Oleh : Pandu Jakasurya
Selasa, 12 November 2013
Menurut Oxford Concise Dictionary – Tenth Edition, pahlawan
adalah orang yang dikagumi karena keberanian dan prestasi-prestasinya
yang menonjol. Ada keberanian dan prestasi-prestasi yang menonjol di
satu sisi, ada kekaguman di sisi lain. Keberanian adalah jiwa pahlawan.
Prestasi-prestasi yang menonjol adalah yang “dicetak”-nya. Kekaguman
adalah tanggapan orang lain terhadap keberanian dan prestasi-prestasi
menonjol yang dicetaknya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan dua pengertian.
Pertama, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan
pengorbanannya dalam membela kebenaran. Kedua, pejuang yang gagah
berani. Ada kebenaran yang diyakini di satu sisi. Ada keberanian dan
pengorbanan di sisi lain. Pahlawan berjuang karena meyakini kebenaran
yang dianutnya. Demi kebenaran itu ia berjuang dengan gagah berani. Demi
kebenaran itu juga, bahkan, ia rela berkorban – jiwa-raga dan segala.
Bila kita menerima definisi-definisi yang diberikan oleh kedua kamus
ini, kita bisa dengan aman mengatakan bahwa kepahlawanan (=jiwa
pahlawan) bersifat lintas zaman. Kepahlawanan tidak hanya dibutuhkan di
masa silam, sebutlah saat bangsa Indonesia berjuang merebut dan
mempertahankan kemerdekaan – termasuk Pertempuran Surabaya 10 November
1945. Kepahlawanan juga dibutuhkan hic et nunc, berpuluh-puluh
tahun setelah bangsa Indonesia “merdeka.” Dengan demikian, adalah sah
bila kita berbicara tentang kepahlawanan kontemporer.
Persoalannya, sekali kita berbicara tentang kekontemporeran, paling
sedikit ada tiga hal yang perlu kita cermati. Pertama, kontinuitas yang
kontemporer dengan yang “telah silam.” Kedua, kekhasan yang kontemporer
itu sendiri. Ketiga, ke mana yang kontemporer itu bergulir. Ketiga hal
ini jalin-menjalin.
Dari yang “telah silam” kita bisa belajar tentang “kebenaran” yang
ditindaklanjuti dengan perjuangan oleh para pahlawan. Dari yang “telah
silam” kita juga bisa melihat sejauh mana yang kontemporer itu sejalan
atau tidak sejalan dengan “kebenaran” tersebut sembari meraba
kemungkinan adanya kebenaran-kebenaran lain yang seharusnya
diperjuangkan.
Di sini kita perlu berpikir historis: konteks-konteks yang berbeda,
yakni yang”telah silam” dan yang kontemporer secara wajar membentuk
kontinuitas dan/atau diskontinuitas perjuangan dan kepahlawanan. Dari
kajian atas kontinuitas dan/atau diskontinuitas itu kita berharap bisa
mencandra arah yang akan ditempuh bangsa Indonesia.
Yang Telah Silam
Dalam Mentjapai Indonesia Merdeka, misalnya, Bung Karno
menyebut kemerdekaan sebagai jembatan emas. Ada dua sikon yang
dihubungkan oleh jembatan tersebut. Sikon yang pertama, yang di sini,
adalah “alam penjajahan.” Sikon yang kedua, yang di seberang sana,
adalah “alam kemerdekaan.” Di “alam penjajahan” yang memerintah adalah
penguasa kolonial, penjajah, bangsa asing. Di “alam kemerdekaan” yang
memerintah adalah penguasa “bumiputera”, bangsane dhewe.
Berjuang dengan mengatasnamakan kaum Marhaen (“wong cilik”), yang
disebutnya meliputi bagian terbesar bangsa Indonesia, Bung Karno
mengidentifikasi alam penjajahan sebagai alam kesusahan bagi kaum
Marhaen. Ia tidak rela kaum Marhaen hidup dengan satu benggol (2½ sen)
sehari. Ia ingin kaum Marhaen hidup sejahtera, makmur, sentosa.
