Monday 25 November 2013

Supremasi

Menjadi mahasiswa tanpa memiliki kegiatan organisasi rasanya bukan seperti mahasiswa. Saya (masih) mahasiswa pun memilih bergabung dengan organisasi. Dulu saat di Universitas Brawijaya, saya sempat aktif di Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya (HIMANIKA. Kini, di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), saya juga gabung dengan organisasi. Sebenarnya, saya cukup telat masuk organisasi saat di UMM. Saya masuk saat semester 3 akhir.


Sebelumnya saya sempat kepikiran membentuk LSO di fakultas (Hukum) yang dikhususkan untuk menulis. Tapi, mengetahui prosedurnya ribet dan pertanggungjawabannya gede, saya urung. Berawal dari bincang-bincang ringan dengan teman saya yang sudah lebih dulu di organisasi, Rustam, akhirnya tanpa ada rencana saya langsung ikut diklat keesokan harinya. Saya bergabung dengan salah satu OMEK di kampus saya, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat "Supremasi" Hukum. Tapi, karena IMM Supremasi berada di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM), maka tidak dapat disebut OMEK, melainkan berstatus Ortonom.

Awalnya saya seorang yang anti OMEK, sebut saja misalnya (maaf) HMI, KAMMI, PMII dan lain-lain. Hal tersebut saat saya masih di Brawijaya. Banyak alasan yang membuat saya anti organisasi semacam itu. 

Dan kenapa justru saya bergabung dengan OMEK?

Saya pikir ini adalah takdir yang murni sebagai takdir. Saya ikut diklat tanpa ada persiapan. Saya tidak mendaftar ke IMM, saya tidak membayar kontribusi dan saya tidak datang ke lokasi diklat bersama rombongan. Tapi, di sinilah saya sekarang. Bersama IMM Supremasi Hukum sebagai kader barunya.

Saya masuk ke Supremasi saat organisasi ini sedang tidak stabil. Banyak dari Pimpinan Hariannya tidak aktif dan banyak program yang tidak berjalan. Sehingga, pasca tiga bulan saya bergabung, Bidang Organisasi mengusulkan untuk mengadakan Reshuffle. Nama saya diusulkan untuk masuk ke tataran Pimpinan Harian. Saya tentu kaget. Saya masih kader baru. Saya butuh pemahaman konsep yang matang. Saya pun butuh peng-integrasian teori dan praktek yang matang. Untuk menjadi Pimpinan Harian (PH), setidaknya kader membutuhkan waktu 1 atau 2 tahun pengalaman, baru bisa menjadi PH. Tapi, karena SDM saat itu minim, akhirnya saya pun diangkat sebagai Sekretaris Bidang Keilmuan, salah satu cabang bidang yang ada di IMM.

Terus terang, masalah dalam organisasi itu cukup kompleks. Saya sangat merasakannya ketika menjadi pimpinan. Saya memang masih baru di Supremasi. Namun, karena derasnya hantaman masalah, mau tidak mau (karena saya termasuk salah satu kader dan PH yang aktif) saya ikut menyelesaikan masalah. Belum apa-apa, saya masuk sebagai tim inti (tim khusus menangani masalah). Masalahnya cukup besar dan banyak. Saya tidak bisa menjelaskan di sini secara publik. Saat itu, di tim inti ada empat orang, yaitu saya sebagai Sekbid Keilmuan, Jodi yang menjabat Ketua Umum, Adit sebagai Kabid Organisasi dan Rustam, pejabat Kabid Hikmah. Hingga lambat laun, tim inti pun semakin terperosok. Kita pun tidak solid. Rustam, rekan saya ini memilih untuk tidak aktif lagi di IMM. Akhirnya, tinggal bertiga. Sampai akhirnya, karena berbagai macam hal, hanya saya dan Adit yang benar-benar stay menjaga organisasi. 

