Sarah,
istriku yang rupawan. Pemikat lelaki bujang juga lelaki beranak. Tingginya
semampai dan lurus hitam rambutnya melambai. Putih kulitnya sepadan langsing
tubuhnya. Siapa pun setuju dia wanita terbaik di kampungnya. Bunga desa
katanya. Sarah, yang kupinang dari rayuan jejaka, memeranjatkan dirinya dalam
pelukan kasihku. Terpana ia melihatku. Tertegun ia mendengarku bicara. Merah
merekah malu wajahnya kala kupuji sejuta kembang. Sarah istriku, yang begitu
meneduhkan ini juga terkadang cemberut dan cerewet bila ia terpancing gossip
tetangga sekitar rumah.
“Makanya
mas, kuliah itu sampe selesai. Jangan setengah-setengah. Yang ada keluarga
susah. Istri mau beli sepatu baru, susah. Mau ini susah.” Sarah ngomel-ngomel.
Sudah begini, aku tahu ia baru saja berkumpul sama ibu para tetangga kami.
Walaupun tidak terlalu serius, tetap saja kadang membikin jengkel sekaligus
lucu melihatnya. Bayi kami di gendongan kainnya, di pinggir pinggangnya ia
pegang sebuah ember pakaian siap jemur.
Aku
yang mendengar perkataannya diam saja. Kusulut juga rokokku, seolah tak
memperhatikannya. Di beranda belakang rumah ini biasanya kami menyantap udara
pagi. Dari semenjak pertama bermesraan, hingga bergelut amarah satu sama lain. Sarah
istriku, biarpun marah begitu tetap saja cantik. Beranjak lah aku menuju dirinya
yang sedang menjemur kain batik kesayangannya. Kupeluk dia dari belakang,
kukecup leher putihnya. Ia diam saja sambil tetap menjemur pakaian. Kali ini ia
menunduk mengambil satu potong pakaian lainnya.
“Ini
gendong,” katanya sambil menyerahkan anak kami, Ansenat. Putri kami yang begitu
cantik. Ansenat adalah nama pilihanku. Aku sendiri mengagumi Ansenat, istri
pertama dari seorang nabi Yusuf. Awalnya aku ingin memilih Zulaikha, namun,
kiranya sudah banyak nama Zulaikha di dunia ini. Tidak dengan Ansenat.
Kugendong
anakku, kutimang-timang. Kubiarkan matahari membelainya. Pelan kudengar suara
kecilnya mengoek-ngoek. Kucium lah anakku. Cintaku luar biasa padanya.
“Mas,
mau sarapan apa?” Tanya istriku yang sepertinya sudah melupakan omelannya.
“Apa
aja ma,” jawabku sambil menuju kursi berbentuk setengah dipan yang teranyam
dari bamboo.
“Ini
mas. Makanlah dulu.” Ia menyerahkan semangkuk bubur ayam kesukaanku. Dengan
tambahan ikan teri sambal yang diaduknya bersama bubur.
“uuh,
uuh anakku. Buah hatiku. Si cantik Ansenat…. Ciluk baa.. Ciluk baa.” Lalu kini
ia bermain bersama anakku, anak kami. Sedang Ansenat setengah tertawa kecil.
Senyumnya pun membikin aku gemas. Sambil mengunyah, kucubit pelan pipinya yang
tembem.
“Mas
gak mau lamar kerja lagi? Saya bisa minta bapak cariin posisi untuk mas.”
“Hmm.
Kerja jadi perangkat desa? “
“Iya
mas, lumayan juga gajinya. Daripada mas terus menerus nulis. Tapi, penghasilan
juga gak tetap mas. Ya tapi juga terserah mas.” Katanya. Perkataan yang biasa
diucapkan oleh jutaan istri dari suami pekerja serabutan atau pengangguran.
“Enggak
lah, ma.” Kataku beranjak bangkit dan meletakkan mangkuk bubur yang sudah
kulahap habis ke dapur.
“Toh,
kamu mau belanja masih bisa kukasih uang. Masih bisa aku kasih makan keluarga
ini. Kita toh enggak kelaparan,” sambungku sambil bersandar dinding di sebelah
Sarah dan anakku.