Menurut Bung Karno, akar kemalangan kaum Marhaen adalah kapitalisme
dan imperialisme. (Bila kita menggunakan tesis V.I. Lenin, imperialisme
adalah tahapan tertinggi dari kapitalisme. Imperialisme adalah
konsekuensi historis dari kapitalisme.) Karena itu, kapitalisme dan
imperialisme harus dilenyapkan dari bumi Indonesia.
Pertama-tama yang harus dilenyapkan adalah imperialisme. Itu berarti
kaum Marhaen, dalam persatuan dengan kaum feodal dan kaum borjuis
nasional Indonesia, harus mengakhiri penjajahan Belanda dan mendirikan
negara Indonesia Merdeka. Dengan jalan itu, beralihlah bangsa Indonesia
dari alam penjajahan ke alam kemerdekaan.
Di alam kemerdekaan, kaum Marhaen harus memegang kekuasaan supaya
biasa melenyapkan kapitalisme dan membangun sosialisme. Jika tidak, di
alam kemerdekaan pun kaum Marhaen tetap sengsara, tak ubahnya dengan
hidup di alam penjajahan. Di “seberang jembatan emas” ada dua
kemungkinan nasib bagi kaum Marhaen: hidup sejahtera, makmur, sentosa
atau terus hidup dalam kemelaratan. Dengan kata lain, kemerdekaan tidak
menjamin keselamatan kaum Marhaen. Tapi kemerdekaan mutlak perlu bagi
kaum Marhaen untuk bisa mewujudkan cita-citanya, sosialisme (dengan
imbuhan “a la Indonesia”).
Jadi ada dua tahap perjuangan menurut Bung Karno. Tahap pertama
perjuangan kemerdekaan dan tahap yang kedua perjuangan sosialisme. Yang
pertama adalah revolusi nasional, yang kedua adalah revolusi sosial.
Revolusi nasional bertujuan untuk mendirikan negara Indonesia yang
merdeka dan berdaulat. Kelak, Bung Karno merumuskan tujuan revolusi
nasional dalam butir pertama Amanat Penderitaan Rakyat: NKRI yang
berdaulat penuh dari Sabang sampai Merauke. Kelak dalam Trisakti ia
merumuskannya lebih jauh: Berdaulat penuh secara politik, berdikari
secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Revolusi sosial bertujuan untuk mendirikan negara Indonesia yang
tidak hanya merdeka dan berdaulat, tetapi juga adil dan makmur. Kelak,
dalam butir kedua dan ketiga Amanat Penderitaan Rakyat ia merumuskan:
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dan berjuang demi dunia baru
yang bebas dari penghisapan manusia oleh manusia dan penghisapan bangsa
yang satu oleh bangsa yang lain (exploitation de l’homme par l’homme dan exploitation de nation par nation).
Bagi Bung Karno, revolusi nasional dan revolusi sosial merupakan arus
yang tidak terputus. Bahkan revolusi nasional belum selesai dengan
penyerahan kedaulatan sebagaimana terukir dalam Konferensi Meja Bundar
1949. Toh Republik Indonesia “hanyalah” satu negara dalam Republik
Indonesia Serikat. Toh RIS adalah bagian dari uni Indonesia-Belanda,
yang mengakui kewibawaan Ratu Belanda sebagai kewibawaan tertinggi. Toh
Indonesia harus membayar biaya yang dikeluarkan Negeri Belanda untuk
memerangi rakyat Indonesia dalam rangka mengembalikan kolonialisme di
Indonesia. Toh perusahaan-perusahaan Belanda masih teguh sentosa di
Indonesia. Toh Irian Barat masih dikuasai Belanda. Revolusi nasional
sama sekali belum selesai. Kelak Bung Karno berkata-kata tentang the summing up of many revolutions in Indonesian Revolution.
Revolusi Indonesia adalah sebuah revolusi pancamuka, katanya, yang
meliputi revolusi di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, dan
sebagainya.
Bung Hatta tidak sependapat dengan Bung Karno soal revolusi yang
belum selesai. Bagi Bung Hatta, dengan tercapainya penyerahan kedaulatan
dalam bingkai Republik Indonesia Serikat, revolusi sudah selesai.
