Saturday 30 November 2013

Kepahlawanan Dalam Perspektif Revolusi Indonesia*

Oleh : Pandu Jakasurya
Selasa, 12 November 2013




Menurut Oxford Concise Dictionary – Tenth Edition, pahlawan adalah orang yang dikagumi karena keberanian dan prestasi-prestasinya yang menonjol. Ada keberanian dan prestasi-prestasi yang menonjol di satu sisi, ada kekaguman di sisi lain. Keberanian adalah jiwa pahlawan. Prestasi-prestasi yang menonjol adalah yang “dicetak”-nya. Kekaguman adalah tanggapan orang lain terhadap keberanian dan prestasi-prestasi menonjol yang dicetaknya.



Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan dua pengertian. Pertama, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Kedua, pejuang yang gagah berani. Ada kebenaran yang diyakini di satu sisi. Ada keberanian dan pengorbanan di sisi lain. Pahlawan berjuang karena meyakini kebenaran yang dianutnya. Demi kebenaran itu ia berjuang dengan gagah berani. Demi kebenaran itu juga, bahkan, ia rela berkorban – jiwa-raga dan segala.
Bila kita menerima definisi-definisi yang diberikan oleh kedua kamus ini, kita bisa dengan aman mengatakan bahwa kepahlawanan (=jiwa pahlawan) bersifat lintas zaman. Kepahlawanan tidak hanya dibutuhkan di masa silam, sebutlah saat bangsa Indonesia berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan – termasuk Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Kepahlawanan juga dibutuhkan hic et nunc, berpuluh-puluh tahun setelah bangsa Indonesia “merdeka.” Dengan demikian, adalah sah bila kita berbicara tentang kepahlawanan kontemporer.

Persoalannya, sekali kita berbicara tentang kekontemporeran, paling sedikit ada tiga hal yang perlu kita cermati. Pertama, kontinuitas yang kontemporer dengan yang “telah silam.” Kedua, kekhasan yang kontemporer itu sendiri. Ketiga, ke mana yang kontemporer itu bergulir. Ketiga hal ini jalin-menjalin.

Dari yang “telah silam” kita bisa belajar tentang “kebenaran” yang ditindaklanjuti dengan perjuangan oleh para pahlawan. Dari yang “telah silam” kita juga bisa melihat sejauh mana yang kontemporer itu sejalan atau tidak sejalan dengan “kebenaran” tersebut sembari meraba kemungkinan adanya kebenaran-kebenaran lain yang seharusnya diperjuangkan.

Di sini kita perlu berpikir historis: konteks-konteks yang berbeda, yakni yang”telah silam” dan yang kontemporer secara wajar membentuk kontinuitas dan/atau diskontinuitas perjuangan dan kepahlawanan. Dari kajian atas kontinuitas dan/atau diskontinuitas itu kita berharap bisa mencandra arah yang akan ditempuh bangsa Indonesia.

Yang Telah Silam
Dalam Mentjapai Indonesia Merdeka, misalnya, Bung Karno menyebut kemerdekaan sebagai jembatan emas. Ada dua sikon yang dihubungkan oleh jembatan tersebut. Sikon yang pertama, yang di sini, adalah “alam penjajahan.” Sikon yang kedua, yang di seberang sana, adalah “alam kemerdekaan.” Di “alam penjajahan” yang memerintah adalah penguasa kolonial, penjajah, bangsa asing. Di “alam kemerdekaan” yang memerintah adalah penguasa “bumiputera”, bangsane dhewe.
Berjuang dengan mengatasnamakan kaum Marhaen (“wong cilik”), yang disebutnya meliputi bagian terbesar bangsa Indonesia, Bung Karno mengidentifikasi alam penjajahan sebagai alam kesusahan bagi kaum Marhaen. Ia tidak rela kaum Marhaen hidup dengan satu benggol (2½ sen) sehari. Ia ingin kaum Marhaen hidup sejahtera, makmur, sentosa.

