Sang
dosen terus saja menerangkan materi perkuliahan. Tangan kirinya memegang sebuah
remote kecil yang mengarahkan slide materi
pada sebuah layar putih. Sedang tangan kanannya memegang spidol. Sesekali
spidol itu ikut terayun mengikuti gerak tangan si dosen ketika menerangkan.
Dosen tua itu merupakan dosen senior di fakultas. Pengabdiannya pada kampus dan
fakultas mengantarkan dia menjabat sebagai Dekan. Para mahasiswa yang duduk
pada barisan depan memperhatikannya dengan serius. Sedang bagian tengah ke
belakang, yang terdengar hanya celotehan para mahasiswa yang kuliah demi
mengejar ijazah. Tidak peduli ilmu yang bertebaran di sekitarnya. Diantara
mahasiswa yang berisik ternyata menyisakan juga seorang mahasiswa yang mengikuti
perkuliahan dengan serius, Ia Regi.
Mahasiswa
barisan belakang sebagian lainnya tidur. Terlihat juga sepasang mahasiswa-mahasiswi berpacaran dengan diam-diam. Seorang mahasiswa yang kurang kerjaan sengaja mengusili Regi
yang sibuk memperhatikan perkataan dosen. Regi yang diganggu diam saja.
Senyumnya sedikit ia lempar pada temannya. Itu sudah cukup untuk mendorong
temannya untuk membatalkan usilan kedua.
“Saudara!
Tentunya saudara tak keberatan nantinya hidup dalam kemelaratan, bukan!? Karena
menjadi seorang sarjana hukum yang idealis di Indonesia ini sulit. Lain halnya
jika saudara ingin kaya sendiri dengan menjadi notaris atau pengacara, itu juga
kalau saudara sukses. Kalau tidak? Tetap saja jadi gelandangan!” Kata sang
dosen.
“Hari-hari
belakangan lebih-lebih membuat saya miris, saudara-saudara. Melihat banyaknya
ahli hukum negeri kita yang berubah jadi mafia. Kadang membuat saya malu.
Kadang juga membuat saya ketakutan, apakah kiranya yang saya berikan pada
saudara menjadikan saudara bernasib seperti mereka. Semoga Allah menunjukkan jalan
kebaikan pada saudara!” Tutupnya yang menandakan perkuliahan siang itu
berakhir.
Para
mahasiswa tentu saja girang. Mereka yang sudah kelewat bosan dengan penyampaian
pak dosen tua akhirnya bebas. Belum lagi kebanyakan dari mereka tidak sempat
sarapan pagi, maklum perkuliahan dimulai pagi sekali. Dengan bobot SKS yang
besar, tentu memakan waktu yang banyak. Tiga jam mereka mengikuti perkuliahan.
Mahasiswa barisan depan yang serius memperhatikan tidak jarang menguap. Walaupun sembunyi-sembunyi.
Ketika
sedang mengemas perlengkapan mengajar, dosen itu melihat kepada seorang
mahasiswa di pojok kiri ruang kelas. Di sana Regi sedang mencatat sesuatu. Ia
seolah tidak merasa perlu buru-buru keluar, meski perut lapar dan mulutnya
pahit karena ingin merokok. Sang dosen pun menegurnya:
“Kenapa
saudara selalu paling akhir keluar kelas?”
Kaget
mendengar pertanyaan dosen, Regi yang semula sedang menunduk terpaksa
mendongakkan kepalanya dan melihat ke arah sosok lelaki tua berambut keriting.
“Oh
ini pak, saya sedang mencatat sedikit,” jawab Regi singkat tersenyum kecil.
“Saudara,
Regi, bukan?”
“Iya
pak.”
“Kenapa
saudara tidak pernah kelihatan di awal perkuliahan sebelumnya?”
“Saya
berhalangan, pak. Maaf.” Regi keliatan kikuk ditanya seperti itu. Meskipun Ia
tahu, dosen kesenangannya ini tidak pernah memusingkan kehadiran mahasiswa.
“Sangat
disayangkan kalau saudara tidak rutin mengikuti perkuliahan. Karena seingat
saya, semester lalu saudara cukup menonjol di kelas saya. Bukan begitu?” Lanjut
sang dosen yang sudah mengemasi barangnya. Kali ini ia berjalan pelan ke
deretan kursi di sekitar Regi. Regi yang melihat itu segera menghentikan
tulisannya.