Sekarang bangsa Indonesia memasuki era pembangunan nasional, bukan
revolusi yang terus berlanjut. Kelak, dengan tergulingnya Bung Karno dan
Demokrasi Terpimpin serta berkuasanya Jenderal Soeharto dan Orde Baru
(yang merupakan varian dari Demokrasi Terpimpin dengan pergeseran dari
Bonapartisme-populis [Bung Karno] ke Bonapartisme-fasis [Soeharto]),
posisi Bung Hatta “menang”. Orde Baru menyatakan revolusi (yang dibatasi
pada “Revolusi Fisik” atau “Revolusi Kemerdekaan” 1945-1949) sudah
selesai, dan mencanangkan pembangunan nasional (dengan berkiblat dan
bergantung kepada imperialisme).
Salah satu persoalan krusial dalam tesis Bung Karno tentang dua tahap revolusi (yang dalam tulisannya, Kepada Bangsaku,
jelas-jemelas bercorak Stalinis) dan “revolusi belum selesai” (yang
kedengaran mirip dengan tesis Trotsky, Revolusi Permanen, namun
sesungguhnya jauh panggang dari api, dan mungkin boleh kita namakan pseudo-Trotskyism) adalah persoalan kepemimpinan revolusioner.
Memang Bung Karno, dalam Mentjapai Indonesia Merdeka,
menegaskan bahwa kepemimpinan revolusioner harus ada pada kaum Marhaen,
baik dalam tahapan revolusi nasional maupun tahapan revolusi sosial.
Akan tetapi tidak dijelaskannya bagaimana Marhaen memegang dan
melaksanakan kepemimpinan revolusioner itu.
Bung Karno memang berkata-kata tentang partai pelopor (vanguard party)
dengan cara yang mengingatkan kita pada tesis Lenin, termasuk tentang
sentralisme-demokratik. Tapi, toh konsep Bung Karno berbeda dengan
konsep Lenin. Bagi Lenin, partai pelopor adalah partainya proletariat,
representasi dari kesadaran yang paling maju dari proletariat. Partai
pelopor ini diawaki oleh kaum revolusioner profesional, yang terdidik
sebagai kader-kader yang berasal dari elemen-elemen terbaik proletariat.
Dengan kata lain, partai pelopor a la Lenin adalah partai kader yang
hidup dalam kontak yang intens dengan massa, yakni massa proletariat.
Dalam momentum revolusioner, partai pelopor ini akan memobilisasi massa
untuk melaksanakan tugas-tugas revolusionernya. Dalam konteks ini
berlaku prinsip sentralisme-demokratik: kebebasan tiap-tiap anggota
untuk berpendapat dan bersilang pendapat seorang dengan yang lain
tentang suatu pokok strategis tertentu (demokrasi) dan kesatuan gerak
langkah dan aksi setelah keputusan tentang pokok strategis itu diambil
secara demokratis (sentralisme).
Di lain pihak, partai pelopor Bung Karno adalah wadah perjuangan bagi
semua kelas dan golongan yang menghendaki kemerdekaan Indonesia menurut
asas perjuangan non-kooperasi. Partai tersebut akan memimpin semua
kelas dan golongan itu untuk memenangkan kemerdekaan Indonesia. Partai
pelopor Bung Karno bukan partai kader, melainkan partai massa.
Sentralisme demokratik berarti pemusatan kekuasaan dalam tangan pimpinan
partai, yang memungkinkannya menendang anggota-anggota yang mulai
menyimpang dan mengingkari disiplin partai, serta memberikan komando
kepada segenap anggota dan massa rakyat.
Lantas siapakah pimpinan partai itu? Seorang pemimpin besar, yang
kelak berjuluk Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno sendiri. Sang
pemimpin besar adalah seorang bapak yang maha-bijak bagi orang-orang
yang dipimpinnya. Ia memberi kesempatan kepada tiap-tiap orang untuk
berbicara, mengemukakan pendapat tentang suatu pokok strategis tertentu.
Kemudian ia membuat sintesis dari berbagai pendapat: tidak seorang pun
yang pendapatnya diterima sepenuhnya, tidak seorang pun yang pendapatnya
ditolak sepenuhnya. Bung Karno menyebutnya musyawarah (untuk mufakat).