Menurut Bung Karno, akar kemalangan kaum Marhaen adalah kapitalisme dan imperialisme. (Bila kita menggunakan tesis V.I. Lenin, imperialisme adalah tahapan tertinggi dari kapitalisme. Imperialisme adalah konsekuensi historis dari kapitalisme.) Karena itu, kapitalisme dan imperialisme harus dilenyapkan dari bumi Indonesia.

Pertama-tama yang harus dilenyapkan adalah imperialisme. Itu berarti kaum Marhaen, dalam persatuan dengan kaum feodal dan kaum borjuis nasional Indonesia, harus mengakhiri penjajahan Belanda dan mendirikan negara Indonesia Merdeka. Dengan jalan itu, beralihlah bangsa Indonesia dari alam penjajahan ke alam kemerdekaan.

Di alam kemerdekaan, kaum Marhaen harus memegang kekuasaan supaya biasa melenyapkan kapitalisme dan membangun sosialisme. Jika tidak, di alam kemerdekaan pun kaum Marhaen tetap sengsara, tak ubahnya dengan hidup di alam penjajahan. Di “seberang jembatan emas” ada dua kemungkinan nasib bagi kaum Marhaen: hidup sejahtera, makmur, sentosa atau terus hidup dalam kemelaratan. Dengan kata lain, kemerdekaan tidak menjamin keselamatan kaum Marhaen. Tapi kemerdekaan mutlak perlu bagi kaum Marhaen untuk bisa mewujudkan cita-citanya, sosialisme (dengan imbuhan “a la Indonesia”).

Jadi ada dua tahap perjuangan menurut Bung Karno. Tahap pertama perjuangan kemerdekaan dan tahap yang kedua perjuangan sosialisme. Yang pertama adalah revolusi nasional, yang kedua adalah revolusi sosial. Revolusi nasional bertujuan untuk mendirikan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Kelak, Bung Karno merumuskan tujuan revolusi nasional dalam butir pertama Amanat Penderitaan Rakyat: NKRI yang berdaulat penuh dari Sabang sampai Merauke. Kelak dalam Trisakti ia merumuskannya lebih jauh: Berdaulat penuh secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Revolusi sosial bertujuan untuk mendirikan negara Indonesia yang tidak hanya merdeka dan berdaulat, tetapi juga adil dan makmur. Kelak, dalam butir kedua dan ketiga Amanat Penderitaan Rakyat ia merumuskan: masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dan berjuang demi dunia baru yang bebas dari penghisapan manusia oleh manusia dan penghisapan bangsa yang satu oleh bangsa yang lain (exploitation de l’homme par l’homme dan exploitation de nation par nation).

Bagi Bung Karno, revolusi nasional dan revolusi sosial merupakan arus yang tidak terputus. Bahkan revolusi nasional belum selesai dengan penyerahan kedaulatan sebagaimana terukir dalam Konferensi Meja Bundar 1949. Toh Republik Indonesia “hanyalah” satu negara dalam Republik Indonesia Serikat. Toh RIS adalah bagian dari uni Indonesia-Belanda, yang mengakui kewibawaan Ratu Belanda sebagai kewibawaan tertinggi. Toh Indonesia harus membayar biaya yang dikeluarkan Negeri Belanda untuk memerangi rakyat Indonesia dalam rangka mengembalikan kolonialisme di Indonesia. Toh perusahaan-perusahaan Belanda masih teguh sentosa di Indonesia. Toh Irian Barat masih dikuasai Belanda. Revolusi nasional sama sekali belum selesai. Kelak Bung Karno berkata-kata tentang the summing up of many revolutions in Indonesian Revolution. Revolusi Indonesia adalah sebuah revolusi pancamuka, katanya, yang meliputi revolusi di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, dan sebagainya.

