Thursday 28 November 2013

Kaum Intelektual



Memulai dengan mereview dan mengkaji Sari Pidato Ir. Soekarno dalam Openbare Vergadering P.N.I Bandoeng dan Jacatra yang berjudul “Kewadjiban Kaoem Intellectueel”. Isi pidato tersebut yang kemudian menjadi bahan pembelajaran saya  dalam berusaha memahami kewajiban dan sejarah pergerakan kaum intelektual.
Kaum intelektual, apa dan siapa kaum Intelektual tersebut? Kaum intelektual ialah kaum atau sekumpulan atau orang yang telah mendapat pendidikan dan pengajaran serta pengetahuan. Intelektual sendiri berasal dari kata ‘Intellect’ yang berarti akal dan pikiran. Mereka lah orang-orang yang telah memiliki kepandaian baik akal dan pikiran melebihi orang-orang pada umumnya. Kaum intelektual ini tidak saja mereka yang memiliki title Sarjana, Master, Dokter atau pun Profesor. Dan tiap-tiap orang yang memiliki keunggulan dan kepandaian dalam pengetahuan, maka ia dapat disebut sebagai seorang yang intelektual.

Kaum intelektual diharapkan tidak menjadi seorang intelektual yang naïf dan mati atau tidak hidup. Tidak hidup seperti sebuah kamus. Kenapa seperti sebuah kamus? Kamus itu, menyediakan jawaban akan suatu pengertian dari kata-kata. Ia hanya berfungsi ketika kita membuka dan mencarinya. Analogi dengan kaum intelektual mati, Ia hanya tahu hal ini-itu tanpa adanya upaya kristalisasi kepada masyarakat melalui ilmu atau teori yang ia ketahui. Singkatnya, teori yang hidup tanpa ada praktek dan inisiasi aktif. Maka inilah yang disebut Intelektualitas yang naïf.
Bung Karno dalam pidatonya, “banyak orang yang mengatakan dan bertanya-tanya, kenapa kaum intelektual Indonesia tidak begitu banyak yang aktif, ya malahan mati jika dibandingkan dengan kaum intelektual dari Negara jajahan lain seperti India, Mesir atau Filipina?” Hal tersebut dikarenakan, oleh Bung Karno, hakikatnya kaum intelektual Indonesia itu tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Sebab, pergerakan kaum intelektual itu tidak bisa lepas dari keadaan-keadaan yang mengililinginya.
Kaum intelektual India misalnya, mereka hidup melalui pendidikan yang diberi oleh Inggris melalui Imperialisme. Didasarkan pada latar belakang bahwa Inggris mengalami over produksi di negerinya sendiri. Kenapa bisa sampai over produksi? Ini mengacu pada kehebatan roda Industri Inggris pada masa itu.  Untuk mengatasi over produksi ini, maka dijual-lah ke India. Akan tetapi, apakah semudah itu? Inggris tentu menyadari barometer ketertarikan dan daya beli masyarakat India. Untuk mengatasi hal itu lah, mereka memberikan pendidikan yang bagus. Dengan harapan, semakin meningkat kebutuhan-kebutuhan masyarakat India. Akan tetapi, di saat bersamaan, melalui pendidikan ini lah lahir intelektualitas dalam pelajar dan mahasiswa maupun masyarakat India.
Di Indonesia sendiri, sebagai Negara jajahan Belanda, penjajahan yang dilakukan pun berbeda. Jika India dijajah dengan Imperialisme, maka Indonesia dijajah dengan Industri Kapitalisme. Belanda, pada waktu itu memiliki kualitas industri yang bagus. Namun, mereka tidak memiliki SDA yang cukup dan memadai, seperti batu bara, kapas dan lain sebagainya. Hingga pemerintahan colonial Belanda melihat kondisi potensial yang ada di Indonesia, terkait SDA yang memadai dan cukup sebagai bahan utama produksi.
Dengan demikian, pada waktu yang sangat lama, pemerintah colonial Belanda menyedot habis kekayaan Indonesia dengan “mendikte” para tuan tanah dan tokoh-tokoh wilayah (ex : Gubernur dll) agar dimudahkan dalam mengorganisir rakyat yang “berusaha” menentang. Akan tetapi, rakyat pada saat itu tidak dibekali pendidikan selayaknya Inggris memberikan pendidikan pada rakyat India. Hal ini disengaja oleh Kolonial Belanda, agar rakyat Indonesia tidak “cerewet”.