“Iya
mas. Tapi untuk hari-hari depan? Anak semakin besar nanti semakin banyak
kebutuhannya. Ini masih kecil, belum terasa bebannya. Pikirkan itu mas. Sudah
mas, jaga Ansenat. Aku mandi dulu.” Maka bergegaslah Sarah menuju dalam rumah.
Lalu aku bermanja-manja dengan anakku, intan berlian jiwaku.
Aku
memang tidak bekerja pada suatu perusahaan. Tidak memiliki pekerjaan tetap. Aku
tidak lulus kuliah, karena aku memang enggan. Boleh jadi aku berbangga karena
itu. Toh aku membuktikan bahwa tanpa gelar sarjana pun aku masih bisa memiliki
rumah berukuran sedang, tidak berada di pinggiran, dalam kondisi baik, meski
hanya sewaan. Masih juga aku memiliki satu sepeda motor, walau hanya kreditan.
Masih bisa juga aku menafkahi keluargaku. Setidaknya tak dilihat orang
keluargaku dalam susah secara materi. Walaupun Sarah berkeras ingin aku bekerja
sebagai pegawai atau karyawan. Ah, aku tidak seperti itu.
Bagiku
pekerjaan adalah pengabdian. Aku cinta seni. Aku cinta sastra. Maka pekerjaan
terbaikku adalah menjadi seniman. Ini sumber hidupku. Penafkah aku dan keluargaku,
lahir dan batin. Selama ini aku memiliki pendapatan melalui buku yang sudah
kutulis. Aku aktif menulis. Terutama novel dan cerpen. Kadang juga diundang
menjadi pembicara pada seminar-seminar, menjadi juri perlombaan karya sastra
dan banyak kegiatan profit maupun non profit sastra lainnya. Awal pernikahanku
dengan Sarah, aku tidak memiliki pendapatan, meski memiliki tabungan dari hasil
kerja serabutan selama membujang. Awalnya aku juga khawatir dengan tidak adanya
pekerjaan. Memikirkan bagaimana aku harus menafkahi keluarga kecilku.
Memikirkan biaya kebutuhan sehari-hari. Berkutat dengan pokok masalah klasik
jutaan keluarga Indonesia berperekonomian sulit. Terkadang mengherankan,
bagaimana mungkin bangsa dengan kekayaan alam melimpah dihuni oleh
masyarakatnya yang miskin. Tertinggal dari peradaban dan kemajuan bangsa lain.
Meski tak dapat kuelakkan; tertinggal karena dijajah terus menerus. Dari jaman
Hindia Belanda hingga jaman kebebasan. Heh, jaman kebebasan katanya!?
Satu
yang paling kupikirkan adalah keluarga miniku ini. Sungguh tak rela aku melihat
Sarah dan Ansenat hidup dalam kekurangan. Sungguh tak ingin kulihat mereka
merasakan lapar. Sungguh tak ingin kulihat mereka merasa tertinggal ilmu
pengetahuan. Karena nadiku sesungguhnya mereka berdua. Sarahku yang cantik.
Ansenatku yang jelita.
Tak
ada yang menduga aku menjadi pasangan sejoli bersama Sarah. Seorang gadis desa
anak seorang Kepala Desa. Perkenalanku dengannya barangkali memang takdir yang
indah. Berawal dari acara yang digelar oleh ayahnya, seorang Kades yang cinta
seni, bapak Rianto. Beliau menginginkan adanya acara seni di desanya, tepat
seminggu setelah Ia dilantik sebagai Kades, setelah sebelumnya menjadi Sekdes.
Mulai lah perangkat desa menemui komunitas sastraku. Melalui perangkat desa
disampaikan, Pak Rianto berniat mengadakan pagelaran sastra musikalisasi puisi
dan festival puisi di desanya. Sungguh amat jarang seorang Kades mau menggelar
acara demikian, di tengah maraknya acara dangdut koplo yang mengumbar
sensualitas naïf. Gagasan awalnya pun begitu sederhana, namun begitu kokoh.
Mertuaku yang kukagumi ini menginginkan adanya budaya gotong royong di desanya
yang semakin terkikis. Ia ingin seni menjadi media reinkarnasi kebiasaan turun
temurun ini. Sebuah gagasan yang oleh aku dan teman-temanku sangat antusias.