Kelak, dalam rumusan sila keempat Pancasila kita membaca “kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.” Bung Karno sendiri kelak menamainya
“Demokrasi Terpimpin.” Bung Karno menjadi bonapartis populis.
Dalam kenyataannya, kepemimpinan revolusioner ala Bung Karno tidak
berhasil menuntaskan revolusi nasional, apalagi revolusi sosial.
Kepemimpinannya yang bercorak bonapartis populis itu memuat kontradiksi
kelas. Kelas feodal dan kelas borjuis nasional (yang terwakili dalam
partai-partai borjuis yang berbasis agama dan yang berbasis non-agama
serta Militer) bersatu kepentingan melawan kelas buruh dan kaum tani
(yang terwakili dalam PKI dan ormas-ormas yang menjadi onderbouw
atau sekutunya). Imperialisme, yang melihat kepentingannya sejalan
dengan kepentingan kelas feodal dan kelas borjuis nasional, berkali-kali
melakukan subversif – dan akhirnya menang dengan hancurnya PKI,
tergulingnya Bung Karno, dan berdirinya Orde Baru.
Dari perspektif ini, kita mendapati kepahlawanan yang terpenggal
dengan berakhirnya revolusi nasional (yang tidak sempat bertransformasi
menjadi revolusi sosial). Selanjutnya, menurut pendapat saya,
kepahlawanan harus turun ke bawah tanah karena represi yang luar biasa
di satu sisi dan ilusi masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila
di sisi lain – yang dua-duanya digelar oleh Soeharto dan Orde Baru-nya.
Kepahlawanan dalam perspektif “revolusi belum selesai” seperti sirna ilang kertaning bhumi.
Sebagai gantinya Orde Baru menggagas “pahlawan pembangunan”, pahlawan
setelah revolusi berakhir (dihentikan paksa), atau pahlawan tanpa
perspektif revolusioner. Dengan kata lain, pahlawan yang mengukuhkan
kontra-revolusi Orde Baru.
Yang Kini
Soeharto mengambilalih Demokrasi Terpimpin-nya Bung Karno dan
memodifikasinya menjadi Demokrasi Pancasila. Gagasan Bung Karno tentang
partai pelopor yang menjadi partai (tunggal) negara dengan
sentralisme-demokratik pelintiran juga diadopsi Soeharto dengan membuat
Golkar menjadi partai negara dan menyederhanakan partai-partai sekuler
dan Islam menjadi dua partai aksesoris Demokrasi Pancasila. Jelas,
Soeharto memainkan peran bonapartis. Tapi bukan bonapartis populis,
melainkan bonapartis fasis. Ia memberi tempat yang sangat menentukan
pada militer, khususnya Angkatan Darat. Sebab Orde Baru mengemban mission sacre
menyelamatkan kapitalisme Indonesia yang hampir ambruk (yang dituduhkan
kepada Bung Karno karena telah membuat politik menjadi panglima
kehidupan berbangsa dan bernegara), mengintegrasikan
kapitalisme-pinggiran Indonesia ke dalam kapitalisme dunia dengan relasi
patron-klien, dan menjamin komunisme tetap berada di liang kubur.
Mission sacre ini berlangsung dalam konteks Perang Dingin,
AS dan NATO yang kapitalistik (“demokratis”) versus Uni Soviet dan Pakta
Warsawa yang komunistik (“totalitarian”). Dua tugas pertama dari mission sacre
Orde Baru adalah menjamin Indonesia untuk benar-benar menjadi “hadiah
terbesar di Pasifik” bagi imperialisme yang dikomandani AS. Indonesia
menjadi pemasok bahan mentah, penyedia tenaga kerja murah, pasar
produk-produk imperialis, dan lahan investasi yang sangat menguntungkan.
Tugas yang ketiga adalah menjaga Indonesia dari kemungkinan bangkitnya
komunisme, yang sudah barang tentu akan merugikan kepentingan
ekonomi-politik imperialis di Indonesia.
Untuk menjalankan mission sacre itu, Orde Baru menampilkan
diri sebagai Negara Kesejahteraan Berwajah Leviathan. Dengan jalan itu
ia bermaksud mengubur untuk selamanya Demokrasi Terpimpin yang
distigmatisasinya menyengsarakan rakyat, melumpuhkan Komunisme, menjamin
dukungan negeri-negeri imperialis, dan mengokohkan kekuasaannya.