“Suatu
pujian bagi saya, pak. Terima kasih,” balasnya pada sang dosen.
“Terkadang
kita tidak bisa mengelak dari banyak masalah. Saya dengar dari desas-desus
dosen lain di kantor, menyebut saudara sudah berubah sama sekali. Kenapa
saudara tidak pernah aktif dan rajin ke kampus lagi?” Dosen itu pun duduk di
kursi yang berselang 2 meja dari kursi tempat Regi duduk.
“Akan
saya usahakan kedepannya hal ini tidak terulang lagi, pak.” Regi semakin kikuk
menghadapi perkataan sang dosen. Malu juga ia mendengar itu.
Sang
dosen hanya mengangguk saja dan tangan keriputnya itu merogoh saku kemeja
berwarna putih. Dikeluarkannya sebungkus rokok dan korek api. Tanpa sungkan Ia
langsung membakar balutan tembakau. Regi cukup kaget melihat itu, terlebih sang
dosen menawarkan rokok padanya. Entah karena memang Ia sudah kepingin merokok
atau segan menolak, ia catut juga sebatang rokok kretek itu.
“Tenang,
tidak ada aturan baku tentang merokok di dalam kelas, kecuali saat sedang
perkuliahan.” Terang si dosen tersenyum. Kali ini suasana sedikit jadi lebih
santai. Baik Regi yang awalnya kikuk dan dosen yang tadinya seolah bergaya
resmi, telah hilag bersama asap rokok yang mengitari mereka.
“Saudara
tentu tahu, saya ini tidak pernah menilai mahasiswa saya goblok atau pun
pintar. Nilai mereka pun saya beri sesuka hati saya. Suka hati karena, kalau
menurut saya Ia paham pada materi walaupun tidak rajin masuk serta mengabaikan
tugas yang saya berikan, tetap akan mendapatkan nilai yang baik.” Lanjut sang
dosen. Regi tidak bisa komentar apa-apa tentang itu. Di satu sisi Ia hanya
seorang mahasiswa yang nilai akhirnya bergantung pada seorang yang sedang
berbicara padanya itu.
“Nah
sekarang, coba ceritakan apa yang membuat saudara jarang masuk seperti saat
semester lalu? Tentu ungkapan maaf saudara memiliki kekuatan yuridisnya,
bukan?” Tanya sang dosen setengah memancing untuk mendapatkan alasan yang pasti
tentang ketidakhadiran Regi. Alasan Yuridis? Tentu. Setiap perkataan dan
perbuatan yang dilakukan oleh seorang penggiat hukum harus memiliki dasar yang
sah. Tidak bedanya dengan ucapan biasa. Mahasiswa hukum, terutama, ia
dibiasakan berbicara dengan penyertaan dasar hukum yang ada.
“Saya
tidak memiliki alasan yang pasti, pak,” jawab Regi bingung.
“Nah…nah.
Tidak bisa begitu. Ah.. Mari.” Sang dosen mengajak Regi keluar ruangan ketika
dilihatnya pegawai fakultas hendak membersihkan dan mengunci ruangan. Maka
bergegaslah mereka berdua. Regi yang berharap percakapan itu segera berakhir,
justru digiring sang dosen menuju kantin yang terletak tidak jauh dari ruang
kelas. Sebelum berangkat, sang dosen berpesan pada pegawainya, “ini tolong
letakkan di atas meja saya. Terima kasih.”
Setiba
di kantin, para mahasiswa lain yang melihat Regi dan sang dosen mulai
bertanya-tanya. Kehadiran dua orang itu betul-betul mencuri perhatian mereka. Anggapan bahwa Regi sedang menjilat sang dosen pun juga muncul.
“Ah
pasti Regi mau cari nilai. Ditraktirnya lah bapak itu,” timpal seorang
mahasiswa.
“Ah
mana mungkin, yang ada kebalikannya. Regi kan anak pejabat. Barangkali bapak
itu mau memanfaatkan Regi biar dekat ke pejabat-pejabat,” bantah seorang
mahasiswa yang duduk di sebelahnya.
