Tugu Bunga - Foto diunggah dari Google |
Alasan mengapa aku di Malang sederhana, aku merantau jauh hanya untuk kuliah. Sudah menjadi cita-cita sejak kecil, ketika berjanjak dewasa aku ingin merantau jauh. Lalu kenapa harus Malang? Sedangkan mayoritas teman dan seniorku sangat jarang memilih Malang sebagai destinasi rantauannya. Kebanyakan dari mereka memilih Medan, Jakarta, Bandung, Jogja atau Surabaya. Aku sendiri pada awalnya tidak mengetahui seperti apa kota Malang. Aku hanya mengetahui segelintir cerita dari temanku yang pernah tinggal di Malang.
Hatiku yang
membulatkan diriku untuk memilih Malang ketimbang kota besar lainnya. Dan,
disinilah aku. Setelah perjalanan singkat dengan pesawat terbang, aku tiba di
bandara Juanda, Surabaya dan memulai petualanganku di kota bunga semenjak hari
pertama aku berada di Malang.
Aku sangat
excited saat tiba di Malang pertama kali. Kurasakan hawa udaranya yang sejuk
(meski tidak sesejuk seperti dulu), mengelus wajahku dengan senyuman kutebar di
setiap sudut jalanan yang kecil-kecil. Ya, Malang secara umum memiliki jalanan
yang kecil dan menanjak. Banyaknya volume kendaraan tidak jarang membuat
kemacetan di sana-sini.
Aku tidak
memiliki sanak saudara di Malang, kalaupun ada itu berarti saudara jauh yang
sebelumnya tidak pernah kukenal. Aku hanya punya dua teman yang bersamaku sejak
keberangkatan dari Aceh. Mereka Odi dan Memet. Kami memilih untuk tinggal di
kos di daerah Dinoyo, tepat depannya Unisma, meskipun kami kuliah di
Universitas Brawijaya (aku dan Odi pindah ke UNMUH di tahun-tahun berikutnya).
Kosku bernama Wisma Kencana Hidayah (WKH), sebuah kosan milik Pak Sutoyo atau
Pak Toyo. Bapak kosan yang dibenci anak kosan karena cerewet.
Karena kosku
besar hingga mampu menampung 20+ orang, banyak teman yang kudapat dari sini.
Meski akhirnya aku hanya akrab ke beberapa anak saja. Mereka ada Odi, Memet,
Edwar, Noky, Benyek, Fandi, Faisal, Rizky, Gedang, Vanni, Gerry, Aan, Guntur
dan Andik serta additional player yang sangat akrab denganku dan teman-teman,
Tommy. Dulu sebelum mereka, aku cukup akrab dengan seniorku di kos, mereka ada
Dedek, Fariz, Fazrin, Adit, Cece, Mas Bule, Adiknya Mas Bule, Mas Andi, Mas
Memet dan lain-lain. Aku berada di WKH selama tiga tahun. Periode tahun yang
penuh warna. Aku suka keakraban yang ada di kosanku. Walaupun setelah itu aku
pindah kosan ke daerah Landungsari sampai sekarang seiring aku pindah kampus.
Malang adalah kota
kehidupanku. Ada banyak alasan mengapa aku begitu mencintai kota kecil ini. Aku
belajar hidup di tempat ini. Aku belajar menjadi seseorang di tempat ini. Aku memiliki
baik dan buruk di tempat ini. Tempat ini juga yang membuka wacanaku sebagai
seorang Aqsha Al Akbar.
Aku mengenal
dunia malam di Malang. Aku yang sebelumnya tidak pernah meminum alcohol,
merasakannya sejak aku di Malang. Aku yang sebelumnya tidak pernah dugem
(karena di Aceh nggak ada), menikmati lantai dansa di Malang. Banyak hal negative
yang pernah kulakukan di Malang yang sebelumnya tidak pernah kulakukan. Tentu
saja aku tidak larut dalam dunia yang gelap. Karena aku sendiri tidak menyukai
minuman alcohol, aku juga tidak suka dengan dugem apalagi Narkoba. Sebagai pemuda
yang rentan akan narkoba, aku juga masih bersih dari bahan terlarang itu. Kecuali,
ganja. Karena dari berbagai referensi, aku mengetahui kalau ternyata ganja
tidak berbahaya bagi tubuh, malahan justru berguna untuk kehidupan manusia. Ya,
kita tidak membahas masalah ganja di sini. Hehe. Banyak dari hal-hal tersebut
memberikan aku pelajaran berharga tentang apa itu hidup dan kehidupan. Sesuatu yang
membuatku mengerti apa itu tujuan hidup. Hidupku.
Bangunan Gerja Ijen - Foto diunggah dari Google |
Jalanan Ijen dengan taman di tengahnya - Foto diunggah dari Google |
Suatu metamorfosa
yang kualami selama di Malang adalah mengenai diriku sendiri. Entah karena apa,
aku begitu mengetahui banyak hal sejak disini. Aku belajar untuk menjadi berani
sejak di Malang. Aku tidak begitu pemberani awalnya. Aku cenderung pengecut. Tetapi
tantangan bagaimana aku harus menghadapi sesuatu secara sendiri, membuatku harus
berani dan siap dengan resikonya. Aku juga mulai mengenal bagaimana hakikat
hidup semenjak aku di Malang. Aku sempat bertemu dan berguru sebentar dengan
seorang Ulama yang tidak ingin dipanggil dengan gelar apapun selain Pak De. Beliau
mengajarkan bagaimana manusia hidup. Bagaimana manusia bersanding dengan
takdir. Bagaimana manusia sujud dan
bertindak sebagai hamba pada Allah.
Aku pun pernah
merasakan kegagalan saat aku di Malang. Aku pernah begitu surut dan tidak mengalami
gairah hidup saat disini (lihat Fase). Namun aku diajarkan bagaimana untuk bangkit
dan melawan keterpurukan menjadi sebuah kekuatan dalam karakterku. Untuk bangkit
memang susah dan tidak mudah seperti yang dibayangkan. Tapi, manusia selalu
diberkahi Allah sebuah sifat, Ikhlas. Hanya keikhlasan yang dapat membawa
manusia menjadi manusia. Aku menerima semua itu.
Bagiku, Malang
adalah takdirku. Malang ibarat stasiun dalam perjalananku. Aku berangkat (memulai)
dan mungkin akan pulang (mengakhiri) di stasiun ini. Kota ini pun ibarat buku
dengan halaman-halaman yang kosong. Aku menulis dan mungkin akan mengakhirinya
di buku ini. Cerita tentang romansaku dengan wanita, cerita tentang kegugupanku
saat memulai perkuliahan dan segala cerita mengenai kegilaanku bersama
teman-teman, adalah rangkaian puisi yang menyiratkan auranya di kota bunga ini.
Ini lah kota
kecintaanku. Kota kecil dengan sejuta imajinasi yang mengokohkannya. Bagaimana
aku dapat melihat masaku nanti, aku tidak terlalu mengetahui. Bermetamormosis
di kota ini, berarti sedang mengagungkan cinta yang dalam pada kotaku, kota
Malangku.
- AAA -
No comments:
Post a Comment
Silahkan komen yaa