Saturday 16 November 2013

Fase

Ada begitu banyak orang yang mengalami putus asa dan frustasi dalam hidupnya. Begitu banyak orang yang terjerembat dan tak mampu bangkit lagi memulai hidupnya. Namun tak sedikit orang yang berani bangkit meski telah terjatuh ke dalam lubang yang sangat dalam. Saya termasuk orang yang pernah terjatuh dan gagal dalam hidup. Terlalu lama terjebak berada di zona nyaman lah yang menyebabkan saya terlena dan akhirnya jatuh. Tapi semua itu saya sebut fase atau masa transisi.

Saya mengalami kegagalan pertama saat berusia 18-21 tahun. Saat itu saya sedang kuliah di salah satu universitas negeri terbaik di Indonesia, di Malang. Terus terang, saya termasuk orang plin-plan dan cenderung angin-anginan. Awalnya saya berada di jurusan Komunikasi. Impian saya semenjak SMA, ketika saya masuk jurusan tersebut, saya akan menjadi seorang jurnalis hebat dan hidup dalam sejahtera. Namun, karena terlalu asik berada di zona nyaman, saya lupa akan tujuan saya dan cenderung hidup dengan gaya hedon. Meskipun ini hanya berlangsung 6 bulan (setidaknya satu semester). Namun, di periode 6 bulan tersebut adalah periode semester penentuan, suatu semester prasyarat untuk mengambil peminatan jurusan. Di kampus saya, saat itu hanya dibagi menjadi konsentrasi Komunikasi Massa (meliputi jurnalistik, broadcasting, dll), Komunikasi Bisnis (seperti advertising) dan Public Relations. Saya gagal memenuhi persyaratan untuk masuk ke Komunikasi Massa yang akan membawa saya menjadi jurnalis. Saya cuma memiliki dua pilihan, masuk Public Relations atau Komunikasi Bisnis. Alhasil saya memilih Public Relations.

Sepintas, konsentrasi Public Relations/PR ini keren dan terlihat cool. Iya, sudah menjadi rahasia umum kalau anak PR suka dandan, pakaian rapi dan bicaranya tertata. Saya sendiri jadi sering menggunakan hem atau kemeja yang rapi, hanya saja saya tetap memiliki rambut yang gondrong. Hanya ketika ujian atau berkunjung saja, saya merapikan rambut saya. Saya pribadi tidak kesulitan belajar PR. Sedikit banyaknya, saya memahami apa fungsi PR dalam korporasi atau institusi. Akan tetapi, hati dan jiwa saya tidak di sana. Saya menjadi setengah hati untuk kuliah di jurusan tersebut. Akhirnya saya banyak bolosnya. Saya lebih suka nongkrong di tengah malam. Saya menjadi tidak peduli dengan nasib akademis saya. Ya, pada akhirnya itu menjadi petaka. Indeks Prestasi dalam beberapa semester saya anjlok. 

Mengetahui hal tersebut, saya mencoba memperbaiki perkuliahan saya. Jam nongkrong tengah malam saya kurangi. Saya pun cukup aktif meng-upgrade diri saya dengan isu-isu nasional dan internasional. Hingga lambat laun saya justru terbawa pada isu-isu yang beredar. Saya menjadi merasa perlu untuk bertindak dan berpartisipasi dalam lingkup sosial. Saat itu saya fokus untuk masalah diskriminasi kaum minoritas, terutama di lingkup keyakinan. Saya termasuk orang yang plural. Saya pun menentang bentuk diskriminasi terhadap minoritas, meskipun saya bukan seorang aktivis. Hingga akhirnya saya mencoba mendirikan organisasi independen untuk mengakomodir kepentingan saya dalam melawan penindasan dan sistem yang salah di Indonesia. Saat itu saya memiliki kecenderungan sebagai seorang yang Sekuler. Saya beranggapan bahwa sebuah negara tugasnya hanya untuk menjalankan fungsinya sebagai negara kepada warganya, tanpa berusaha mencampuri wilayah privat, khususnya pada masalah keyakinan. Organisasi saya pun khusus untuk mewujudkan sekularisme di Indonesia. Nama organisasi saya waktu itu SII, Sekular Indonesia Independen. Namun, jangan ditanya mengenai keaktifannya.  SII hampir tidak pernah aktif dalam menjalankan fungsinya. Hal ini disebabkan oleh faktor klasik, tekanan sosial dan tekanan akademis. Saya terhalang untuk menjalankan organisasi karena saya pribadi dituntut oleh keluarga untuk fokus saja ke perkuliahan. Belum lagi tekanan sosial, bahwa masih sangat banyak warga negara Indonesia yang tidak mengenal sekuler dan justru menghujat gerakan sekularis. Akhirnya SII vakum dan bubar dengan sendirinya. 

