Thursday 30 January 2014

Pijar




Sarah, istriku yang rupawan. Pemikat lelaki bujang juga lelaki beranak. Tingginya semampai dan lurus hitam rambutnya melambai. Putih kulitnya sepadan langsing tubuhnya. Siapa pun setuju dia wanita terbaik di kampungnya. Bunga desa katanya. Sarah, yang kupinang dari rayuan jejaka, memeranjatkan dirinya dalam pelukan kasihku. Terpana ia melihatku. Tertegun ia mendengarku bicara. Merah merekah malu wajahnya kala kupuji sejuta kembang. Sarah istriku, yang begitu meneduhkan ini juga terkadang cemberut dan cerewet bila ia terpancing gossip tetangga sekitar rumah.

 
“Makanya mas, kuliah itu sampe selesai. Jangan setengah-setengah. Yang ada keluarga susah. Istri mau beli sepatu baru, susah. Mau ini susah.” Sarah ngomel-ngomel. Sudah begini, aku tahu ia baru saja berkumpul sama ibu para tetangga kami. Walaupun tidak terlalu serius, tetap saja kadang membikin jengkel sekaligus lucu melihatnya. Bayi kami di gendongan kainnya, di pinggir pinggangnya ia pegang sebuah ember pakaian siap jemur.
Aku yang mendengar perkataannya diam saja. Kusulut juga rokokku, seolah tak memperhatikannya. Di beranda belakang rumah ini biasanya kami menyantap udara pagi. Dari semenjak pertama bermesraan, hingga bergelut amarah satu sama lain. Sarah istriku, biarpun marah begitu tetap saja cantik. Beranjak lah aku menuju dirinya yang sedang menjemur kain batik kesayangannya. Kupeluk dia dari belakang, kukecup leher putihnya. Ia diam saja sambil tetap menjemur pakaian. Kali ini ia menunduk mengambil satu potong pakaian lainnya.
“Ini gendong,” katanya sambil menyerahkan anak kami, Ansenat. Putri kami yang begitu cantik. Ansenat adalah nama pilihanku. Aku sendiri mengagumi Ansenat, istri pertama dari seorang nabi Yusuf. Awalnya aku ingin memilih Zulaikha, namun, kiranya sudah banyak nama Zulaikha di dunia ini. Tidak dengan Ansenat.
Kugendong anakku, kutimang-timang. Kubiarkan matahari membelainya. Pelan kudengar suara kecilnya mengoek-ngoek. Kucium lah anakku. Cintaku luar biasa padanya.
“Mas, mau sarapan apa?” Tanya istriku yang sepertinya sudah melupakan omelannya.
“Apa aja ma,” jawabku sambil menuju kursi berbentuk setengah dipan yang teranyam dari bamboo.
“Ini mas. Makanlah dulu.” Ia menyerahkan semangkuk bubur ayam kesukaanku. Dengan tambahan ikan teri sambal yang diaduknya bersama bubur.
“uuh, uuh anakku. Buah hatiku. Si cantik Ansenat…. Ciluk baa.. Ciluk baa.” Lalu kini ia bermain bersama anakku, anak kami. Sedang Ansenat setengah tertawa kecil. Senyumnya pun membikin aku gemas. Sambil mengunyah, kucubit pelan pipinya yang tembem.
“Mas gak mau lamar kerja lagi? Saya bisa minta bapak cariin posisi untuk mas.”
“Hmm. Kerja jadi perangkat desa? “
“Iya mas, lumayan juga gajinya. Daripada mas terus menerus nulis. Tapi, penghasilan juga gak tetap mas. Ya tapi juga terserah mas.” Katanya. Perkataan yang biasa diucapkan oleh jutaan istri dari suami pekerja serabutan atau pengangguran.
“Enggak lah, ma.” Kataku beranjak bangkit dan meletakkan mangkuk bubur yang sudah kulahap habis ke dapur.
“Toh, kamu mau belanja masih bisa kukasih uang. Masih bisa aku kasih makan keluarga ini. Kita toh enggak kelaparan,” sambungku sambil bersandar dinding di sebelah Sarah dan anakku.
“Iya mas. Tapi untuk hari-hari depan? Anak semakin besar nanti semakin banyak kebutuhannya. Ini masih kecil, belum terasa bebannya. Pikirkan itu mas. Sudah mas, jaga Ansenat. Aku mandi dulu.” Maka bergegaslah Sarah menuju dalam rumah. Lalu aku bermanja-manja dengan anakku, intan berlian jiwaku.