Kemelaratan dan kesengsaraan yang tidak tertanggungkan oleh rakyat
Indonesia akhirnya meledak ke permukaan. Pada 1998, Soeharto lengser.
Kekuatan revolusioner kaum muda dan rakyat tertindas yang meledak-ledak
hampir saja menggulingkan seluruh tatanan kekuasaan. Seluruh kelas
penguasa di Indonesia serta imperialisme melakukan manuver, yakni dengan
meminta Soeharto turun agar meredakan kemarahan rakyat karena posisi
Soeharto sebagai Presiden sudah tidak bisa lagi dipertahankan di bawah
tekanan massa yang semakin besar. Guna menyelamatkan seluruh tatanan
kapitalisme di Indonesia, Soeharto harus turun dan sejumlah konsensi
demokratis harus diberikan. Revolusi di Indonesia pun akhirnya berhasil
diarahkan ke jalur yang aman.
Secara fundamental, tidak ada perubahan di dalam karakter rejim yang
berkuasa hari ini dengan rejim Orde Baru. Walau rakyat memenangkan
sejumlah reforma demokratis, kekuasaan masih dipegang erat oleh kaum
kapitalis, kaum birokrat, dan militer. Perekonomian Indonesia masih
kapitalistik, yang terintegrasi dengan kapitalisme dunia, di mana kita
terutama menjadi pengekspor bahan mentah, penyedia buruh berupah murah,
pasar raksasa bagi produk-produk jadi perusahaan-perusahaan
transnasional yang bermarkas besar di negeri-negeri kapitalis maju, dan
lahan investasi perusahaan-perusahaan transnasional tersebut.
Secara sosial-budaya negeri kita berada dalam krisis
budaya. Di satu sisi kita semakin tidak menampakkan diri sebagai suatu
bangsa yang berkepribadian dalam kebudayaan. Bentuk-bentuk budaya
populer komersial yang datang dari negeri-negeri yang secara
ekonomi-politik lebih kuat daripada kita membanjiri negeri kita tanpa
ampun. Generasi muda kita yang kebanyakan tumbuh dalam konstruksi sosial
yang apolitik menjadi reseptor utama dari filosofi, nilai-nilai,
mentalitas, dan gaya hidup yang digelontorkan oleh bentuk-bentuk budaya
komersial itu. Celakanya, bentuk-bentuk budaya populer komersial berikut
filosofi, nilai-nilai, mentalitas, dan gaya hidup yang dibawanya,
dijiplak dan dilipatgandakan secara masif oleh para borjuis industri
budaya populer komersial Indonesia. Generasi muda yang sudah mengalami
depolitisasi sehingga apolitis sekarang diberi bentuk oleh budaya
populer komersial baik oleh industrialis mancanegara maupun oleh
industrialis nasional. Hasilnya adalah kaum muda yang individualistis,
pragmatis, hedonistis, cengeng, narsistis, alay…
Di sisi lain, korupsi merajalela. Sogok-suap di mana-mana. Pejabat
negara, baik yang duduk di pemerintahan, parlemen, maupun lembaga
yudisial, juga para pengusaha, pegawai birokrasi negara (PNS), polisi,
dan sebagainya, tidak ada yang kebal. Telaah Histomat (Materialisme
Historis) atas gejala sosial-budaya yang satu ini mengajak kita untuk
melihat dengan jujur cacat moral kelas borjuis nasional kita.
Dalam telaah Histomat, kelas borjuis nasional mengidap “kerusakan kodrat” atau total depravity.
Sebab-musababnya ditemukan dalam kelahiran dan pembentukan burjuasi
nasional itu sendiri. Berbeda dengan negeri-negeri yang sudah lebih dulu
menjadi negeri-negeri kapitalis, burjuasi nasional kita lahir dari
“perkawinan haram” Kolonialisme dan Feodalisme. Kolonialisme bangsa
Barat-kapitalis atas Nusantara adalah konsekuensi dari perkembangan
kapitalisme. Trilogi kapitalisme, yakni eksploitasi, akumulasi, dan
ekspansi, bermuara pada kolonialisme. Di Nusantara, bangsa
Barat-kapitalis menerapkan trilogi kapitalisme dengan sangat efisien.