Bagaimana dengan saya selanjutnya? Untuk kuliah, semakin hari saya semakin enggan dan tetap setengah hati kuliah sebagai PR. Beruntung saya menyukai membaca buku. Hal yang membawa saya pada sejarah Indonesia dan dunia. Saya menjadi mengenal filsafat, baik klasik dan fase yang mengikutinya hingga saat ini. Saya mulai mengenal Soekarno dan pemikirannya. Saya mulai mengenal Pramoedya Ananta Toer, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Che Guevara, Fidel Castro, Karl Marx, Lenin, Mao Zedong dan lain-lain. Membaca karya mereka dan melihat referensi tentang mereka, timbul warna baru dalam pemikiran saya. Saya sangat mengagumi Soekarno. Bagi saya dia adalah guru dan panutan. Namun saya sulit mengerti literatur Madilog milik Tan Malaka. Hehe.

Menyelami pemikiran tokoh pada masa lampau dan sejarah yang menghiasinya tidak akan pernah cukup tanpa adanya komparasi. Saya selalu berusaha mengkomparasi pemikiran tokoh di masa lalu dengan realita yang ada saat ini. Suatu hal yang membawa saya menjadi seorang Kiri di kemudian hari. 

Pada masa itu telah timbul semangat sosial saya untuk bergerak aktif. Emosi saya begitu meluap-luap dan naik turun. Saya merasa HARUS dan HARUS bergerak. Saya tidak akan pernah sanggup melihat ketidakadilan dan sistem yang menindas. Saya bergejolak. Saya selalu ingin melawan. Namun, lagi-lagi saya hanyalah seorang pemuda biasa yang masih memiliki tanggung jawab untuk keluarga dengan menunaikan kewajiban saya sebagai mahasiswa. Saya dilarang habis-habisan untuk berada di zona itu. Saya jelas frustasi. Akhirnya saya mereview kembali semua yang saya lakukan. Toh saya salah tidak sungguh-sungguh kuliah dan mewujudkan cita-cita masa SMA saya. Orang Tua saya masih berbaik hati kepada saya, karena melihat saya tidak ada minat di PR, mereka memberi kesempatan untuk pindah jurusan atau kampus sekalian. Awalnya mereka menawarkan kuliah di Aceh, tempat tinggal saya. Berani bertaruh demi hidup saya, saya tidak akan berkembang di Aceh. Wilayah rawan konflik dan keterbatasan akses terhadap sesuatu membuat saya menolak. Saya hanya ingin di Malang. Bagi saya, Malang adalah kota yang mengatarkan saya untuk hidup dan belajar karenanya. Ya, akhirnya saya pindah kampus dan memilih jurusan Hukum.

Pemilihan jurusan Hukum bukan tanpa alasan. Pemikiran saya sederhana, jika saya mau merubah segala bentuk sistem yang salah dan berbuat untuk sosial, tentu saya harus tahu dasar dan hukumnya. Hukum adalah induk dari segala macam tatanan sosial. Semua ada hukumnya. 

Tapi, fase sebelum saya pindah kampus dan jurusan, adalah fase yang terberat bagi saya. Ketika kesempatan untuk pindah kampus tersebut, saya sangat down. Semangat saya sangat lemah. Pada masa itu, saya di-stop dari aktifitas perkuliahan. Bukan karena DO, tapi orang tua saya berhenti menyetor uang SPP yang nominalnya Rp. 2.500.000 dan memaksa saya untuk cuti dari perkuliahan. Sebagai mahasiswa tanpa pekerjaan, saya tentu tidak mampu membayar uang dengan jumlah segitu. Alhasil saya  menganggur selama 1 semester. Menganggur dalam waktu yang lama seperti itu, membuat saya sangat frustasi. Saya bingung bagaimana hidup saya kedepannya. Saya mengecewakan keluarga saya. Saya membuat mereka menitikkan air mata. Hampir tidak ada harapan bagi saya untuk mereka dan mereka untuk saya sebagai putra satu-satunya sekaligus anak sulungnya.

