Sunday 17 November 2013

Malang, Aku Cinta



Tugu Bunga - Foto diunggah dari Google
Sore ini aku duduk di sambil berpikir. Entah benar berpikir atau aku hanya melamun. Dengan sebatang rokok Surya 16 (zat pembunuh hidupku secara perlahan) dan secangkir gelas kopi Solong, kopi kiriman dari Aceh yang rasanya luar biasa nikmat, aku mulai mengembara ke waktu demi waktu kenapa aku di Malang.


Alasan mengapa aku di Malang sederhana, aku merantau jauh hanya untuk kuliah. Sudah menjadi cita-cita sejak kecil, ketika berjanjak dewasa aku ingin merantau jauh. Lalu kenapa harus Malang? Sedangkan mayoritas teman dan seniorku sangat jarang memilih Malang sebagai destinasi rantauannya. Kebanyakan dari mereka memilih Medan, Jakarta, Bandung, Jogja atau Surabaya. Aku sendiri pada awalnya tidak mengetahui seperti apa kota Malang. Aku hanya mengetahui segelintir cerita dari temanku yang pernah tinggal di Malang.
Hatiku yang membulatkan diriku untuk memilih Malang ketimbang kota besar lainnya. Dan, disinilah aku. Setelah perjalanan singkat dengan pesawat terbang, aku tiba di bandara Juanda, Surabaya dan memulai petualanganku di kota bunga semenjak hari pertama aku berada di Malang.
Aku sangat excited saat tiba di Malang pertama kali. Kurasakan hawa udaranya yang sejuk (meski tidak sesejuk seperti dulu), mengelus wajahku dengan senyuman kutebar di setiap sudut jalanan yang kecil-kecil. Ya, Malang secara umum memiliki jalanan yang kecil dan menanjak. Banyaknya volume kendaraan tidak jarang membuat kemacetan di sana-sini.
Aku tidak memiliki sanak saudara di Malang, kalaupun ada itu berarti saudara jauh yang sebelumnya tidak pernah kukenal. Aku hanya punya dua teman yang bersamaku sejak keberangkatan dari Aceh. Mereka Odi dan Memet. Kami memilih untuk tinggal di kos di daerah Dinoyo, tepat depannya Unisma, meskipun kami kuliah di Universitas Brawijaya (aku dan Odi pindah ke UNMUH di tahun-tahun berikutnya). Kosku bernama Wisma Kencana Hidayah (WKH), sebuah kosan milik Pak Sutoyo atau Pak Toyo. Bapak kosan yang dibenci anak kosan karena cerewet.
Karena kosku besar hingga mampu menampung 20+ orang, banyak teman yang kudapat dari sini. Meski akhirnya aku hanya akrab ke beberapa anak saja. Mereka ada Odi, Memet, Edwar, Noky, Benyek, Fandi, Faisal, Rizky, Gedang, Vanni, Gerry, Aan, Guntur dan Andik serta additional player yang sangat akrab denganku dan teman-teman, Tommy. Dulu sebelum mereka, aku cukup akrab dengan seniorku di kos, mereka ada Dedek, Fariz, Fazrin, Adit, Cece, Mas Bule, Adiknya Mas Bule, Mas Andi, Mas Memet dan lain-lain. Aku berada di WKH selama tiga tahun. Periode tahun yang penuh warna. Aku suka keakraban yang ada di kosanku. Walaupun setelah itu aku pindah kosan ke daerah Landungsari sampai sekarang seiring aku pindah kampus.
Malang adalah kota kehidupanku. Ada banyak alasan mengapa aku begitu mencintai kota kecil ini. Aku belajar hidup di tempat ini. Aku belajar menjadi seseorang di tempat ini. Aku memiliki baik dan buruk di tempat ini. Tempat ini juga yang membuka wacanaku sebagai seorang Aqsha Al Akbar.
Aku mengenal dunia malam di Malang. Aku yang sebelumnya tidak pernah meminum alcohol, merasakannya sejak aku di Malang. Aku yang sebelumnya tidak pernah dugem (karena di Aceh nggak ada), menikmati lantai dansa di Malang. Banyak hal negative yang pernah kulakukan di Malang yang sebelumnya tidak pernah kulakukan. Tentu saja aku tidak larut dalam dunia yang gelap. Karena aku sendiri tidak menyukai minuman alcohol, aku juga tidak suka dengan dugem apalagi Narkoba. Sebagai pemuda yang rentan akan narkoba, aku juga masih bersih dari bahan terlarang itu. Kecuali, ganja. Karena dari berbagai referensi, aku mengetahui kalau ternyata ganja tidak berbahaya bagi tubuh, malahan justru berguna untuk kehidupan manusia. Ya, kita tidak membahas masalah ganja di sini. Hehe. Banyak dari hal-hal tersebut memberikan aku pelajaran berharga tentang apa itu hidup dan kehidupan. Sesuatu yang membuatku mengerti apa itu tujuan hidup. Hidupku.