Bung Hatta tidak sependapat dengan Bung Karno soal revolusi yang belum selesai. Bagi Bung Hatta, dengan tercapainya penyerahan kedaulatan dalam bingkai Republik Indonesia Serikat, revolusi sudah selesai. Sekarang bangsa Indonesia memasuki era pembangunan nasional, bukan revolusi yang terus berlanjut. Kelak, dengan tergulingnya Bung Karno dan Demokrasi Terpimpin serta berkuasanya Jenderal Soeharto dan Orde Baru (yang merupakan varian dari Demokrasi Terpimpin dengan pergeseran dari Bonapartisme-populis [Bung Karno] ke Bonapartisme-fasis [Soeharto]), posisi Bung Hatta “menang”. Orde Baru menyatakan revolusi (yang dibatasi pada “Revolusi Fisik” atau “Revolusi Kemerdekaan” 1945-1949) sudah selesai, dan mencanangkan pembangunan nasional (dengan berkiblat dan bergantung kepada imperialisme).

Salah satu persoalan krusial dalam tesis Bung Karno tentang dua tahap revolusi (yang dalam tulisannya, Kepada Bangsaku, jelas-jemelas bercorak Stalinis) dan “revolusi belum selesai” (yang kedengaran mirip dengan tesis Trotsky, Revolusi Permanen, namun sesungguhnya jauh panggang dari api, dan mungkin boleh kita namakan pseudo-Trotskyism) adalah persoalan kepemimpinan revolusioner.

Memang Bung Karno, dalam Mentjapai Indonesia Merdeka, menegaskan bahwa kepemimpinan revolusioner harus ada pada kaum Marhaen, baik dalam tahapan revolusi nasional maupun tahapan revolusi sosial. Akan tetapi tidak dijelaskannya bagaimana Marhaen memegang dan melaksanakan kepemimpinan revolusioner itu.

Bung Karno memang berkata-kata tentang partai pelopor (vanguard party) dengan cara yang mengingatkan kita pada tesis Lenin, termasuk tentang sentralisme-demokratik. Tapi, toh konsep Bung Karno berbeda dengan konsep Lenin. Bagi Lenin, partai pelopor adalah partainya proletariat, representasi dari kesadaran yang paling maju dari proletariat. Partai pelopor ini diawaki oleh kaum revolusioner profesional, yang terdidik sebagai kader-kader yang berasal dari elemen-elemen terbaik proletariat. Dengan kata lain, partai pelopor a la Lenin adalah partai kader yang hidup dalam kontak yang intens dengan massa, yakni massa proletariat. Dalam momentum revolusioner, partai pelopor ini akan memobilisasi massa untuk melaksanakan tugas-tugas revolusionernya. Dalam konteks ini berlaku prinsip sentralisme-demokratik: kebebasan tiap-tiap anggota untuk berpendapat dan bersilang pendapat seorang dengan yang lain tentang suatu pokok strategis tertentu (demokrasi) dan kesatuan gerak langkah dan aksi setelah keputusan tentang pokok strategis itu diambil secara demokratis (sentralisme).

Di lain pihak, partai pelopor Bung Karno adalah wadah perjuangan bagi semua kelas dan golongan yang menghendaki kemerdekaan Indonesia menurut asas perjuangan non-kooperasi. Partai tersebut akan memimpin semua kelas dan golongan itu untuk memenangkan kemerdekaan Indonesia. Partai pelopor Bung Karno bukan partai kader, melainkan partai massa. Sentralisme demokratik berarti pemusatan kekuasaan dalam tangan pimpinan partai, yang memungkinkannya menendang anggota-anggota yang mulai menyimpang dan mengingkari disiplin partai, serta memberikan komando kepada segenap anggota dan massa rakyat.

Lantas siapakah pimpinan partai itu? Seorang pemimpin besar, yang kelak berjuluk Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno sendiri. Sang pemimpin besar adalah seorang bapak yang maha-bijak bagi orang-orang yang dipimpinnya. Ia memberi kesempatan kepada tiap-tiap orang untuk berbicara, mengemukakan pendapat tentang suatu pokok strategis tertentu. Kemudian ia membuat sintesis dari berbagai pendapat: tidak seorang pun yang pendapatnya diterima sepenuhnya, tidak seorang pun yang pendapatnya ditolak sepenuhnya. Bung Karno menyebutnya  musyawarah (untuk mufakat). Kelak, dalam rumusan sila keempat Pancasila kita membaca “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Bung Karno sendiri kelak menamainya “Demokrasi Terpimpin.” Bung Karno menjadi bonapartis populis.