Sosok
perempuan yang duduk bersama mahasiswi lainnya mendengarkan celotehan dua orang
tadi. Lantas berujar lah perempuan itu.
“Cowok
kok sukanya gossip?” Sindirnya yang mengundang senyum-senyum temannya yang
lain. Perempuan ini bernama Nadia. Teman dekatnya tahu kalau Nadia memang
tertarik pada Regi. Hanya saja, Regi memang tidak terlalu terbuka kepada siapa
pun. Tak pelak, Nadia hanya bisa mengagumi Regi sambil berharap ada keajaiban
yang membuat mereka berdua menjadi dekat.
Nadia
memang tidak cantik. Namun, Nadia cukup pintar dalam
menguasai materi. Indeks prestasinya lumayan baik, nyaris menyentuh garis batas
cumlaude. Untuk urusan percintaan, perempuan yang sedikit hitam ini sering kandas.
Tak ada satu pun lelaki yang pernah menjalin kasih bersamanya.
Di
pojok kantin yang menghadap ke jalanan kecil kampus, duduk lah Regi dan sang
dosen. Jalanan kecil di dekat mereka, terlihat para mahasiswa sedang berjalan.
Diantaranya ada yang berhenti sejenak dan bersalam ketika bertemu rekan
seperjuangan. Sebagian lain yang mengenakan jaket berwarna khusus menandai organisasi tertentu, terus berkelompok menyusuri jalan kecil itu. Yang tersisa
mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang) dengan kesehariannya yang sangat monoton.
Asap
rokok terus mengudara. Regi yang tidak pernah memulai bicara hanya diam saja
menunggu perkataan sang dosen. Yang dilihatnya saat itu sang dosen sedang
meneguk secangkir kopi. Meja mereka berdua sudah dihias oleh dua gelas minuman
dan sepiring gorengan yang telah dipesan sebelumnya. Lengkap dengan sambal petis
di sisi kiri piringnya.
“Jadi
saudara tidak memiliki alasan yang pasti? Saya sendiri tidak yakin,” ucap sang
dosen seraya meletakkan gelas ke atas piring yang mewadahi gelas kopinya.
Dipandangi mahasiswanya dengan lekat. Lalu kembali berujar, “santai saja. Kita
tidak sedang kuliah. Tidak perlu diurusi apa kata orang.” Katanya saat melihat
Regi memandangi teman-teman mahasiswa yang lain.
Merasa
kepergok, Regi merespon.
“Enggak,
pak.” Regi cengar-cengir.
“Lalu,
apa alasannya? Kenapa saudara jarang terlihat saat kuliah?”
Regi
yang merasa terus diberondong pertanyaan oleh sang dosen akhirnya bersuara.
Kali ini tidak penuh retorika dan berusaha menghindar. Meski awalnya ia
kebingungan harus dimulai dari mana, lambat laun ia tanpa malu berbicara
terbuka. Ia sampaikan semuanya dengan jujur. Sudah berbulan-bulan Regi berpikir
bahwa kuliahnya selama ini tak akan memberikan kebahagiaan padanya. Meskipun Ia
menyadari dirinya cukup pintar dalam memahami berbagai materi. Namun, Ia merasa
terpaksa dengan itu semua. Belum lagi kegiatannya yang lain lebih membuat Ia
bergairah dibanding harus memenuhi standar minimum penilaian dosen di kampus. Ia
sangat menyukai dunia kepenulisan. Biar apa kata orang, suatu kali membatin, Ia
hanya merasa tenang sekaligus membuatnya berarti daripada menjadi onggokan
daging yang hanya bisa mematung di ruangan kelas. Sang dosen sedikit kaget
namun tetap memperhatikan dengan serius.
“Ini
masalah serius, saudara,” menanggapi perkataan Regi. Ia hisap dalam-dalam
rokoknya dan mengendapkannya pada asbak cembung di atas meja dan melanjutkan.
“Saudara
tentu paham, kalau saudara anak pejabat? Bagaimana orang tua saudara kalau
mendengar hal ini? Ayah saudara terutama, pernah berkata pada saya sekali
waktu. Ia berpesan pada saya untuk memperhatikan saudara. Ia berharap saudara
menjadi mahasiswa teladan. Toh saudara memang memiliki kepintaran lebih
dibandingkan yang lain. Begini, sebelum saya lanjutkan, benar saudara ingin
berhenti kuliah? Sudah bulat kah keyakinan saudara?” Tanya sang dosen yang kali
ini memang terlihat lebih serius.