Inilah yang menjadi tolak ukur awal industri kapitalisme Belanda, dengan memperkerjakan buruh-buruh Indonesia yang tak berpendidikan agar diupah gaji murah (bahkan tak bergaji). Lantas bagaimana lahirnya kaum intelektual di Indonesia itu? Kembali pada kalimat di atas, dengan “mendikte” para tuan tanah, tokoh wilayah dan keluarga bangsawan/kerajaan, pemerintah colonial Belanda “membalas budi” para golongan tersebut dengan memberikan pendidikan terhadap mereka. Oleh karena itu, mereka yang mendapat pendidikan hanyalah orang-orang yang memiliki gelar atau golongan tertentu saja.
Banyak dari mereka yang mendapat pendidikan hanya dipersiapkan untuk semangat perindustrian atau dengan kata lain menciptakan pelajar dengan mental pekerja alias buruh lemas yang siap dipekerjakan di kantor (ex: administrasi, keuangan) miliki industri kapitalisme Belanda. Sistem pendidikannya pun sengaja diciptakan agar untuk industry saja, artinya tidak merasa memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat di sekitarnya. Akan tetapi, tidak semua dari pelajar tersebut kemudian mengabaikan kepentingan masyarakat atau rakyat di nasionnya. Ini lah cikal bakal lahirnya kaum intelektual Indonesia.
Kaum intelektual Indonesia pada masa itu berupaya mencari jiwa nasionnya dan demi kemakmuran negerinya. Akhirnya sepeti yang kita tahu, banyak organisasi atau partai di Indonesia yang secara khusus berdiri untuk upaya kemakmuran Indonesia melalui perjuangan menggapai kemerdekaan, mereka antara lain; Trikoro Dharmo, Organisasi Kedaerahan (Jong Sumatera, Jong Minahasa, dll), PPPI yang akhirnya melebur menjadi Indonesia Muda (IM), dan lain-lain.
Inti intelektualitas dalam kapasitas yang sebenarnnya adalah mengabdi pada rakyat yang menderita di negeri sendiri akibat jajahan dalam bentuk kapitalisme dan kolonialisme. Sebagai kaum yang berilmu, menjadi sangat tidak patut menunjukkan ilmunya dengan sombong dan memandang rendah orang yang tidak berilmu. Akan terapi sebaliknya, nafas Intelektual adalah perjuangan terhadap rakyat atau masyarakat di sekelilingnya yang menderita.
Perjuangan menggapai kemerdekaan adalah tema gerakan kaum intelektual pada masa revolusi kemerdekaan 1945 silam. Suatu revolusi yang belum selesai menurut penulis. Saat ini, pergerakan kaum intelektualitas muda seperti mati suri. Tidak ada geliat untuk memperjuangkan harkat dan martabat rakyat yang tertindas oleh sistem perkawinan kapitalis dan pemerintah. Situasi pelajar Indonesia (melalui pandangan penulis) saat ini berada di zona bahaya. Bahaya karena tidak memiliki kesadaran akan kemajuan bangsanya, bahaya karena tidak memiliki aspirasi moral terhadap saudara sebangsanya, bahaya karena menjadikan pendidikan sebagai jembatan untuk mencari pekerjaan semata.
Untuk ciri bahaya yang disebutkan terakhir, adalah suatu pemandangan yang sangat “biasa” disaksikan. Sejak era Orde Baru, pendidikan memang disetting untuk kepentingan industry dengan mencetak lulusan atau sarjana yang siap kerja. Ciri sistem yang demikian tidak lain adalah sebuah kemunduran, sistem yang sama digunakan Belanda pada masa colonial.
Seharusnya, sudah selayaknya pendidikan berperan sebagai katalisator kemajuan bangsanya dan kemakmuran bagi bangsanya, tidak hanya untuk diri sendiri (cari aman). Pendidikan adalah benih yang harus diambil untuk kemudian ditebar kepada masyarakat agar masyarakat (yang tertindas) sadar akan kelasnya dan mau bergerak serta berjuang mengangkat derajat kelasnya. Disini lah peran kaum intelektual menunjukkan kapasitas dan kualitasnya.
Kaum Intelektual harus menjadi golongan yang “Kiri”, memiliki aspirasi moral terhadap rakyat, sadar akan ketimpangan, ada inisiasi aktif, dan terutama dari yang lain adalah, Ia harus menyatu bersama rakyat. Pendidikan BUKAN ALAT UNTUK MENCARI KERJA. Pendidikan adalah sumber ilmu yang harus digunakan dengan bijak. Kaum Intelektual yang sadar akan kebutuhan rakyat, sudah seharusnya berjuang dan juga menyadarkan kaum pelajar yang lain. Indonesia belum merdeka, Indonesia masih dalam cengkraman jajahan, baik asing maupun local. Indonesia perlu meneruskan apa yang dicitak-citakan pejuang kemerdekaan terdahulu : Menciptakan Indonesia yang Makmur dan Mandiri.

Malang-Lhokseumawe 2013
Aqsha Al Akbar

No comments:

Post a Comment

Silahkan komen yaa