Dalam kenyataannya, kepemimpinan revolusioner ala Bung Karno tidak berhasil menuntaskan revolusi nasional, apalagi revolusi sosial. Kepemimpinannya yang bercorak bonapartis populis itu memuat kontradiksi kelas. Kelas feodal dan kelas borjuis nasional (yang terwakili dalam partai-partai borjuis yang berbasis agama dan yang berbasis non-agama serta Militer) bersatu kepentingan melawan kelas buruh dan kaum tani (yang terwakili dalam PKI dan ormas-ormas yang menjadi onderbouw atau sekutunya). Imperialisme, yang melihat kepentingannya sejalan dengan kepentingan kelas feodal dan kelas borjuis nasional, berkali-kali melakukan subversif – dan akhirnya menang dengan hancurnya PKI, tergulingnya Bung Karno, dan berdirinya Orde Baru.

Dari perspektif ini, kita mendapati kepahlawanan yang terpenggal dengan berakhirnya revolusi nasional (yang tidak sempat bertransformasi menjadi revolusi sosial). Selanjutnya, menurut pendapat saya, kepahlawanan harus turun ke bawah tanah karena represi yang luar biasa di satu sisi dan ilusi masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila di sisi lain – yang dua-duanya digelar oleh Soeharto dan Orde Baru-nya. Kepahlawanan dalam perspektif “revolusi belum selesai” seperti sirna ilang kertaning bhumi. Sebagai gantinya Orde Baru menggagas “pahlawan pembangunan”, pahlawan setelah revolusi berakhir (dihentikan paksa), atau pahlawan tanpa perspektif revolusioner. Dengan kata lain, pahlawan yang mengukuhkan kontra-revolusi Orde Baru.

Yang Kini
Soeharto mengambilalih Demokrasi Terpimpin-nya Bung Karno dan memodifikasinya menjadi Demokrasi Pancasila. Gagasan Bung Karno tentang partai pelopor yang menjadi partai (tunggal) negara dengan sentralisme-demokratik pelintiran juga diadopsi Soeharto dengan membuat Golkar menjadi partai negara dan menyederhanakan partai-partai sekuler dan Islam menjadi dua partai aksesoris Demokrasi Pancasila. Jelas, Soeharto memainkan peran bonapartis. Tapi bukan bonapartis populis, melainkan bonapartis fasis. Ia memberi tempat yang sangat menentukan pada militer, khususnya Angkatan Darat. Sebab Orde Baru mengemban mission sacre menyelamatkan kapitalisme Indonesia yang hampir ambruk (yang dituduhkan kepada Bung Karno karena telah membuat politik menjadi panglima kehidupan berbangsa dan bernegara), mengintegrasikan kapitalisme-pinggiran Indonesia ke dalam kapitalisme dunia dengan relasi patron-klien, dan menjamin komunisme tetap berada di liang kubur.

Mission sacre ini berlangsung dalam konteks Perang Dingin, AS dan NATO yang kapitalistik (“demokratis”) versus Uni Soviet dan Pakta Warsawa yang komunistik (“totalitarian”). Dua tugas pertama dari mission sacre Orde Baru adalah menjamin Indonesia untuk benar-benar menjadi “hadiah terbesar di Pasifik” bagi imperialisme yang dikomandani AS. Indonesia menjadi pemasok bahan mentah, penyedia tenaga kerja murah, pasar produk-produk imperialis, dan lahan investasi yang sangat menguntungkan. Tugas yang ketiga adalah menjaga Indonesia dari kemungkinan bangkitnya komunisme, yang sudah barang tentu akan merugikan kepentingan ekonomi-politik imperialis di Indonesia.

Untuk menjalankan mission sacre itu, Orde Baru menampilkan diri sebagai Negara Kesejahteraan Berwajah Leviathan. Dengan jalan itu ia bermaksud mengubur untuk selamanya Demokrasi Terpimpin yang distigmatisasinya menyengsarakan rakyat, melumpuhkan Komunisme, menjamin dukungan negeri-negeri imperialis, dan mengokohkan kekuasaannya.