Regi
mendengar perkataan yang diiringi pertanyaan sang dosen, dengan sigap langsung
menjawab. Tidak ada lagi keraguan dalam batinnya untuk berbicara pada sang dosen.
Berlalu waktu yang ia luangan bersama lelaki tua itu dirasakan cukup
menenangkan bagi dia. Seakan ia memang membutuhkan tempat bicara.
“Saya
serius, pak. Semakin lama saya berpikir tentang ini, semakin saya bertambah
yakin. Tiga tahun sudah saya menjadi mahasiswa. Sudah banyak buku saya baca.
Sudah banyak perkataan yang saya dengar dari para dosen. Sudah banyak juga saya
melihat kakak-kakak tingkat saya yang telah lulus. Tidak semuanya menjadi baik.
Semuanya berujung pada titik yang sama, pak. Semua mengemis pada pekerjaan.
Menghamba pada perusahaan-perusahaan. Kalau bijak, mereka berwira usaha.
Sedangkan yang lain beradu dengan serdadu preman membela kepentingan rakyat.
Tidak sedikit juga yang cuma jadi pengangguran. Satu hal yang membawa saya pada
kesimpulan: kuliah tidak lagi sebagai pelengkap wacana keilmuan. Fungsinya
sudah berubah total. Kuliah adalah tempat orang menghabiskan uang sambil
berharap dapat mengembalikan modal yang telah mereka kucurkan selama di
universitas.” Jelas Regi penuh keyakinan. Cepat tangannya langsung meraih
sebatang rokok milik sang dosen dan menyulutnya dengan segera. Ia tidak segan lagi
pamit meminta. Lalu bersandar lah Regi pada tembok di belakang kursi duduknya.
Sang
dosen kelihatan sedang berpikir dalam setelah mendengar perkataan Regi.
Ditariknya nafas dalam-dalam. Dipandangi wajah Regi.
“Saudara
tahu berapa anak yang saya punya?”
Mendengar
pertanyaan ini Regi merasa aneh. Kenapa pula Ia menanyakan hal ini? Dijawab
juga oleh Regi.
“Tidak
tahu, pak. Dua barangkali,” katanya menduga-duga.
“Betul.
Memang dua anak saya. Anak saya yang kedua seumuran dengan saudara barangkali.
Eng..berapa umur saudara? 22? Hmm, sudah menduga saya, tentu saudara terlambat
kuliah. Ya lebih tua anak saya setahun. Tapi, tahu apa persamaan anak saya
dengan saudara?" Sang dosen tak hentinya melemparkan pertanyaan.
“Tidak
tahu, pak.”
“Memiliki
wawasan yang luas. Cermat dan kritis melihat keadaan. Jeli dalam menganalisa.
Sudah lama saya kagum pada saudara. Sejak perbincangan para dosen tentang
kiprah saudara di kelas, sudah sangat yakin saya kalau saudara bukan orang
biasa-biasa. Saudara punya pemikiran sendiri. Berani. Pemikiran sendiri,
saudara, adalah hal langka. Tidak banyak orang di dunia ini yang memiliki
pemikiran untuk kehidupannya sendiri. Tahu persamaan lainnya dengan anak saya
itu?.... Ah, tentu saja saudara tidak tahu. Anak saya…” ia hentikan perkataannya.
Diambilnya sepotong tempe goreng dan dicocolnya tempe itu pada mangkuk petis.
Seraya mengunyah, ia memberi isyarat pada Regi untuk mengambil gorengan itu
juga. Hal ini seperti memberi jeda pada Regi untuk meregangkan pikiran sebelum digiring
pada pembicaraan yang lebih serius. Kini mulut mereka telah penuh dengan
gorengan. Dengan tetap mengunyah, dosen itu melanjutkan.