Aku memang tidak bekerja pada suatu perusahaan. Tidak memiliki pekerjaan tetap. Aku tidak lulus kuliah, karena aku memang enggan. Boleh jadi aku berbangga karena itu. Toh aku membuktikan bahwa tanpa gelar sarjana pun aku masih bisa memiliki rumah berukuran sedang, tidak berada di pinggiran, dalam kondisi baik, meski hanya sewaan. Masih juga aku memiliki satu sepeda motor, walau hanya kreditan. Masih bisa juga aku menafkahi keluargaku. Setidaknya tak dilihat orang keluargaku dalam susah secara materi. Walaupun Sarah berkeras ingin aku bekerja sebagai pegawai atau karyawan. Ah, aku tidak seperti itu.
Bagiku pekerjaan adalah pengabdian. Aku cinta seni. Aku cinta sastra. Maka pekerjaan terbaikku adalah menjadi seniman. Ini sumber hidupku. Penafkah aku dan keluargaku, lahir dan batin. Selama ini aku memiliki pendapatan melalui buku yang sudah kutulis. Aku aktif menulis. Terutama novel dan cerpen. Kadang juga diundang menjadi pembicara pada seminar-seminar, menjadi juri perlombaan karya sastra dan banyak kegiatan profit maupun non profit sastra lainnya. Awal pernikahanku dengan Sarah, aku tidak memiliki pendapatan, meski memiliki tabungan dari hasil kerja serabutan selama membujang. Awalnya aku juga khawatir dengan tidak adanya pekerjaan. Memikirkan bagaimana aku harus menafkahi keluarga kecilku. Memikirkan biaya kebutuhan sehari-hari. Berkutat dengan pokok masalah klasik jutaan keluarga Indonesia berperekonomian sulit. Terkadang mengherankan, bagaimana mungkin bangsa dengan kekayaan alam melimpah dihuni oleh masyarakatnya yang miskin. Tertinggal dari peradaban dan kemajuan bangsa lain. Meski tak dapat kuelakkan; tertinggal karena dijajah terus menerus. Dari jaman Hindia Belanda hingga jaman kebebasan. Heh, jaman kebebasan katanya!?
Satu yang paling kupikirkan adalah keluarga miniku ini. Sungguh tak rela aku melihat Sarah dan Ansenat hidup dalam kekurangan. Sungguh tak ingin kulihat mereka merasakan lapar. Sungguh tak ingin kulihat mereka merasa tertinggal ilmu pengetahuan. Karena nadiku sesungguhnya mereka berdua. Sarahku yang cantik. Ansenatku yang jelita.
Tak ada yang menduga aku menjadi pasangan sejoli bersama Sarah. Seorang gadis desa anak seorang Kepala Desa. Perkenalanku dengannya barangkali memang takdir yang indah. Berawal dari acara yang digelar oleh ayahnya, seorang Kades yang cinta seni, bapak Rianto. Beliau menginginkan adanya acara seni di desanya, tepat seminggu setelah Ia dilantik sebagai Kades, setelah sebelumnya menjadi Sekdes. Mulai lah perangkat desa menemui komunitas sastraku. Melalui perangkat desa disampaikan, Pak Rianto berniat mengadakan pagelaran sastra musikalisasi puisi dan festival puisi di desanya. Sungguh amat jarang seorang Kades mau menggelar acara demikian, di tengah maraknya acara dangdut koplo yang mengumbar sensualitas naïf. Gagasan awalnya pun begitu sederhana, namun begitu kokoh. Mertuaku yang kukagumi ini menginginkan adanya budaya gotong royong di desanya yang semakin terkikis. Ia ingin seni menjadi media reinkarnasi kebiasaan turun temurun ini. Sebuah gagasan yang oleh aku dan teman-temanku sangat antusias.
“Sudah 30 tahun bapak mengabdi di desa ini. Dari mulai awal nikah sampai sekarang. Dari seorang kuli hingga menjadi Kades. Harapan bapak cuma satu, paguyuban desa yang kokoh. Hidup secara rukun,” sambutnya ketika menerima komunitasku awal jumpa dulu.
“Jaman bapak kecil, kebiasaan gotong royong sudah begitu mendarah daging. Semakin kesini, semakin bapak lihat semua menjadi individualis. Bapak jadi khawatir budaya ini hilang, budaya nenek moyang kita.”
“Bapak ini dulu sekolah sampai SMP. Tapi, jangan kira bapak lepas dari sastra. Bapak ini anak seorang seniman. Menulis puisi atau cerpen, sudah biasa. Tak pernah sedikit pun bapak tinggalin sastra ini, nak.” Baru kutahu beliau adalah anak mendiang Haris Da Vinci. Seorang pelukis sekaligus seorang penulis kenamaan kota ini. Namanya begitu melegenda di sini. Sungguh keajaiban bertemu dengan titisannya. Walaupun tak sehebat Haris Da Vinci.
“Daripada kita menggelar acara dangdut koplo. Menampilkan pedangdut seksi belaka. Ah, yang ada kita lihat anak kecil jadi rusak pikirannya. Pemuda pun jadi hobi minum arak demi joget gak jelas. Gak maju,” lanjutnya sambil tertawa miris.