“Sudah
30 tahun bapak mengabdi di desa ini. Dari mulai awal nikah sampai sekarang.
Dari seorang kuli hingga menjadi Kades. Harapan bapak cuma satu, paguyuban desa
yang kokoh. Hidup secara rukun,” sambutnya ketika menerima komunitasku awal
jumpa dulu.
“Jaman
bapak kecil, kebiasaan gotong royong sudah begitu mendarah daging. Semakin
kesini, semakin bapak lihat semua menjadi individualis. Bapak jadi khawatir
budaya ini hilang, budaya nenek moyang kita.”
“Bapak
ini dulu sekolah sampai SMP. Tapi, jangan kira bapak lepas dari sastra. Bapak
ini anak seorang seniman. Menulis puisi atau cerpen, sudah biasa. Tak pernah
sedikit pun bapak tinggalin sastra ini, nak.” Baru kutahu beliau adalah anak
mendiang Haris Da Vinci. Seorang pelukis sekaligus seorang penulis kenamaan
kota ini. Namanya begitu melegenda di sini. Sungguh keajaiban bertemu dengan
titisannya. Walaupun tak sehebat Haris Da Vinci.
“Daripada
kita menggelar acara dangdut koplo. Menampilkan pedangdut seksi belaka. Ah,
yang ada kita lihat anak kecil jadi rusak pikirannya. Pemuda pun jadi hobi
minum arak demi joget gak jelas. Gak maju,” lanjutnya sambil tertawa miris.
Begitu
lah akhirnya, hingga Sarah anak nomor duanya itu ikut mendampingi kerjaku
menggelar acara pagelaran seni puisi itu. Hingga muncul ketertarikanku pada
Sarah. Orang bilang, sangat banyak laki-laki berusaha meminangnya. Mulai dari
anak Kades tetangga, tuan tanah, pedagang kaya hingga anak Walikota pun pernah
berusaha merebut mahkota cucu seniman terkenal itu. Hanya aku lah, yang
bermodal nekat dan kedekatanku dengan Pak Rianto, bisa meminangnya. Dengan
resepsi pernikahan yang amat sangat sederhana, menikah lah kami dengan harapan
yang tak terbayang. Walau kutahu, betapa bahagianya Pak Rianto bahwa aku lah
yang menjadi pendamping hidup Sarah. Dia berkata:
“Orang
bilang, hidup dengan seniman itu gak ada untungnya. Makan susah, hidup gak
pasti, godaan banyak. Tapi, sedikit yang tahu, romantisme bersama seorang
seniman tak terkira nilainya. Membikin jantung berdebar membuncah-buncah.
Hehehe..” tertawa kecil ayah mertuaku ini kala selesai acara pernikahan. Seraya
melanjutkan, ”selalu bapak lihat almarhumah ibu bapak ini hidup dalam bahagia,
walau ia tahu sulit makan enak. Maklum, bapaknya bapak selalu pandai
menyenangkan ibu. Hahaha.” Kali ini tawanya lepas.
***
Suatu
hari temanku datang ke rumah. Hendri namanya. Seorang editor kawakan yang telah
beribu kali melahap naskah penulis-penulis, indie atau terkemuka. Seharusnya ia
membawa kabar gembira.
“Bang,
ada yang baru?” Tanyanya setelah basa-basi dengan segelas kopi penyambut.
“Waduh,
ini lagi proses. Aku sendiri belum tahu lagi kapan selesai. Bisa tunggu barang 3
bulan lagi?”
“Jangan
3 bulan bang. Dua bulan mungkin bisa. Penerbit maunya kita terbitkan satu karya
hebat di awal tahun. Lima bulan kedepan aku pun masih harus mengedit
karya-karya yang lain. Ada 15 naskah yang numpuk di meja. Kebanyakan naskah
biasa. Gimana?”
“Baiklah.
Dua bulan. Kupastikan ini hebat seperti yang pertama.” Jawabku mantap. Setelah
novelku yang pertama sukses jadi Best
Seller, penerbit mulai menaruh kepercayaan padaku. Meskipun novel kedua
hingga keempatku tidak begitu laku di pasaran, hanya memang diakui kedalaman
sastra dan idealismenya. Ya, mana ada karya idealis yang jujur menyikut
sana-sini bisa laku di pasaran? Beruntung sekali penerbitku ini mau
menerbitkan, meski harus debat sana-sini sebelumnya. Maka, mulai lah aku giat
menulis novel kelima ini.
