Memulai
dengan mereview dan mengkaji Sari Pidato Ir. Soekarno dalam Openbare
Vergadering P.N.I Bandoeng dan Jacatra yang berjudul “Kewadjiban
Kaoem Intellectueel”. Isi pidato tersebut yang kemudian menjadi bahan
pembelajaran saya dalam berusaha
memahami kewajiban dan sejarah pergerakan kaum intelektual.
Kaum
intelektual, apa dan siapa kaum Intelektual tersebut? Kaum intelektual ialah
kaum atau sekumpulan atau orang yang telah mendapat pendidikan dan pengajaran
serta pengetahuan. Intelektual sendiri berasal dari kata ‘Intellect’ yang
berarti akal dan pikiran. Mereka lah orang-orang yang telah memiliki kepandaian
baik akal dan pikiran melebihi orang-orang pada umumnya. Kaum intelektual ini
tidak saja mereka yang memiliki title Sarjana, Master, Dokter atau pun
Profesor. Dan tiap-tiap orang yang memiliki keunggulan dan kepandaian dalam
pengetahuan, maka ia dapat disebut sebagai seorang yang intelektual.
Kaum
intelektual diharapkan tidak menjadi seorang intelektual yang naïf dan mati
atau tidak hidup. Tidak hidup seperti sebuah kamus. Kenapa seperti sebuah
kamus? Kamus itu, menyediakan jawaban akan suatu pengertian dari kata-kata. Ia
hanya berfungsi ketika kita membuka dan mencarinya. Analogi dengan kaum intelektual
mati, Ia hanya tahu hal ini-itu tanpa adanya upaya kristalisasi kepada
masyarakat melalui ilmu atau teori yang ia ketahui. Singkatnya, teori yang
hidup tanpa ada praktek dan inisiasi aktif. Maka inilah yang disebut
Intelektualitas yang naïf.
Bung
Karno dalam pidatonya, “banyak orang yang mengatakan dan bertanya-tanya, kenapa
kaum intelektual Indonesia tidak begitu banyak yang aktif, ya malahan mati jika
dibandingkan dengan kaum intelektual dari Negara jajahan lain seperti India,
Mesir atau Filipina?” Hal tersebut dikarenakan, oleh Bung Karno, hakikatnya
kaum intelektual Indonesia itu tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Sebab,
pergerakan kaum intelektual itu tidak bisa lepas dari keadaan-keadaan yang
mengililinginya.
Kaum
intelektual India misalnya, mereka hidup melalui pendidikan yang diberi oleh
Inggris melalui Imperialisme. Didasarkan pada latar belakang bahwa Inggris
mengalami over produksi di negerinya sendiri. Kenapa bisa sampai over produksi?
Ini mengacu pada kehebatan roda Industri Inggris pada masa itu. Untuk mengatasi over produksi ini, maka
dijual-lah ke India. Akan tetapi, apakah semudah itu? Inggris tentu menyadari
barometer ketertarikan dan daya beli masyarakat India. Untuk mengatasi hal itu
lah, mereka memberikan pendidikan yang bagus. Dengan harapan, semakin meningkat
kebutuhan-kebutuhan masyarakat India. Akan tetapi, di saat bersamaan, melalui
pendidikan ini lah lahir intelektualitas dalam pelajar dan mahasiswa maupun
masyarakat India.
Di
Indonesia sendiri, sebagai Negara jajahan Belanda, penjajahan yang dilakukan
pun berbeda. Jika India dijajah dengan Imperialisme, maka Indonesia dijajah
dengan Industri Kapitalisme. Belanda, pada waktu itu memiliki kualitas industri
yang bagus. Namun, mereka tidak memiliki SDA yang cukup dan memadai, seperti
batu bara, kapas dan lain sebagainya. Hingga pemerintahan colonial Belanda
melihat kondisi potensial yang ada di Indonesia, terkait SDA yang memadai dan
cukup sebagai bahan utama produksi.
Dengan
demikian, pada waktu yang sangat lama, pemerintah colonial Belanda menyedot
habis kekayaan Indonesia dengan “mendikte” para tuan tanah dan tokoh-tokoh
wilayah (ex : Gubernur dll) agar dimudahkan dalam mengorganisir rakyat yang
“berusaha” menentang. Akan tetapi, rakyat pada saat itu tidak dibekali
pendidikan selayaknya Inggris memberikan pendidikan pada rakyat India. Hal ini
disengaja oleh Kolonial Belanda, agar rakyat Indonesia tidak “cerewet”.
Inilah
yang menjadi tolak ukur awal industri kapitalisme Belanda, dengan
memperkerjakan buruh-buruh Indonesia yang tak berpendidikan agar diupah gaji
murah (bahkan tak bergaji). Lantas bagaimana lahirnya kaum intelektual di
Indonesia itu? Kembali pada kalimat di atas, dengan “mendikte” para tuan tanah,
tokoh wilayah dan keluarga bangsawan/kerajaan, pemerintah colonial Belanda
“membalas budi” para golongan tersebut dengan memberikan pendidikan terhadap
mereka. Oleh karena itu, mereka yang mendapat pendidikan hanyalah orang-orang
yang memiliki gelar atau golongan tertentu saja.