Sungguh waktu yang melelahkan. Setiap hari kita kerja lapangan dan setiap malamnya kita reporting lalu menyusun lagi Stratak. Saya sering tidak tidur. Rapat bisa sampai pagi. Lalu, karena saya kuliah, saya memutuskan untuk tidak tidur dan lanjut kuliah (meskipun kuliah saya akhirnya membuahkan hasil yang mengecewakan). Tidak tidur selama dua hari atau bahkan tiga hari, adalah hal yang biasa buat saya. Belum lagi saat itu banyak sekali isu nasional dan isu kampus yang perlu disikapi. Kenaikan BBM,  Kenaikan Tarif Parkir Kampus, Penyikapan Kedatangan Aburizal Bakrie si Kapitalis Bajingan, ada juga isu kedatangan si penjahat Prabowo, lalu di bulan Mei kita juga ada penyikapan terhadap Hari Buruh Sedunia (MayDay) dan di hari besoknya adalah peringatan Hari Pendidikan. Belum lagi, berdekatan dengan itu ada penyelenggaraan Pemira, Pemilu Mahasiswa Raya. Dengan rumitnya masalah yang ada di organisasi dan banyaknya hal eksternal yang perlu disikapi, sungguh menguras tenaga dan pikiran saya, juga teman-teman. 

Untuk penyikapan isu nasional saja misalnya, kita harus memilih, bergabung bersama aliansi atau tidak. Dan ini persiapannya sangat lama. Misalnya, untuk kenaikan BBM, sebelum BBM dinaikkan, kita sudah mendapat info lebih dulu. Dan kita rapatkan sebulan atau bahkan lebih sebelum tanggal kenaikan itu fix atau kapan kita mulai turun aksi. Untuk aliansi ini, yang sulit tentu saja mengumpul peserta aliansi. Kita tentu harus bergerilya dari satu kampus ke kampus lain, dari satu fakultas ke fakultas lain. Saya merasakan betul saat itu. Karena saya juga diamanatkan membuka jaringan ke rekan-rekan kampus yang lain.

Masa-masa seperti itu adalah masa yang melelahkan. Disamping harus menyelesaikan masalah internal, kita juga harus aktif di eksternal. Bukan hanya untuk menjaga bargaining position, tetapi juga dalam rangka aktualisasi diri. Saya nyaris tidak kenal malam mingguan. Ketika anak muda lain bersenang-senang nongkrong sana-sini, jalan ke sana-sini, pacaran dan lain sebagainya, saya justru lebih sering diskusi, rapat atau terjun ke lapangan untuk aksi sosial dan lain-lain. 

Timbulnya Rasa Jenuh dan Lelah

Memasuki semester ganjil, Supremasi mengadakan agenda penting tahunan, yaitu Musyawarah Komisariat (Musykom), suatu musyawarah tertinggi di tataran komisariat. Di IMM sendiri, ada beberapa musyawarah, yakni Musyawarah Komisariat, Musyawarah Cabang, Musyawarah Daerah, Tanwir dan Muktamar. Pelaksanaan Musykom di Supremasi terbilang terlambat. Karena masa periode seharusnya genap satu tahun. Kali ini, Supremasi lebih beberapa bulan sebelum akhirnya melaksanakan Musykom.

Dalam Musykom Supremasi kemarin, saya menjabat sebagai SC atau konseptor acara (lagi-lagi saya belum cukup matang untuk pekerjaan semacam itu). Saya pribadi belum pernah mengkonsep acara Musykom atau mengikuti acara tersebut. Namun, dengan kerja sama tim, Alhamdulillah sukses. Walaupun selama pelaksanaa Musykom kemarin terdapat berbagai masalah dan kekurangan, terutama penjaringan dana dan tempat. Kalau pernah lihat sidang yang berlangsung di DPR yang banyak orang bilang anggota DPR kekanak-kanakan karena sering ricuh, sama atau tidak berbeda jauh dengan sidang Musykom pada umumnya. Sejak itu, saya tidak bisa memandang DPR terlalu kekanak-kanakan karena sidangnya 'amburadul'. Karena, dalam sidang, sangat melelahkan. Dalam satu hari, dari pagi hingga malam, kerjaannya yaa hanya sidang. Bayangkan, kita harus fokus dan terus putar otak dari setiap rancangan draft yang disidangkan. Jika satu pasal saja salah dan disahkan, padahal pasal itu sangat penting, imbasnya ke satu periode organisasi kedepan. Saya termasuk orang yang ikuti sidang dengan serius. Tidak jarang saya kehilangan kontrol dan emosi. Terlebih jika harus beradu 'Order' dengan peserta sidang yang lain atau bahkan saat menjadi Pimpinan Sidang. Rasanya, hampir tidak ingin lagi menjadi pimpinan sidang. Capek harus mendengarkan, mencatat dan mengesahkan pasal atau orderan terhadap suatu pasal dalam persidangan. Jangan anggap remeh suatu persidangan, kecuali memang tidak ada kepedulian. 