Sebulan
berlalu kulewati dengan semangat membumbung tinggi. Nafasku begitu bernafsu.
Seolah tak ingin kalah dari jutaan huruf yang berlarian di atas kertas. Tak
tahu letak finis dimana, yang penting berlari. Walau jatuh sana-sini, ibarat diiming-iming
hadiah hidup makmur sepanjang usia, ibarat nasib Negara diujung panji-panji
pahlawan, tetap semangat menyongsong garis kemenangan.
Istriku
sudah biasa melihatku kerja semalaman suntuk di depan computer. Terbiasa
melihat gelas kopi berjejer-jejer di sudut meja. Terbiasa melihat aku tertidur
di depan computer. Terbiasa pula ia menyelimuti tubuhku yang hanyut dalam
pulasnya tidur di kursi.
Suatu
pagi Ia berujar padaku.
“Mas,
tahun ini kita akan menyekolahkan Ansenat di TK. Tapi, dana pun kita belum cukup.”
“Iya
ma. Aku janji segera menyekolahkan Ansenat di TK. Kali ini pasti,” jawabku
sambil mengalungkan lengan istriku di pundakku. Sementara mata masih menghadap
kalimat yang terhampar di hadapanku. Tahun lalu memang menyedihkan, aku tak
mampu menyekolahkan Ansenat di TK. Aku tak sanggup menyediakan uang masuk
sebesar Rp. 7.000.000,00. Harusnya dia masuk di usia 4 tahun. Sedang Istriku
tidak ingin Ansenat masuk TK yang biasa-biasa saja. Ia ingin anak satu-satunya
kami ini dapat bersekolah di TK yang cukup baik.
“Ya
sudah. Lanjutin mas. Aku masak dulu.” Sebelum ia beranjak, ia sempatkan mencium
kepalaku. Sentuhan kecil yang begitu membuatku tambah semangat menyelesaikan
naskahku ini.
Novelku
ini bercerita tentang seorang bapak tua yang begitu mencintai pekerjaannya.
Seorang pejabat perangkat kecil di pemerintahan, yang tidak gila jabatan, tidak
menyukai sogokan, tidak menyukai korupsi dan begitu mengabdi pada kerjaannya.
Seseorang yang memandang hidup dengan sederhana nan dewasa. Begitu tulus dalam
banyak tindakan. Begitu mulia dalam bersikap pada orang lain. Seorang lelaki
tua yang telah banyak menempa pengalaman panjang. Kisahnya tidak hanya menarik,
namun penuh kejujuran. Sifat kebapakan yang langka ditengah godaan dosa rupiah.
Dan yang terpenting, begitu mencintai sastra. Ya, dia lah Pak Rianto, ayah
mertuaku sendiri.
Hari
telah siang. Matahari begitu perkasa di atas langit. Awan pun minggir satu per
satu. Tak kuasa menahan sengatannya. Sedang kawanan burung lebih memilih
berdiam diri di atas sangkar pepohonan. Angin yang berhembus pun ibarat
pelayannya yang diminta menghibur seisi bumi. Tulisanku sendiri nyaris rampung.
Hanya sedikit penutup cerita di bagian akhir, maka selesai lah.
Sesekali
Hendri kawanku itu datang melihat naskahku. Dibacanya barang 30 menit. Sambil
manggut-mengangguk, dia pun yakin kali ini karyaku akan meledak dibanding
dengan karya novelku yang pertama. Aku pun senang mendengar ucapannya itu.
Sudah kubayangkan bagaimana kiranya nanti. Seorang Ansenat kecilku dapat
mengenakan seragam sekolah. Diantar oleh dua orang tuanya yang begitu
menyayanginya. Membayangkan diriku dan Sarah menunggu di pelataran sekolah
menunggu Ansenat berlari kecil menyambut aku dan mamanya. Mendekap dan
menggedongnya dengan senyuman menghiasi wajah keluarga kecilku.
