Regi. Ditariknya nafas dalam-dalam. Dipandangi wajah Regi.

“Saudara tahu berapa anak yang saya punya?”

Mendengar pertanyaan ini Regi merasa aneh. Kenapa pula Ia menanyakan hal ini? Dijawab juga oleh Regi.

“Tidak tahu, pak. Dua barangkali,” katanya menduga-duga.

“Betul. Memang dua anak saya. Anak saya yang kedua seumuran dengan saudara barangkali. Eng..berapa umur saudara? 22? Hmm, sudah menduga saya, tentu saudara terlambat kuliah. Ya lebih tua anak saya setahun. Tapi, tahu apa persamaan anak saya dengan saudara?" Sang dosen tak hentinya melemparkan pertanyaan.

“Tidak tahu, pak.”

“Memiliki wawasan yang luas. Cermat dan kritis melihat keadaan. Jeli dalam menganalisa. Sudah lama saya kagum pada saudara. Sejak perbincangan para dosen tentang kiprah saudara di kelas, sudah sangat yakin saya kalau saudara bukan orang biasa-biasa. Saudara punya pemikiran sendiri. Berani. Pemikiran sendiri, saudara, adalah hal langka. Tidak banyak orang di dunia ini yang memiliki pemikiran untuk kehidupannya sendiri. Tahu persamaan lainnya dengan anak saya itu?.... Ah, tentu saja saudara tidak tahu. Anak saya…” ia hentikan perkataannya. Diambilnya sepotong tempe goreng dan dicocolnya tempe itu pada mangkuk petis. Seraya mengunyah, ia memberi isyarat pada Regi untuk mengambil gorengan itu juga. Hal ini seperti memberi jeda pada Regi untuk meregangkan pikiran sebelum digiring pada pembicaraan yang lebih serius. Kini mulut mereka telah penuh dengan gorengan. Dengan tetap mengunyah, dosen itu melanjutkan.

“Anak saya itu bukan seorang sarjana. Ia mirip dengan saudara. Ia datang pada saya dan mengutarakan keinginannya untuk meninggalkan kuliah. Tentu saya kaget. Saya marah. Karena saya kuliahkan dia di PTN terbaik agar jadi sarjana hebat. Tapi…sebentar,” kepalanya berpaling pada seorang penjaga kantin dan berpesan, “tolong air putih dua, masak makan gorengan nggak dikasih air putih”, bebernya sambil meraih sehelai tisu dan menyapu celemotan di ujung mulutnya. Regi hanya manggut-manggut saja.

“Sampai mana tadi? Ah yaa. Awalnya saya marah. Orang tua siapa pun akan marah kalau melihat anaknya seperti itu. Tapi, setelah saya mendengarkan perkataan dia, alasannya dan apa yang akan dilakukan setelah itu membuat saya menjadi berpikir. Merenung saya. Butuh sebulan bagi saya untuk mendapatkan pikiran yang jernih. Perlu saudara tahu juga, selama sebulan dia saya abaikan. Hingga saya mengerti keputusannya. Bukan hanya itu, saya bangga padanya. Ia hidup! Saudara tahu apa itu hidup dan kehidupan? Tentu saudara sudah banyak mempelajari kehidupan. Kenapa dia hidup? Karena dia berani. Berani menerabas sisi yang bagi orang itu mengerikan. Istilahnya seperti daerah terlarang, sehingga membuat siapa saja yang tahu takut dan tidak berani menyentuhnya. Bahkan tahu pun tidak seperti apa dalamnya. Nah, anak saya, saudara, dia lah yang berani menyentuh daerah itu. Bukan hanya itu, ia berusaha untuk hidup di sana. Memang belum kelihatan, tapi semangatnya membuat saya tidak khawatir, malahan optimis padanya. Itu saudara… Mirip dengan saudara. Tapi, bedanya saudara belum lagi sepenuhnya keluar dan menemui titik itu. Tahu kenapa?” 

Regi hanya menggeleng.

“Karena saudara masih terbatas pada ide. Idea itu saudara, tidak akan menjadi bernilai tanpa dinamika. Dinamika itu saudara, bergerak. Artinya, pikiran saudara itu masih sebatas wacana. Perlu saudara gali dan eksplor lagi. Untuk menggali dan mengeksplor, saudara butuh keluar dari pikiran itu. Artinya?”

Terus terperanjat pada kata-kata dosen tua, Regi tidak bisa berkata. Keberaniannya untuk bicara lugas dan terus terang yang ia dapatkan tadi seolah lenyap dihadapan ucapan dosen kebanggaannya.

“Artinya, saudara perlu hidup dalam hidup saudara sendiri. Tentu saudara mengerti maksud saya. Hanya tinggal keyakinan batin saudara yang perlu dikuatkan. Jadi, bagaimana?” Tanyanya dengan suara yang pelan, hampir-hampir membisik.

“Bagaimana apanya, pak?” Regi polos menjawab.

“Lha, tadi katanya mau berhenti kuliah dan hendak jadi penulis?” Sang dosen kali ini tertawa terbahak-bahak. Baru kali ini Regi melihat sang dosen bisa tertawa lepas. Mahasiswa-mahasiswi di sekitar pun sampai merasa perlu untuk mengalihkan pandangan pada lelaki tua itu. Regi yang menyadari kepolosannya kembali bicara.