Singkatnya, Musykom selesai dengan terpilihnya Ketua Umum yang baru dan tim formatur Pimpinan Harian. Saya masuk sebagai tim formatur. Artinya, pemilihan pimpinan harian harus disusun oleh formatur dan dengan kerja sama Ketua Umum terpilih. Setelah selesai itu semua, saya masuk ke dalam Pimpinan Harian. Kali ini saya sebagai Ketua Bidang Keilmuan. Walaupun bagi saya, jabatan itu tidak terlalu penting. Namun, saya juga berpikir, saya harus menjadi Kabid, agar akses saya lebih besar dalam organisasi. Hal ini khusus untuk menjalankan organisasi menjadi lebih baik. Karena, dengan hanya menjadi Sekbid, kewenangan yang dimiliki tidak lah sebesar Kabid. Jujur saja, saya ingin menjalankan organisasi dengan baik dan terarah. Saya juga sudah memiliki banyak hal yang akan saya lakukan. Karenanya saya menjadi Kabid. 

Jika melihat program kerja yang saya sampaikan dan disahkan saat Musyawarah Kerja, proker saya sangat rumit dan berat. Dengan latar belakang saya yang ke-Kiri-an, saya toh punya keinginan yang sangat besar agar mahasiswa benar-benar menjadi pembaharu di lingkungan sosialnya. Mahasiswa harus benar-benar menjadi mahasiswa, bukan sebagai kambing yang terima makan lalu menyenangkan banyak orang karena dagingnya nikmat. Artinya, tidak menjadi mahasiswa yang hanya bisa nurut dikasi materi sama dosen, lalu wisuda dan kemudian hanya menjadi robot di perusahaan-perusahaan. Bukannya saya skeptis dengan hal seperti itu. Karena itu sejatinya toh baik. Itu juga hak setiap orang. Namun, saya ingin lebih dari seperti itu. Jangan sampai mahasiswa kuliah hanya untuk memenuhi syarat formalitas sebagai step-up ke jenjang pekerjaan. Sangat disayangkan jika itu yang terjadi. Dengan melihat kondisi bangsa Indonesia yang sudah rusak parah, saya malu memilih stick point dengan pemikiran semacam itu. Mahasiswa harus menjadi pihak yang berada di samping, di belakang, di tengah atau di belakang perubahan sosial di lingkungannya. Mahasiswa harus aktif kesana. Jangan lah berbangga diri kuliah dengan mobil mewah, aksesoris teknologi mewah sedangkan dibalik tembok besar kampus terlihat dengan jelas nasib rakyat jelata. Sesungguhnya mereka butuh perubahan. Dan karena saya masih berpendapat bahwa mahasiswa lah yang mampu menggerakkan perubahan itu, maka mahasiswa harus turun aksi untuk perbaikan itu.

Singkatnya, karena dasar pemikiran itu saya 'mengangkat' diri saya sendiri sebagai Kabid Keilmuan. Karena bagi saya penting melihat progresifitas dari rekan-rekan saya. Saya juga bertanggung jawab dalam mengusahakan terbentuknya kader yang berintelektual, sebagai dasar sebelum menuju ke tataran praktek. Dan lebih jauh lagi, dalam lingkup kecil setidaknya saya berusaha membentuk atau bahkan merubah pola pikir mahasiswa (yang sebelumnya 'awam') menjadi pola pikir yang kritis. Dengan satu tujuan hidup saya, memperbaiki sistem dalam negara Indonesia dan menjadikan Indonesia merdeka seutuhnya. Langkah sebagai Kabid merupakan aktivitas kecil saya menuju perubahan yang sebenar-benarnya. 