Juga
mulai kubayangkan bagaimana nanti aku, Sarah dan Ansenat berwisata ke pantai
sambil menikmati senja. Jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, membelikan Sarah
busana baru nan indah, membelikan Ansenat buku gambar juga boneka mainannya. Juga, membeli buku
baru sebagai tambahan koleksiku. Hari-hari yang indah, tunggulah aku!
“Panas
banget ya, mas. Gerah sekali rasanya,” Sarah mengeluh karena sengatan matahari.
Seperti biasa, aku dan dia bersantai memandangi halaman kecil di belakang rumah
kami yang sederhana. Di atas halamannya tertanam bunga-bunga, dari mawar,
melati, asoka, juga bergantung-gantung anggrek di pot berwarna merah muda.
Taman kecil untuk keluarga mini.
“Iya
gini lah, ma. Kalau ruang kosong terus menerus dialih-fungsikan menjadi
bangunan-bangunan dan mengabaikan penghijauan kota, semakin panas saja yang
ada. Walikota kok goblok. Mending
papamu yang jadi walikota. Tahu bagaimana membenahi suatu yang salah.” Kataku nyeletuk sesuka hati. Kulihat Sarah
tersenyum mendengar jawabanku. Ia sangat tahu bahwa aku begitu mengagumi
ayahnya. Dan sering tersenyum kala aku memuji beliau. Kulihat ia sedang membuka
setengah kancing bajunya. Sambil mengipas-ngipaskan koran ke arahnya.
“Ansenat
mana, ma?” Tanyaku yang sedari tadi tidak melihat Ansenat bersamaku dan
mamanya.
“Di
dalam, mas. Di kamar kita. Katanya mau main game di computer,” jawab Sarah yang
kini mulai mengipasiku.
“Ma,
pernah menyesal nikah dengan aku?” Tanyaku yang menengadah padanya, di pangkuan
paha kecilnya.
“Hush!
Kalau aku menyesal, tak mungkin kamu aku manjain terus menerus, mas.”
“Tapi,
aku juga tidak bisa menafkahi kamu secara lebih. Penghasilanku hanya cukup.
Tidak bisa kamu kuajak sering-sering bermanja di salon. Memilih pakaian di
butik setiap bulannya. Tidak bisa…” belum selesai kubicara, ia memotong
pembicaraanku. Dengan diangkatnya tanganku ke dadanya yang telah membumbul
keluar karena kancing yang terbuka, dikecupnya tangku yang biasa mengetik, ia
berujar:
“Ayahku
selalu bisa membahagiakan aku, kakakku, adikku dan ibuku dengan
kesederhanaannya. Biarlah ayah tak mampu membelikan kami mobil seperti
Kades-Kades terdahulu. Biar pun ayah juga tak mampu membeli banyak tanah
seperti pendahulunya, ia tetap selalu mampu menorehkan senyumnya kala sedih dan
suka. Tetap mampu ia sekolahkan kami bertiga hingga universitas. Mampu juga ia
bikin ibu cinta mati padanya. Membuat kami pun cinta dan bangga karena
sosoknya. Kamu pun begitu, mas. Orang mungkin bertanya, kenapa sarjana
sepertiku mau dinikahi oleh seorang yang tak berpenghasilan tetap, walau aku
juga kadang ingin, namun aku percaya, setiap orang punya jalannya
masing-masing. Kamu tetap yang paling hebat untuk hidupku, mas. Lihat lah Ansenat,
berulang kali ia bilang padaku tentang sayangnya dia, tentang kasihannya dia
lihat mas kerja semalaman, berhari-hari bahkan di depan computer. Aku percaya
seratus persen padamu, mas.” Perkataanya sungguh membuat hatiku berdegup
kencang, membuatku tergugu sekaligus menentramkan hatiku. Sarah tak hanya
cantik rupanya, namun begitu lembut hatinya. Wajar kalau ia kadang mengeluh
ingin begini-begitu. Wajar pula ia menuntut lebih setelah sedikit tergoda oleh
gossip murahan para tetangga. Sebenarnya ia bisa saja bekerja seperti wanita
karir pada umumnya. Pengetahuan dan kemampuan akademiknya terbilang baik
walaupun hanya lulusan kampus biasa. Tetapi, Sarah memilih untuk jadi ibu rumah
tangga dulu.