Kemelaratan dan kesengsaraan yang tidak tertanggungkan oleh rakyat Indonesia akhirnya meledak ke permukaan. Pada 1998, Soeharto lengser. Kekuatan revolusioner kaum muda dan rakyat tertindas yang meledak-ledak hampir saja menggulingkan seluruh tatanan kekuasaan. Seluruh kelas penguasa di Indonesia serta imperialisme melakukan manuver, yakni dengan meminta Soeharto turun agar meredakan kemarahan rakyat karena posisi Soeharto sebagai Presiden sudah tidak bisa lagi dipertahankan di bawah tekanan massa yang semakin besar. Guna menyelamatkan seluruh tatanan kapitalisme di Indonesia, Soeharto harus turun dan sejumlah konsensi demokratis harus diberikan. Revolusi di Indonesia pun akhirnya berhasil diarahkan ke jalur yang aman.

Secara fundamental, tidak ada perubahan di dalam karakter rejim yang berkuasa hari ini dengan rejim Orde Baru. Walau rakyat memenangkan sejumlah reforma demokratis, kekuasaan masih dipegang erat oleh kaum kapitalis, kaum birokrat, dan militer. Perekonomian Indonesia masih kapitalistik, yang terintegrasi dengan kapitalisme dunia, di mana kita terutama menjadi pengekspor bahan mentah, penyedia buruh berupah murah, pasar raksasa bagi produk-produk jadi perusahaan-perusahaan transnasional yang bermarkas besar di negeri-negeri kapitalis maju, dan lahan investasi perusahaan-perusahaan transnasional tersebut.

Secara sosial-budaya negeri kita berada dalam krisis budaya. Di satu sisi kita semakin tidak menampakkan diri sebagai suatu bangsa yang berkepribadian dalam kebudayaan. Bentuk-bentuk budaya populer komersial yang datang dari negeri-negeri yang secara ekonomi-politik lebih kuat daripada kita membanjiri negeri kita tanpa ampun. Generasi muda kita yang kebanyakan tumbuh dalam konstruksi sosial yang apolitik menjadi reseptor utama dari filosofi, nilai-nilai, mentalitas, dan gaya hidup yang digelontorkan oleh bentuk-bentuk budaya komersial itu. Celakanya, bentuk-bentuk budaya populer komersial berikut filosofi, nilai-nilai, mentalitas, dan gaya hidup yang dibawanya, dijiplak dan dilipatgandakan secara masif oleh para borjuis industri budaya populer komersial Indonesia. Generasi muda yang sudah mengalami depolitisasi sehingga apolitis sekarang diberi bentuk oleh budaya populer komersial baik oleh industrialis mancanegara maupun oleh industrialis nasional. Hasilnya adalah kaum muda yang individualistis, pragmatis, hedonistis, cengeng, narsistis, alay

Di sisi lain, korupsi merajalela. Sogok-suap di mana-mana. Pejabat negara, baik yang duduk di pemerintahan, parlemen, maupun lembaga yudisial, juga para pengusaha, pegawai birokrasi negara (PNS), polisi, dan sebagainya, tidak ada yang kebal. Telaah Histomat (Materialisme Historis) atas gejala sosial-budaya yang satu ini mengajak kita untuk melihat dengan jujur cacat moral kelas borjuis nasional kita.