“Iya pak. Saya tahu apa yang akan saya lakukan,” jawabnya tanpa panjang lebar. 

Sang dosen tersenyum mendengar perkataan Regi. 

“Saudara, pernah baca karya-karya Pramoedya Ananta Toer? Belum? Nah, nanti saudara perlu membaca buku-bukunya. Kalau mau menjadi penulis besar, saudara harus membaca karyanya. Begini, pada salah satu karya itu, lupa saya judulnya yang mana. Pram mengatakan; ‘hidup ini sungguh sangat sederhana, yang hebat hanya tafsir-tafsirannya saja.’ Begitu lah kira-kira ia sampaikan pada salah satu bukunya. Saudara paham maksudnya?"

“Saya belum pernah berpikir seperti itu, pak.”

“Nah, saya pikir pesannya jelas. Kata-katanya mungkin tidak banyak dipikirkan orang banyak. Hanya kejeniusan Pram yang membuat ia bisa bicara seperti itu. Tapi, kiranya saudara bisa menarik dorongan dalam hidup saudara dari kata-kata itu. Bisa?” Tantang sang dosen pada Regi yang semakin hanyut ke dalam samudera. Lautan raksasanya pikiran pak dosen.

“Yaa, yaa itu pak. Memang betul kata-kata Pram itu.” Jawab Regi kembali dengan ragu. Sedang yang mendengarkan merasa perlu untuk menyampaikan lagi pesannya.

“Tafsiran. Tafsiran itu lah yang membedakan kehidupan manusia. Lain-lain semua sederhana. Namun, di tengah kejadian-kejadian dan pergeseran waktu yang tak pernah henti-henti ini, juga menyatukan pikiran-pikiran orang dalam satu pandangan yang sama adalah sifat yang seolah harus diterima. Paham? Mainstream kehidupan ini telah begitu mengekang pikiran orang, saudara. Orang harus kerja. Kalau tidak kerja mati. Tapi, untuk kerja, anda harus kuliah. Punya pendidikan. Pemikiran semacam ini telah mendarah daging. Yang tidak sepakat artinya menyimpang. Tindakan menyimpang ini lah yang disebut daerah terlarang. Namun, kita sebagai makhluk yang berakal dan memiliki hak alami untuk hidup, bisa mengambil tafsir sendiri. Benarkah pemikiran itu? Ingat saudara, kehidupan orang memiliki warnanya sendiri. Bijak lah mengambil sikap. Sekali lagi, ‘hidup ini sungguh sangat sederhana, yang hebat hanya tafsir-tafsirannya saja.’ Bangga lah pada diri saudara sendiri.” Jelas panjang lebar oleh sang dosen. Kali ini gigi atasnya yang ompong semakin jelas terlihat. Senyumannya berbalas senyum oleh Regi. Sang dosen bangkit dari kursinya yang membuat Regi juga ikut berdiri.

“Nak, sungguh saya bangga melihat salah satu mahasiswa saya memiliki pemikiran dan keberanian seperti saudara. Biarpun belum lagi memulai. Tak masalah. Setidak-tidaknya saudara telah adil sejak dalam pikiran. Ah, lagi-lagi kata Pram. Hahaha. Sudah saya harus mengajar lagi. Ini tolong bayarkan.” Pinta sang dosen dan meletakkan selembar Rp. 50.000 di atas meja. Ditepuknya pundak Regi dan berlalu. Tak lupa ia lemparkan senyumnya pada Regi dan mahasiswa yang lain.

Mata Regi terus membuntuti gerak sang dosen. Perkataan sang dosen selam 1 jam tadi telah membangunkan pikirannya kembali. Lebih dari sebelumnya. Seakan Ia ingin langsung bertindak. Tapi, bertindak apa? Dan sapaan ‘nak’? Regi hanya tersenyum kecil. Sekali pun Ia belum pernah disapa ‘nak’ oleh ayahnya yang merupakan seorang Menteri di negeri ini. Justru perasaan sayang terhadap sang dosen lah yang kini mengalir dalam perasaannya. Begitu dalamnya sang dosen menyelami dirinya. Dosen kebanggaannya. 

Dan berlalu lah Regi menuju kasir kantin. Ia bayar total tagihan makanan dan minuman yang dipesan. Totalnya Rp. 13.500, cukup murah. Dalam pikirannya masih saja terlintas perkataan-perkataan sang dosen. Yang keluar darinya saat itu hanyalah senyuman penuh arti. Seakan Ia mendapat aura kehidupan sesuai dengan yang apa diharapkan. Ketika hendak membalikkan badan, terlihat olehnya Nadia yang sedang memperhatikan Regi. Mengetahui Regi senyum-senyum, Nadia pun membalas senyum. Namun, sayang, yang dibalas ternyata sedang tersenyum dalam pikiran. Regi yang melihat senyuman Nadia pun aneh sendiri. Tak ambil pusing, ia pun segera keluar dari kantin. Nadia yang melihat itu hanya bisa melongo.

Malang, 5 Februari 2014
Aqsha Al Akbar

No comments:

Post a Comment

Silahkan komen yaa