“Anak
saya itu bukan seorang sarjana. Ia mirip dengan saudara. Ia datang pada saya
dan mengutarakan keinginannya untuk meninggalkan kuliah. Tentu saya kaget. Saya
marah. Karena saya kuliahkan dia di PTN terbaik agar jadi sarjana hebat. Tapi…sebentar,” kepalanya berpaling
pada seorang penjaga kantin dan berpesan, “tolong air putih dua, masak makan
gorengan nggak dikasih air putih”, bebernya sambil meraih sehelai tisu dan menyapu
celemotan di ujung mulutnya. Regi hanya manggut-manggut saja.
“Sampai
mana tadi? Ah yaa. Awalnya saya marah. Orang tua siapa pun akan marah
kalau melihat anaknya seperti itu. Tapi, setelah saya mendengarkan perkataan
dia, alasannya dan apa yang akan dilakukan setelah itu membuat saya menjadi
berpikir. Merenung saya. Butuh sebulan bagi saya untuk mendapatkan pikiran yang
jernih. Perlu saudara tahu juga, selama sebulan dia saya abaikan. Hingga
saya mengerti keputusannya. Bukan hanya itu, saya bangga padanya. Ia hidup!
Saudara tahu apa itu hidup dan kehidupan? Tentu saudara sudah banyak
mempelajari kehidupan. Kenapa dia hidup? Karena dia berani. Berani menerabas
sisi yang bagi orang itu mengerikan. Istilahnya seperti daerah terlarang,
sehingga membuat siapa saja yang tahu takut dan tidak berani menyentuhnya. Bahkan tahu pun tidak seperti apa dalamnya. Nah, anak saya, saudara,
dia lah yang berani menyentuh daerah itu. Bukan hanya itu, ia berusaha untuk
hidup di sana. Memang belum kelihatan, tapi semangatnya membuat saya
tidak khawatir, malahan optimis padanya. Itu saudara… Mirip dengan
saudara. Tapi, bedanya saudara belum lagi sepenuhnya keluar dan menemui titik
itu. Tahu kenapa?”
Regi
hanya menggeleng.
“Karena
saudara masih terbatas pada ide. Idea itu saudara, tidak akan menjadi bernilai
tanpa dinamika. Dinamika itu saudara, bergerak. Artinya, pikiran saudara itu
masih sebatas wacana. Perlu saudara gali dan eksplor lagi. Untuk menggali dan
mengeksplor, saudara butuh keluar dari pikiran itu. Artinya?”
Terus
terperanjat pada kata-kata dosen tua, Regi tidak bisa berkata. Keberaniannya
untuk bicara lugas dan terus terang yang ia dapatkan tadi seolah lenyap
dihadapan ucapan dosen kebanggaannya.
“Artinya,
saudara perlu hidup dalam hidup saudara sendiri. Tentu saudara mengerti maksud
saya. Hanya tinggal keyakinan batin saudara yang perlu dikuatkan. Jadi,
bagaimana?” Tanyanya dengan suara yang pelan, hampir-hampir membisik.
“Bagaimana
apanya, pak?” Regi polos menjawab.
“Lha,
tadi katanya mau berhenti kuliah dan hendak jadi penulis?” Sang dosen kali ini
tertawa terbahak-bahak. Baru kali ini Regi melihat sang dosen bisa tertawa
lepas. Mahasiswa-mahasiswi di sekitar pun sampai merasa perlu untuk mengalihkan
pandangan pada lelaki tua itu. Regi yang menyadari kepolosannya kembali bicara.
“Iya
pak. Saya tahu apa yang akan saya lakukan,” jawabnya tanpa panjang lebar.
Sang
dosen tersenyum mendengar perkataan Regi.
“Saudara,
pernah baca karya-karya Pramoedya Ananta Toer? Belum? Nah, nanti saudara perlu
membaca buku-bukunya. Kalau mau menjadi penulis besar, saudara harus membaca
karyanya. Begini, pada salah satu karya itu, lupa saya judulnya yang mana. Pram
mengatakan; ‘hidup ini sungguh sangat sederhana, yang hebat hanya
tafsir-tafsirannya saja.’ Begitu lah kira-kira ia sampaikan pada salah satu
bukunya. Saudara paham maksudnya?"
“Saya
belum pernah berpikir seperti itu, pak.”
“Nah,
saya pikir pesannya jelas. Kata-katanya mungkin tidak banyak dipikirkan orang
banyak. Hanya kejeniusan Pram yang membuat ia bisa bicara seperti itu. Tapi, kiranya
saudara bisa menarik dorongan dalam hidup saudara dari kata-kata itu. Bisa?”