Sedang
aku dan Sarah bermanjaan di beranda belakang rumah, terdengar lah suara
mengejutkan dari dalam rumah. Awalnya kudengar keras. Namun, pelan sayup. Lalu
keras lagi. Tak salah, itu lah suara putriku, teriakan Ansenat!
“Mamaaaa!!!
Papaaa!!! Maa…!!” Teriak dan tangisnya melolong dari dalam kamarku. Segera aku
dan Sarah meloncat ke dalam kamar. Berlarian mengejar suara yang mulai
terdengar sayu hingga tak kudengar satu suara pun selain suara ledakan keras di
dalam kamar.
“Astagfirullah
al’adzim! Ya Allah, Ansenat! Ya Allah!! Ya Allah!” Teriakku dengan kekagetan
luar biasa ketika melihat Ansenat sedang kejang-kejang tersengat colokan kabel
yang terpaku di kabel roll dekat meja komputerku. Kulihat tangan Ansenat
menempel di ujung colokan. Tubuhnya menggelepar. Tangisnya reda. Namun wajahnya
basah karena air mata. Segera kuambil kain dan kupisahkan tangannya dari
colokan kabel roll. Melihat itu, Sarah lari keluar meminta pertolongan. Maka
kusadari juga, bahwa api mulai membara di sekitar kabel dan mulai melahap
mejaku. Dengan sigap aku berlari menuju Sarah dan kuserahkan Ansenat yang kini
lunglai tak berkutik ke gendongannya. Kulihat para tetangga berdatangan juga ke
arahku dan Sarah. Kukatakan tanpa pikir panjang pada mereka untuk membawa Sarah
serta Ansenat ke rumah sakit.
“Api,
api! Kebakaran! Mas, rumahmu kebakaran!” Terdengar teriakan Adi tetanggaku
sambil menunjuk ke arah api yang berasal dari dalam kamarku. Maka berlari lah
aku, Adi dan tetangga yang lain ke dalam rumah. Ketika di dalam, kulihat api
sudah menjalar hingga lemari pakaianku yang bersebelahan dengan meja komputerku.
Dengan dibantu para tetangga, api yang sudah melahap habis meja dan segala yang
ada di atasnya, kursi dan lemariku, akhirnya api berhasil dipadamkan dan tidak
menjalar ke perabotan lain yang berada di dalam kamarku.
“Untung
gak sempat menjalar, mas. Untung, mas,” ujar Budi adik tetangga yang ikut
membantu memadamkan api. Musibah begini masih sempat bilang untung?
Aku
yang melihat meja serta komputerku yang telah hangus terbakar hanya bisa
terduduk lesu di balik daun pintu. Hilang semua tulisanku yang sudah aku tulis.
Hilang semua harapanku yang bergantung di balik tulisan magisku. Hilang semua
harapanku menyekolahkanku Ansenat di TK. Ansenat! Ansenat anakku. Maka dengan
tetesan air mata yang sudah membasahi pipiku, bergegas lah aku keluar. Kulihat tetangga
sudah berkerumun di depan rumah. Kunyalakan sepeda motorku. Sesampai di ujung
halaman depan rumah kutanyakan dimana Ansenat dan Sarah dibawa, maka segera aku
tancapkan motor bebekku ke rumah sakit yang jaraknya tidak terlalu jauh.
Tiba
di rumah sakit, aku langsung lari tergesa-gesa ke unit instalasi gawat darurat
(UGD). Dipojokan tempat tidur, kulihat Sarah sedang menangis tersedu-sedu
sambil mengusap-usap kepala Ansenat. Anakku yang jelita itu tertidur atau
barangkali pingsan. Dengan oksigen yang terpasang di hidung dan jarum infus
yang menancap di ujung lengannya, ia terlihat begitu lusuh dan menderita.
Tangisku tak dapat kubendung. Kuhampiri putriku yang manja ini dan kukecup
berkali-kali di keningnya. Sarah yang menyadari kedatanganku menggenggam erat
tanganku.
“Anak
kita, Mas. Mas..” Bersuara ia sedu-sedan tersenggal-senggal karena isakan
tangisnya.
“Sabar,
Ma, sabar..” Kucoba menenangkan dia dalam ketidaktenangan dan kebingunganku.