Bangunan Gerja Ijen - Foto diunggah dari Google
Ada satu daerah di Malang yang begitu aku sukai. Tempat itu ada di Ijen. Sekarang sudah menjadi IJen Boulevard kalau tidak salah. Aku sangat menyukai berkendara dengan pelan sambil menikmati panorama sederhananya atau sekedar nongkrong sebentar saat malam di depan museum yang berada di jalan Ijen. Jalan Ijen adalah jalan kembar. Di tengah atau pemisah jalan kembar tersebut, terdapat tugu kelopak bunga dan di rerumputannya bertebar pohon-pohon serta bunga-bunga yang tertata rapi. Di pinggir jalannya, aku bisa melihat rumah-rumah yang besar. Kebanyakan rumah peninggalan zaman Belanda. Di jalan Ijen juga terdapat bangunan Gereja yang indah.
Jalanan Ijen dengan taman di tengahnya - Foto diunggah dari Google
Setiap hari Minggu pagi, akan selalu ada Car Free Day yang digelar di jalan Ijen hingga ke jalan Semeru (tetangganya jalan Ijen). Dan setiap setahun sekali, ada acara Malang Tempo Doloe, sebuah acara yang menampilkan wajah Malang dalam kemasan klasik. Saat Car Free Day, sering ada acara yang digelar. Misalnya perlombaan, acara amal dan lain-lain. Bagi saya dan teman-teman, menikmati CFD adalah menikmati anugerah Tuhan pada kaum Hawa. Cekiw. Hahaha. Dan pada saat acara Malang Tempo Doloe atau MTD, mengenakan pakaian ala tempo doloe juga berlaku, walaupun tidak wajib. Seringnya saya mengenakan batik, karena tidak memiliki pakaian khusus untuk acara ini. Sayangnya, dua tahun terakhir, gelaran acara MTD tidak begitu menyenangkan, karena menurutku cenderung seperti pasar malam biasa. Semoga kedepannya jadi lebih baik. Amin.
Suatu metamorfosa yang kualami selama di Malang adalah mengenai diriku sendiri. Entah karena apa, aku begitu mengetahui banyak hal sejak disini. Aku belajar untuk menjadi berani sejak di Malang. Aku tidak begitu pemberani awalnya. Aku cenderung pengecut. Tetapi tantangan bagaimana aku harus menghadapi sesuatu secara sendiri, membuatku harus berani dan siap dengan resikonya. Aku juga mulai mengenal bagaimana hakikat hidup semenjak aku di Malang. Aku sempat bertemu dan berguru sebentar dengan seorang Ulama yang tidak ingin dipanggil dengan gelar apapun selain Pak De. Beliau mengajarkan bagaimana manusia hidup. Bagaimana manusia bersanding dengan takdir. Bagaimana manusia sujud  dan bertindak sebagai hamba pada Allah.
Aku pun pernah merasakan kegagalan saat aku di Malang. Aku pernah begitu surut dan tidak mengalami gairah hidup saat disini (lihat Fase). Namun aku diajarkan bagaimana untuk bangkit dan melawan keterpurukan menjadi sebuah kekuatan dalam karakterku. Untuk bangkit memang susah dan tidak mudah seperti yang dibayangkan. Tapi, manusia selalu diberkahi Allah sebuah sifat, Ikhlas. Hanya keikhlasan yang dapat membawa manusia menjadi manusia. Aku menerima semua itu.
Bagiku, Malang adalah takdirku. Malang ibarat stasiun dalam perjalananku. Aku berangkat (memulai) dan mungkin akan pulang (mengakhiri) di stasiun ini. Kota ini pun ibarat buku dengan halaman-halaman yang kosong. Aku menulis dan mungkin akan mengakhirinya di buku ini. Cerita tentang romansaku dengan wanita, cerita tentang kegugupanku saat memulai perkuliahan dan segala cerita mengenai kegilaanku bersama teman-teman, adalah rangkaian puisi yang menyiratkan auranya di kota bunga ini.
Ini lah kota kecintaanku. Kota kecil dengan sejuta imajinasi yang mengokohkannya. Bagaimana aku dapat melihat masaku nanti, aku tidak terlalu mengetahui. Bermetamormosis di kota ini, berarti sedang mengagungkan cinta yang dalam pada kotaku, kota Malangku. 

- AAA -

No comments:

Post a Comment

Silahkan komen yaa