Namun, meski begitu. Saya toh tetap manusia biasa. Saya juga memiliki rasa lelah dan rasa ingin 'lost' dari aktivitas. Saya harus mengakui, saya sangat capek. Berkutat dengan dinamika berorganisasi, membuat saya jenuh dan penat. Terlebih, masalah yang datang sekarang jauh lebih kompleks dibanding sebelumnya. Disamping tuntutan keluarga yang menginginkan saya cepat selesai kuliah karena sudah molor, saya juga memiliki tanggung jawab untuk organisasi saya. Seringnya, dua hal ini berkontradiksi. Kadang, saya merasakan stres. Emosi saya naik-turun. 

Kondisi internal Supremasi sedang ada masalah yang sangat serius. Suatu hal yang membuat saya sangat penat dan marah bukan main. Situasi ini lah yang membawa saya untuk 'menghilang' sementara. Saya menghilang dari kegiatan organisasi. Saya tidak ikut rapat. Saya tidak mengadakan diskusi. Saya juga tidak menjalankan program kerja saya. Saya hanya ingin hilang dan sedikit istirahat. Rasanya saya seperti dihantam sana-sini. 

Masa 'istirahat' saya ini saya manfaatkan dengan menulis dan mereview sekaligus preview tentang diri saya sendiri. Hingga saya berpikir, toh saya butuh teman. Teman spesial. Yaa, pacar. Dengan bertambahnya umur, normal bagi saya jika mendapat banyak tantangan yang juga rintangan. Kadang, dengan keadaan seperti ini, memiliki seseorang untuk berbagi itu perlu. 

Dapat dikatakan, saya salah memilih 'menghilang'. Saya salah karena tidak menjalankan tanggung jawab saya. Dan ini tidak adil. Tidak adil bagi teman-teman saya yang masih aktif di organisasi. Terutama kepada Ketua Umum saya, Adit. Selama ini, nyaris saya dan dia yang benar-benar intens menjaga Supremasi. Dia seorang Ketua Umum yang baik. Dalam banyak hal, meskipun selalu bersama saya, Supremasi dapat berjalan lebih karena usahanya. Dia berkorban untuk Supremasi. Seringnya, saya hanya menyeimbangkan keadaan. Meskipun dia selalu mengatakan, kalau dia tetap butuh saya untuk menjalankan roda Supremasi, namun saya tetap menganggap, selama ini yang benar-benar bekerja dengan total, hanya dia. Dia mampu untuk itu. Namun, apa yang dibutuhkannya, adalah dukungan. Selama ini, saya sangat mendukung dia. Sampai saat ini. Selama dia tidak 'melenceng'. Saya cukup berpengaruh di Supremasi. Salah satu kemampuan yang bisa saya lakukan, setidaknya mengarahkan forum dan sedikit 'mempengaruhi' forum. Ini adalah pelajaran retorika yang saya dapat melalui pengalaman, termasuk dari Adit. 

Adil atau tidak adil, dalam berbagai perspektif, adil memiliki perbedaan makna. Jika dikaitkan dengan organisasi, saya tidak adil. Jika berkaitan dengan diri saya, saya telah berbuat adil. Namun, semakin berpikir ke sana, membuat saya makin merasakan...:

"Semakin dewasa dan bertambahnya rasa kesadaran seseorang, Ia akan sadar suatu hal, bahwa tubuh dan pikirannya bukan miliknya semata, tetapi juga milik orang lain. Sama seperti saya, saya tidak dapat menguasai diri saya lagi sepenuhnya. Tubuhku, pikiranku dan jiwaku ini, juga milik orang tuaku, saudaraku, teman-temanku, musuhku dan mungkin perempuan yang kucintai. Tinggal bagaimana, keadilan atas itu benar terwujud dan terjaga keseimbangannya...."

Malang,  25 November 2013. | 03.42 WIB
- AAA -

No comments:

Post a Comment

Silahkan komen yaa