Akhirnya,
saat malam hari, dengan obat-obatan yang diresepkan, dokter pun mengizinkan
Ansenat untuk dibawa pulang. Dokter mengatakan, kalau saja Ansenat tidak
ditolong dengan cepat, mungkin sengatan listrik dapat membunuhnya.
Sesampai
di rumah, kulihat Ayah dan Ibu mertua serta iparku telah menunggu di ruang
tamu. Melihat aku masuk, segera ayah mertuaku memelukku dengan erat dan
berucap-ucap menenangkanku. Sedang Ibu mertuaku berusaha menenangkan Sarah.
“Cobaan,
nak, cobaan. Yang sabar. Allah selalu ada buat kita. Berdoalah, nak.” Pintanya
dengan tetap merangkulku di sofa ruang tamu.
Esoknya,
Hendri datang ke rumahku. Tampaknya ia tak mengetahui kejadian yang menimpaku
kemarin. Setelah kuceritakan, wajahnya terlihat sangat murung dan sedih. Ia pun
tak mampu berucap banyak. Menyadari tak mendapatkan apa yang telah ia harapkan
sebelumnya, maka ia menyelipkan beberapa lembar uang ke sakuku dan bergegaslah
ia pulang.
Tiga
hari setelah kejadian yang memilukanku, berdasarkan penyelidikan pihak
berwenang, bahwa penyebab kebakaran ‘kecil’-ku itu terjadi oleh korsleting listrik.
Ansenat yang menjadi korban, sekarang sudah terlihat baikan, meski ia kelihatan
begitu terguncang. Sarah pun berusaha menyembunyikan susahnya padaku. Maka aku
menghampirinya dan berbicara padanya.
“Maafkan
aku, ma. Sungguh hatiku minta maaf. Akan kucari pinjaman uang untuk
menyekolahkan Ansenat. Aku sudah janji padamu. Pun aku sudah janji pada diriku
sendiri dan Ansenat. Akan kucari juga computer atau laptop untukku menulis
lagi, ma. Sabar lah.” Ucapku berusaha menghilangkan duka dan menerbitkan harapan
di tengah kesusahan. Sarah yang mendengar hanya tertunduk. Dan:
“Mas…”
Tangisnya kembali merebak.
Segera
itu aku menyadari, keadaan cepat tiga hari itu telah berhasil membelokkan garis
hidupku. Kutemuilah ayah mertuaku, dengan sejuta keengganan dan rasa malu
kuminta kesempatan untuk dapat bekerja padanya di balai desa. Ia menyanggupi
dengan syarat-syarat yang menghindarkan aku dan dia dari nepotisme. Hingga
akhirnya dia mengatakan padaku:
“Nak,
tak ada satu pun manusia yang mampu mengelak dari segala cobaan yang datang.
Kita hanya harus ikhlas. Ketahanan kita sedang diuji. Tentu, kita pasti mampu
melewati dan menyelesaikannya dengan baik, juga dengan sikap yang bijak. Ayah
tahu, kamu tak suka kerja seperti ini. Pun ayah tahu, ini semua karena
terpaksa. Tapi, coba lah untuk ikhlas jika sudah mulai bekerja nanti. Agar
ringan kamu jalani, nak. Dan ingat, jangan tinggalkan dunia kepenulisanmu itu.
Hal yang membuat ayah bangga padamu sangat besar dipengaruhi oleh bakat dan
semangat menulismu yang luar biasa. Kalau kamu kiranya sudah tidak betah kerja
di sini, ayah pun rela kalau kamu memutuskan untuk berhenti. Jangan pernah
putus asa.” Nasehatnya yang terdengar menyejukkan dan bijaksana.
“Itu
di rumah ada computer, bawalah untukmu. Jangan padam semangat menulismu. Terus
lah menulis.”
Maka
menetes lah air mataku. Meleleh hatiku mendengar ucapan tulusnya itu. Andai
saja ia tahu yang terbakar itu adalah kisahnya yang tak sempat ia baca. Andai saja
profesi penulis mendapat asuransi layaknya pekerja pada umumnya. Andai saja.
Malang,
30 Januari 2014
Aqsha
Al Akbar
Kamu memang berbakat.
ReplyDelete