Ketakutan demi ketakutan mulai menghantui saya. Saya mulai tidak bergairah untuk hidup. Saya mulai mudah menyerah dan cenderung pemarah. Mirip seperti orang gila. Apalagi, pacar saja tidak punya (hahaha). Untuk melihat masa lalu saja saya tidak sanggup, hidup untuk hari ini saja tak ada arah dan membayangkan masa depan terlihat kabur. Menjadi manusia tidak berguna. Itulah yang saya rasakan pada masa itu. Sempat muncul keinginan untuk bunuh diri. Walau saya tidak pernah mau mencoba. Bayangkan, tiga tahun saya hidup dalam kemustahilan dan tanpa arah. Sungguh percuma menjadi manusia.

Harapan datang ketika adanya dukungan yang kuat dari keluarga. Terutama adik saya yang kedua, Dini. Saya sangat sayang dan kagum pada adik saya ini. Dia lah yang membuka pikiran saya lagi. Memberi saya semangat dan motivasi tiada hentinya. Membangkitkan saya berkali-kali. Dia menguatkan saya. Dia tidak berusaha menyalahkan saya walaupun kita sama-sama tahu, ini semua terjadi karena kesalahan saya. Dia memberikan banyak nasihat dan masukan. Karenanya, saya belajar tentang apa itu perjuangan dan kegigihan meskipun saya belum dapat melakukan itu dengan baik. Dia juga yang memberi gambaran tentang hukum di Indonesia, karena dia mahasiswi jurusan hukum. Hingga akhirnya saya diberi kesempatan untuk melanjutkan kuliah lagi.

Sekarang, di sini saya berada. Sebagai mahasiswa Hukum di kampus yang berbeda namun tetap di Malang. Nafas untuk berbuat sesuatu di lingkungan sosial masih terus ada. Saya menjadi seorang Kiri. Saya memilih bergabung bersama salah satu OMEK di kampus saya tanpa ada alasan yang jelas. Namun, hal ini lah yang membawa saya kepada takdir dan memahaminya. Dari OMEK ini nafas-nafas perjuangan saya semakin diasah. Saya mulai aktif berdiskusi, belajar dan sesekali turun aksi. 

Bagi saya, melihat bagaimana takdir itu sungguh sangat sederhana. Belajar menerima dan mencoba berpikir dengan jernih terhadap apa yang terjadi serta menentukan sikap adalah kuncinya. Saya tidak memposisikan sebagai orang yang paham benar tentang suatu takdir. Tapi, saya dapat menyadari bagaimana pola takdir melingkari hidup saya. Terkadang jalannya sulit dipahami. Namun, dengan kunci seperti tadi disertai rasa syukur terhadap apapun, akan membuat hidup jadi lebih ringan dan berharga. Sebagai orang yang ber-Tuhan, mengkhawatirkan masa depan bagi saya seperti upaya "menghina" Tuhan. Jalan Tuhan itu benar adanya dan ikuti saja. Meskipun itu sulit dan terlihat buruk, tapi kalau berpikir tentang takdir dan mensyukuri, senyuman dan bahagia itu muncul. Walau sebagai manusia, perasaan kecewa dan kesal akan selalu ada. 

Fase. Mungkin dapat diartikan sebagai perjalanan. Ada fase dimana kita merasa sebagai pecundang dan ada fase dimana kita merasa sebagai pemenang. Terkadang fase meletakkan kita pada satu labirin dan memaksa kita mencari jalan keluarnya. Usaha untuk bangkit adalah gerbang dari setiap fase. Hampir tidak ada yang percuma dalam hidup ini. Bahkan periode 3 tahun keterpurukan saya adalah memori yang sangat tidak layak dihapus. Ia adalah bagian dari kehidupanku. 

 Membangkitkan diri dari fase keterpurukan dan melihat masa untuk terus hidup adalah kehebatan dari apa yang disebut kehidupan.

Bersyukur dengan apa pun yang terjadi baik senang dan kekecewaan adalah suatu sikap bahwa kita bukan siapa-siapa dibanding kuasa-Nya.


Picture taken from http://www.google.com/imgres?client=firefox-a&sa=X&rls=org.mozilla:en-US:official&noj=1&tbm=isch&tbnid=fpIYpDPfzDeY3M:&imgrefurl=http://www.renunganhariankristen.net/aku-mau-bangkit/&docid=RU_gIfYJJfN3lM&imgurl=http://www.renunganhariankristen.net/wp-content/uploads/2012/10/Aku-Mau-Bangkit.jpg&w=800&h=600&ei=FBCHUpqIHcWHrQeUt4HABA&zoom=1&ved=1t:3588,r:5,s:0,i:96&iact=rc&page=1&tbnh=185&tbnw=257&start=0&ndsp=19&tx=140&ty=91&biw=1366&bih=648


 Malang, 16 November 2013

- AAA -

No comments:

Post a Comment

Silahkan komen yaa