Banyak
dari mereka yang mendapat pendidikan hanya dipersiapkan untuk semangat
perindustrian atau dengan kata lain menciptakan pelajar dengan mental pekerja
alias buruh lemas yang siap dipekerjakan di kantor (ex: administrasi, keuangan)
miliki industri kapitalisme Belanda. Sistem pendidikannya pun sengaja
diciptakan agar untuk industry saja, artinya tidak merasa memiliki tanggung
jawab terhadap masyarakat di sekitarnya. Akan tetapi, tidak semua dari pelajar
tersebut kemudian mengabaikan kepentingan masyarakat atau rakyat di nasionnya.
Ini lah cikal bakal lahirnya kaum intelektual Indonesia.
Kaum
intelektual Indonesia pada masa itu berupaya mencari jiwa nasionnya dan demi
kemakmuran negerinya. Akhirnya sepeti yang kita tahu, banyak organisasi atau
partai di Indonesia yang secara khusus berdiri untuk upaya kemakmuran Indonesia
melalui perjuangan menggapai kemerdekaan, mereka antara lain; Trikoro Dharmo,
Organisasi Kedaerahan (Jong Sumatera, Jong Minahasa, dll), PPPI yang akhirnya
melebur menjadi Indonesia Muda (IM), dan lain-lain.
Inti
intelektualitas dalam kapasitas yang sebenarnnya adalah mengabdi pada rakyat
yang menderita di negeri sendiri akibat jajahan dalam bentuk kapitalisme dan
kolonialisme. Sebagai kaum yang berilmu, menjadi sangat tidak patut menunjukkan
ilmunya dengan sombong dan memandang rendah orang yang tidak berilmu. Akan
terapi sebaliknya, nafas Intelektual adalah perjuangan terhadap rakyat atau
masyarakat di sekelilingnya yang menderita.
Perjuangan
menggapai kemerdekaan adalah tema gerakan kaum intelektual pada masa revolusi
kemerdekaan 1945 silam. Suatu revolusi yang belum selesai menurut penulis. Saat
ini, pergerakan kaum intelektualitas muda seperti mati suri. Tidak ada geliat
untuk memperjuangkan harkat dan martabat rakyat yang tertindas oleh sistem
perkawinan kapitalis dan pemerintah. Situasi pelajar Indonesia (melalui
pandangan penulis) saat ini berada di zona bahaya. Bahaya karena tidak memiliki
kesadaran akan kemajuan bangsanya, bahaya karena tidak memiliki aspirasi moral
terhadap saudara sebangsanya, bahaya karena menjadikan pendidikan sebagai
jembatan untuk mencari pekerjaan semata.
Untuk
ciri bahaya yang disebutkan terakhir, adalah suatu pemandangan yang sangat
“biasa” disaksikan. Sejak era Orde Baru, pendidikan memang disetting untuk
kepentingan industry dengan mencetak lulusan atau sarjana yang siap kerja. Ciri
sistem yang demikian tidak lain adalah sebuah kemunduran, sistem yang sama
digunakan Belanda pada masa colonial.
Seharusnya,
sudah selayaknya pendidikan berperan sebagai katalisator kemajuan bangsanya dan
kemakmuran bagi bangsanya, tidak hanya untuk diri sendiri (cari aman).
Pendidikan adalah benih yang harus diambil untuk kemudian ditebar kepada
masyarakat agar masyarakat (yang tertindas) sadar akan kelasnya dan mau bergerak
serta berjuang mengangkat derajat kelasnya. Disini lah peran kaum intelektual
menunjukkan kapasitas dan kualitasnya.
Kaum
Intelektual harus menjadi golongan yang “Kiri”, memiliki aspirasi moral
terhadap rakyat, sadar akan ketimpangan, ada inisiasi aktif, dan terutama dari
yang lain adalah, Ia harus menyatu bersama rakyat. Pendidikan BUKAN ALAT UNTUK MENCARI KERJA. Pendidikan
adalah sumber ilmu yang harus digunakan dengan bijak. Kaum Intelektual yang
sadar akan kebutuhan rakyat, sudah seharusnya berjuang dan juga menyadarkan
kaum pelajar yang lain. Indonesia belum merdeka, Indonesia masih dalam
cengkraman jajahan, baik asing maupun local. Indonesia perlu meneruskan apa
yang dicitak-citakan pejuang kemerdekaan terdahulu : Menciptakan Indonesia yang
Makmur dan Mandiri.
Malang-Lhokseumawe
2013
Aqsha
Al Akbar
No comments:
Post a Comment
Silahkan komen yaa