Dalam telaah Histomat, kelas borjuis nasional mengidap “kerusakan kodrat” atau total depravity. Sebab-musababnya ditemukan dalam kelahiran dan pembentukan burjuasi nasional itu sendiri. Berbeda dengan negeri-negeri yang sudah lebih dulu menjadi negeri-negeri kapitalis, burjuasi nasional kita lahir dari “perkawinan haram” Kolonialisme dan Feodalisme. Kolonialisme bangsa Barat-kapitalis atas Nusantara adalah konsekuensi dari perkembangan kapitalisme. Trilogi kapitalisme, yakni eksploitasi, akumulasi, dan ekspansi, bermuara pada kolonialisme. Di Nusantara, bangsa Barat-kapitalis menerapkan trilogi kapitalisme dengan sangat efisien. Mereka “bekerjasama” (=memanfaatkan) kekuasaan kaum feodal Nusantara untuk mendapatkan lahan dan tenaga kerja murah. Mereka memberi “komisi” kepada para penguasa feodal tiap kali penguasa-penguasa feodal itu berhasil memenuhi pesanan mereka. Inilah cikal bakal “budaya” suap dan korupsi yang sekarang hidup di bumi Indonesia. Dari “perkawinan haram” inilah muncul kelas borjuis nasional – yang korup, komprador (menghamba kepada imperialis dan kejam kepada rakyatnya sendiri), kapitalis-birokrat, dan kapitalis-kroni (oligarki).

Dalam konteks seperti ini, “kepahlawanan kontemporer” sepertinya merupakan ilusi. Bung Karno bicara tentang kepahlawanan dalam konteks revolusi yang belum selesai. Soeharto bicara tentang kepahlawanan dalam konteks revolusi yang (dipaksa) selesai. Sekarang barangkali kita tidak memiliki idea apapun tentang kepahlawanan.

Yang Nanti
Perspektif kita tentang kepahlawanan adalah revolusioner. Kita percaya bahwa revolusi Indonesia belum selesai. Sebab kita belum pernah menuntaskan revolusi nasional (yang bercorak borjuis), lebih-lebih revolusi sosialis (yang bercorak proletariat)! Apalagi sekarang negeri ini sedang berada dalam orbit imperialisme, menjadi negeri neo-kolonial dan neo-liberal.

Tapi bukankah barusan dikatakan bahwa sekarang ini mungkin kita tidak memiliki idea tentang kepahlawanan? Melihat anak-anak muda yang telah menjadi korban-korban depolitisasi dan menjadi individualistis, pragmatis, hedonistis, cengeng, narsistis, alay, sepertinya kita tidak punya harapan lagi. Pada saat yang sama, telah terbukti bahwa burjuasi nasional, sejak Bung Karno, Soeharto, hingga SBY sekarang ini, tidak menyelesaikan revolusi nasional. Bung Karno tidak mampu karena kepemimpinan bonapartis populisnya yang sarat kontradiksi, dengan gagasan revolusi dua tahap yang penuh kebingungan. Soeharto dan presiden-presiden sesudah dia tidak mau dan tidak mampu karena menyelesaikan revolusi nasional karena mereka ber-taklid kepada imperialisme. Sementara negeri ini semakin rusak – dan kerusakannya semakin parah.

Syukurlah kita tidak harus terkurung dalam keputusasaan. Ada suatu kelas yang secara historis “ditakdirkan” untuk mentransformasi masyarakat saat ini, termasuk Indonesia. Kelas itu adalah kelas buruh, yang akhir-akhir ini sedang bangkit kembali dan meregangkan otot-ototnya. Seturut watak kelasnya, hanya kelas inilah yang sanggup menuntaskan revolusi nasional. Bahkan bukan hanya revolusi nasional, tetapi juga revolusi sosial. Adapun penuntasan revolusi nasional itu, oleh kelas buruh, terjadi dengan memasukkan tugas-tugas yang terbengkelai dari revolusi nasional ke dalam revolusi sosialis. Bukan dua tahap revolusi, melainkan penuntasan revolusi nasional di dalam revolusi sosialis.