Tantang sang dosen pada Regi yang semakin hanyut ke dalam samudera. Lautan
raksasanya pikiran pak dosen.
“Yaa,
yaa itu pak. Memang betul kata-kata Pram itu.” Jawab Regi kembali dengan ragu. Sedang yang mendengarkan merasa perlu untuk menyampaikan lagi
pesannya.
“Tafsiran.
Tafsiran itu lah yang membedakan kehidupan manusia. Lain-lain semua sederhana.
Namun, di tengah kejadian-kejadian dan pergeseran waktu yang tak pernah
henti-henti ini, juga menyatukan pikiran-pikiran orang dalam satu pandangan
yang sama adalah sifat yang seolah harus diterima. Paham? Mainstream
kehidupan ini telah begitu mengekang pikiran orang, saudara. Orang harus kerja.
Kalau tidak kerja mati. Tapi, untuk kerja, anda harus kuliah. Punya pendidikan.
Pemikiran semacam ini telah mendarah daging. Yang tidak sepakat artinya
menyimpang. Tindakan menyimpang ini lah yang disebut daerah terlarang. Namun,
kita sebagai makhluk yang berakal dan memiliki hak alami untuk hidup, bisa
mengambil tafsir sendiri. Benarkah pemikiran itu? Ingat saudara, kehidupan
orang memiliki warnanya sendiri. Bijak lah mengambil sikap. Sekali lagi, ‘hidup
ini sungguh sangat sederhana, yang hebat hanya tafsir-tafsirannya saja.’ Bangga
lah pada diri saudara sendiri.” Jelas panjang lebar oleh sang dosen. Kali ini
gigi atasnya yang ompong semakin jelas terlihat. Senyumannya berbalas senyum
oleh Regi. Sang dosen bangkit dari kursinya yang membuat Regi juga ikut
berdiri.
“Nak,
sungguh saya bangga melihat salah satu mahasiswa saya memiliki pemikiran dan
keberanian seperti saudara. Biarpun belum lagi memulai. Tak masalah.
Setidak-tidaknya saudara telah adil sejak dalam pikiran. Ah, lagi-lagi kata
Pram. Hahaha. Sudah saya harus mengajar lagi. Ini tolong bayarkan.” Pinta sang
dosen dan meletakkan selembar Rp. 50.000 di atas meja. Ditepuknya pundak Regi
dan berlalu. Tak lupa ia lemparkan senyumnya pada Regi dan mahasiswa yang lain.
Mata
Regi terus membuntuti gerak sang dosen. Perkataan sang dosen selam 1 jam tadi
telah membangunkan pikirannya kembali. Lebih dari sebelumnya. Seakan Ia ingin
langsung bertindak. Tapi, bertindak apa? Dan sapaan ‘nak’? Regi hanya tersenyum
kecil. Sekali pun Ia belum pernah disapa ‘nak’ oleh ayahnya yang merupakan seorang
Menteri di negeri ini. Justru perasaan sayang terhadap sang dosen lah yang kini
mengalir dalam perasaannya. Begitu dalamnya sang dosen menyelami dirinya. Dosen
kebanggaannya.
Dan
berlalu lah Regi menuju kasir kantin. Ia bayar total tagihan makanan dan
minuman yang dipesan. Totalnya Rp. 13.500, cukup murah. Dalam pikirannya masih
saja terlintas perkataan-perkataan sang dosen. Yang keluar darinya saat itu
hanyalah senyuman penuh arti. Seakan Ia mendapat aura kehidupan sesuai dengan
yang apa diharapkan. Ketika hendak membalikkan badan, terlihat olehnya Nadia
yang sedang memperhatikan Regi. Mengetahui Regi senyum-senyum, Nadia pun
membalas senyum. Namun, sayang, yang dibalas ternyata sedang tersenyum dalam
pikiran. Regi yang melihat senyuman Nadia pun aneh sendiri. Tak ambil pusing,
ia pun segera keluar dari kantin. Nadia yang melihat itu hanya bisa melongo.
Malang,
5 Februari 2014
Aqsha
Al Akbar
No comments:
Post a Comment
Silahkan komen yaa