Mereka “bekerjasama” (=memanfaatkan) kekuasaan kaum feodal Nusantara
untuk mendapatkan lahan dan tenaga kerja murah. Mereka memberi “komisi”
kepada para penguasa feodal tiap kali penguasa-penguasa feodal itu
berhasil memenuhi pesanan mereka. Inilah cikal bakal “budaya” suap dan
korupsi yang sekarang hidup di bumi Indonesia. Dari “perkawinan haram”
inilah muncul kelas borjuis nasional – yang korup, komprador (menghamba
kepada imperialis dan kejam kepada rakyatnya sendiri),
kapitalis-birokrat, dan kapitalis-kroni (oligarki).
Dalam konteks seperti ini, “kepahlawanan kontemporer” sepertinya
merupakan ilusi. Bung Karno bicara tentang kepahlawanan dalam konteks
revolusi yang belum selesai. Soeharto bicara tentang kepahlawanan dalam
konteks revolusi yang (dipaksa) selesai. Sekarang barangkali kita tidak
memiliki idea apapun tentang kepahlawanan.
Yang Nanti
Perspektif kita tentang kepahlawanan adalah revolusioner. Kita
percaya bahwa revolusi Indonesia belum selesai. Sebab kita belum pernah
menuntaskan revolusi nasional (yang bercorak borjuis), lebih-lebih
revolusi sosialis (yang bercorak proletariat)! Apalagi sekarang negeri
ini sedang berada dalam orbit imperialisme, menjadi negeri neo-kolonial
dan neo-liberal.
Tapi bukankah barusan dikatakan bahwa sekarang ini mungkin kita tidak
memiliki idea tentang kepahlawanan? Melihat anak-anak muda yang telah
menjadi korban-korban depolitisasi dan menjadi individualistis,
pragmatis, hedonistis, cengeng, narsistis, alay, sepertinya
kita tidak punya harapan lagi. Pada saat yang sama, telah terbukti bahwa
burjuasi nasional, sejak Bung Karno, Soeharto, hingga SBY sekarang ini,
tidak menyelesaikan revolusi nasional. Bung Karno tidak mampu karena
kepemimpinan bonapartis populisnya yang sarat kontradiksi, dengan
gagasan revolusi dua tahap yang penuh kebingungan. Soeharto dan
presiden-presiden sesudah dia tidak mau dan tidak mampu karena
menyelesaikan revolusi nasional karena mereka ber-taklid kepada imperialisme. Sementara negeri ini semakin rusak – dan kerusakannya semakin parah.
Syukurlah kita tidak harus terkurung dalam keputusasaan. Ada suatu
kelas yang secara historis “ditakdirkan” untuk mentransformasi
masyarakat saat ini, termasuk Indonesia. Kelas itu adalah kelas buruh,
yang akhir-akhir ini sedang bangkit kembali dan meregangkan
otot-ototnya. Seturut watak kelasnya, hanya kelas inilah yang sanggup
menuntaskan revolusi nasional. Bahkan bukan hanya revolusi nasional,
tetapi juga revolusi sosial. Adapun penuntasan revolusi nasional itu,
oleh kelas buruh, terjadi dengan memasukkan tugas-tugas yang
terbengkelai dari revolusi nasional ke dalam revolusi sosialis. Bukan
dua tahap revolusi, melainkan penuntasan revolusi nasional di dalam revolusi sosialis.
Kelas buruh adalah faktor subyektif yang menentukan dalam
transformasi masyarakat masa kini. Adalah tugas historis kelas buruh
untuk mentransformasi masyarakat – dari masyarakat yang bertatanan
ekonomi politik kapitalis (yang penuh dengan ketimpangan) menjadi
masyarakat yang bertatanan ekonomi politik sosialis (yang berkeadilan,
manusiawi, dan demokratis seutuhnya). Transformasi tersebut kita namakan
revolusi sosialis. Di Indonesia, syarat obyektif untuk sebuah revolusi
sosialis – yang di dalamnya tercakup revolusi nasional – Indonesia sudah
matang. Berkat Soeharto dan Orde Baru, Indonesia sudah terintegrasi
sepenuhnya ke dalam kapitalisme dunia. Cepat atau lambat, Indonesia akan
tersapu oleh krisis ekonomi akut yang sedang melanda pusat-pusat
kapitalisme dunia. Dengan demikian, tugas historis kelas buruh sudah
terpampang di hadapannya.
