Friday 9 May 2014

Mawar


Hari belakangan ini menjadi sangat ironi bagiku. Sebuah tiket perjalanan sudah kusimpan, berangkat tinggal menunggu waktu. Hanya satu pikiran yang sengaja kubiarkan tetap menggantung, pikiran untuk hidup. Kujadikan sebagai yang paling sakral dalam hitungan menuju hari keberangkatan itu. Ironi, iya, yang membuat semua menjadi ironi adalah bahwa aku tak sadar tengah berpikir dalam imaji yang hampa. Untuk sekadar menjiplaknya pada realita saja terkesan ada pemaksaan. Bangsat!

“Masih mau juga berpikir berangkat? Dahulu ke mana?” 

“Aku sudah membulatkan tekad, kawan. Ini saatnya!” aku harus bisa membuat penegasan berarti pada kawanku. Apakah itu berarti? Harus.

Dan.

Mawar itu tentu sudah layu. Mendekap kantung celana yang bermandi peluh. Aku tak pernah tahu mawar memiliki bau, yang kata orang menyimpan wanginya cinta. Faktanya, ia tak pernah keluar dari kantung celanaku. Tak pernah keluar. Harusnya ia menjadi tanda kala kusampai di kota tujuanku. 

“Boleh ambilkan aku mawar itu? Kelihatan lusuh dan mengenaskan. Pastilah ia hendak dituju pada seseorang yang pantas,” seorang perempuan menjemput sadarku.

“Ini?”

“Ya. Mungkin bisa jadi koleksi.”

“Maksudnya?” belum sempat dijawab, ia berlalu. Lentik jarinya memegang tangkai yang mulai menghitam.

Melamun.

Semakin jelas ironi ini. Sejatinya aku tidak akan pernah berangkat. Tekadku masih. Tubuhku? Di kolong tanah. 


Malang, 9 Mei 2014
Aqsha Al Akbar

No comments:

Post a Comment

Silahkan komen yaa