Kelas buruh adalah faktor subyektif yang menentukan dalam transformasi masyarakat masa kini. Adalah tugas historis kelas buruh untuk mentransformasi masyarakat – dari masyarakat yang bertatanan ekonomi politik kapitalis (yang penuh dengan ketimpangan) menjadi masyarakat yang bertatanan ekonomi politik sosialis (yang berkeadilan, manusiawi, dan demokratis seutuhnya). Transformasi tersebut kita namakan revolusi sosialis. Di Indonesia, syarat obyektif untuk sebuah revolusi sosialis – yang di dalamnya tercakup revolusi nasional – Indonesia sudah matang. Berkat Soeharto dan Orde Baru, Indonesia sudah terintegrasi sepenuhnya ke dalam kapitalisme dunia. Cepat atau lambat, Indonesia akan tersapu oleh krisis ekonomi akut yang sedang melanda pusat-pusat kapitalisme dunia. Dengan demikian, tugas historis kelas buruh sudah terpampang di hadapannya.
Untuk melaksanakan tugas historisnya, kelas buruh membutuhkan radikalisasi. Radikalisasi itu datang dari dua lini yang terkait erat tak terpisahkan: partai pelopor kelas buruh dan sikon ekonomi-politik. Dari lini yang satu, yakni partai pelopor, kelas buruh menerima perspektif, teori, program, dan metode perjuangan yang sejalan dengan kepentingan fundamentalnya, yakni Marxisme. Dari lini yang kedua, yakni sikon ekonomi-politik, kelas buruh akan mengalami lompatan kualitatif dalam kesadaran kelasnya. Sikon ekonomi-politik, khususnya saat terjadi krisis ekonomi yang akut, akan memampukan kelas buruh untuk melihat dengan jelas kebenaran Marxisme dan bergerak untuk melaksanakan tugas-tugas historisnya. Saat krisis akut kapitalisme dunia menghantam Indonesia, saat itulah momentum historicum kelas buruh Indonesia.

Dalam konteks ini kita berbicara tentang partai pelopor, yang tidak lain merupakan alat perjuangan kelas buruh untuk melaksanakan tugas historisnya. Partai pelopor proletariat ini merepresentasikan kesadaran yang paling maju dari kelas buruh. Terdiri dari kader-kader revolusioner yang merupakan elemen-elemen terbaik dari kelas buruh dan kaum muda, partai pelopor proletariat adalah partai kader bergaris massa, partainya kelas buruh, yang selalu siap bergerak karena terus menempa diri dengan disiplin baja dan kerja-kerja politik yang revolusioner.

Melalui partai pelopor ini, kelas buruh akan membangun “blok historis”, yakni mempersatukan kepentingan kelas-kelas dan golongan-golongan tertindas lainnya dalam masyarakat di bawah satu panji perjuangan. Melalui partai ini kelas buruh akan memimpin kelas-kelas dan golongan-golongan tertindas itu untuk mengintervensi “Ibu Pertiwi yang sedang hamil tua” (kondisi obyektif berupa sikon ekonomi-politik yang sedang menuju kebangkrutan karena krisis yang akut dan multidimensional). Intervensi tersebut adalah revolusi, yakni revolusi sosialis.
Melalui revolusi sosialis, kelas buruh (1) mengambilalih kekuasaan dari burjuasi nasional, (2) meruntuhkan struktur-struktur negara borjuis Indonesia dan membangun kembali struktur-strukturnya untuk menjadi negara buruh yang memimpin seluruh rakyat pekerja tertindas; (3) menggulingkan kapitalisme dan melawan imperialisme;  serta (4) mulai membangun tatanan ekonomi-politik dan sosio-politik yang baru dalam sebuah Indonesia Baru, Indonesia yang Sosialis; dan (5) mendorong revolusi-revolusi sosialis di Asia Tenggara dan Pasifik.

Dalam perspektif ini, kepahlawanan kontemporer adalah kepahlawanan yang belajar dari yang telah silam (gagasan “dua tahap revolusi” dan “revolusi belum selesai” yang problematis), berpijak pada yang kontemporer (Indonesia yang neo-kolonial dan neo-liberal), dan berorientasi pada yang nanti (penuntasan revolusi nasional dalam rangka revolusi sosialis). Dalam perspektif revolusioner ini, peran kepahlawanan kontemporer ada pada kelas revolusioner, yakni kelas buruh Indonesia, dan setiap  “kaum revolusioner”, yang tak lain dari tiap-tiap orang yang berkomitmen untuk mendukung kelas buruh Indonesia dalam menunaikan tugas historisnya.

*Diunduh dari militanindonesia.org

No comments:

Post a Comment

Silahkan komen yaa