Untuk melaksanakan tugas historisnya, kelas buruh membutuhkan
radikalisasi. Radikalisasi itu datang dari dua lini yang terkait erat
tak terpisahkan: partai pelopor kelas buruh dan sikon ekonomi-politik.
Dari lini yang satu, yakni partai pelopor, kelas buruh menerima
perspektif, teori, program, dan metode perjuangan yang sejalan dengan
kepentingan fundamentalnya, yakni Marxisme. Dari lini yang kedua, yakni
sikon ekonomi-politik, kelas buruh akan mengalami lompatan kualitatif
dalam kesadaran kelasnya. Sikon ekonomi-politik, khususnya saat terjadi
krisis ekonomi yang akut, akan memampukan kelas buruh untuk melihat
dengan jelas kebenaran Marxisme dan bergerak untuk melaksanakan
tugas-tugas historisnya. Saat krisis akut kapitalisme dunia menghantam
Indonesia, saat itulah momentum historicum kelas buruh Indonesia.
Dalam konteks ini kita berbicara tentang partai pelopor, yang tidak
lain merupakan alat perjuangan kelas buruh untuk melaksanakan tugas
historisnya. Partai pelopor proletariat ini merepresentasikan kesadaran
yang paling maju dari kelas buruh. Terdiri dari kader-kader revolusioner
yang merupakan elemen-elemen terbaik dari kelas buruh dan kaum muda,
partai pelopor proletariat adalah partai kader bergaris massa, partainya
kelas buruh, yang selalu siap bergerak karena terus menempa diri dengan
disiplin baja dan kerja-kerja politik yang revolusioner.
Melalui partai pelopor ini, kelas buruh akan membangun “blok
historis”, yakni mempersatukan kepentingan kelas-kelas dan
golongan-golongan tertindas lainnya dalam masyarakat di bawah satu panji
perjuangan. Melalui partai ini kelas buruh akan memimpin kelas-kelas
dan golongan-golongan tertindas itu untuk mengintervensi “Ibu Pertiwi
yang sedang hamil tua” (kondisi obyektif berupa sikon ekonomi-politik
yang sedang menuju kebangkrutan karena krisis yang akut dan
multidimensional). Intervensi tersebut adalah revolusi, yakni revolusi
sosialis.
Melalui revolusi sosialis, kelas buruh (1) mengambilalih kekuasaan
dari burjuasi nasional, (2) meruntuhkan struktur-struktur negara borjuis
Indonesia dan membangun kembali struktur-strukturnya untuk menjadi
negara buruh yang memimpin seluruh rakyat pekerja tertindas; (3)
menggulingkan kapitalisme dan melawan imperialisme; serta (4) mulai
membangun tatanan ekonomi-politik dan sosio-politik yang baru dalam
sebuah Indonesia Baru, Indonesia yang Sosialis; dan (5) mendorong
revolusi-revolusi sosialis di Asia Tenggara dan Pasifik.
Dalam perspektif ini, kepahlawanan kontemporer adalah kepahlawanan
yang belajar dari yang telah silam (gagasan “dua tahap revolusi” dan
“revolusi belum selesai” yang problematis), berpijak pada yang
kontemporer (Indonesia yang neo-kolonial dan neo-liberal), dan
berorientasi pada yang nanti (penuntasan revolusi nasional dalam rangka
revolusi sosialis). Dalam perspektif revolusioner ini, peran
kepahlawanan kontemporer ada pada kelas revolusioner, yakni kelas buruh
Indonesia, dan setiap “kaum revolusioner”, yang tak lain dari tiap-tiap
orang yang berkomitmen untuk mendukung kelas buruh Indonesia dalam
menunaikan tugas historisnya.
*Diunduh dari militanindonesia.org
No comments:
Post a Comment
Silahkan komen yaa