Begitu lah akhirnya, hingga Sarah anak nomor duanya itu ikut mendampingi kerjaku menggelar acara pagelaran seni puisi itu. Hingga muncul ketertarikanku pada Sarah. Orang bilang, sangat banyak laki-laki berusaha meminangnya. Mulai dari anak Kades tetangga, tuan tanah, pedagang kaya hingga anak Walikota pun pernah berusaha merebut mahkota cucu seniman terkenal itu. Hanya aku lah, yang bermodal nekat dan kedekatanku dengan Pak Rianto, bisa meminangnya. Dengan resepsi pernikahan yang amat sangat sederhana, menikah lah kami dengan harapan yang tak terbayang. Walau kutahu, betapa bahagianya Pak Rianto bahwa aku lah yang menjadi pendamping hidup Sarah. Dia berkata:
“Orang bilang, hidup dengan seniman itu gak ada untungnya. Makan susah, hidup gak pasti, godaan banyak. Tapi, sedikit yang tahu, romantisme bersama seorang seniman tak terkira nilainya. Membikin jantung berdebar membuncah-buncah. Hehehe..” tertawa kecil ayah mertuaku ini kala selesai acara pernikahan. Seraya melanjutkan, ”selalu bapak lihat almarhumah ibu bapak ini hidup dalam bahagia, walau ia tahu sulit makan enak. Maklum, bapaknya bapak selalu pandai menyenangkan ibu. Hahaha.” Kali ini tawanya lepas.
***
Suatu hari temanku datang ke rumah. Hendri namanya. Seorang editor kawakan yang telah beribu kali melahap naskah penulis-penulis, indie atau terkemuka. Seharusnya ia membawa kabar gembira.
“Bang, ada yang baru?” Tanyanya setelah basa-basi dengan segelas kopi penyambut.
“Waduh, ini lagi proses. Aku sendiri belum tahu lagi kapan selesai. Bisa tunggu barang 3 bulan lagi?”
“Jangan 3 bulan bang. Dua bulan mungkin bisa. Penerbit maunya kita terbitkan satu karya hebat di awal tahun. Lima bulan kedepan aku pun masih harus mengedit karya-karya yang lain. Ada 15 naskah yang numpuk di meja. Kebanyakan naskah biasa. Gimana?”
“Baiklah. Dua bulan. Kupastikan ini hebat seperti yang pertama.” Jawabku mantap. Setelah novelku yang pertama sukses jadi Best Seller, penerbit mulai menaruh kepercayaan padaku. Meskipun novel kedua hingga keempatku tidak begitu laku di pasaran, hanya memang diakui kedalaman sastra dan idealismenya. Ya, mana ada karya idealis yang jujur menyikut sana-sini bisa laku di pasaran? Beruntung sekali penerbitku ini mau menerbitkan, meski harus debat sana-sini sebelumnya. Maka, mulai lah aku giat menulis novel kelima ini.
Sebulan berlalu kulewati dengan semangat membumbung tinggi. Nafasku begitu bernafsu. Seolah tak ingin kalah dari jutaan huruf yang berlarian di atas kertas. Tak tahu letak finis dimana, yang penting berlari. Walau jatuh sana-sini, ibarat diiming-iming hadiah hidup makmur sepanjang usia, ibarat nasib Negara diujung panji-panji pahlawan, tetap semangat menyongsong garis kemenangan.
Istriku sudah biasa melihatku kerja semalaman suntuk di depan computer. Terbiasa melihat gelas kopi berjejer-jejer di sudut meja. Terbiasa melihat aku tertidur di depan computer. Terbiasa pula ia menyelimuti tubuhku yang hanyut dalam pulasnya tidur di kursi.
Suatu pagi Ia berujar padaku.
“Mas, tahun ini kita akan menyekolahkan Ansenat di TK. Tapi, dana pun kita belum cukup.”
“Iya ma. Aku janji segera menyekolahkan Ansenat di TK. Kali ini pasti,” jawabku sambil mengalungkan lengan istriku di pundakku. Sementara mata masih menghadap kalimat yang terhampar di hadapanku. Tahun lalu memang menyedihkan, aku tak mampu menyekolahkan Ansenat di TK. Aku tak sanggup menyediakan uang masuk sebesar Rp. 7.000.000,00. Harusnya dia masuk di usia 4 tahun. Sedang Istriku tidak ingin Ansenat masuk TK yang biasa-biasa saja. Ia ingin anak satu-satunya kami ini dapat bersekolah di TK yang cukup baik.
“Ya sudah. Lanjutin mas. Aku masak dulu.” Sebelum ia beranjak, ia sempatkan mencium kepalaku. Sentuhan kecil yang begitu membuatku tambah semangat menyelesaikan naskahku ini.
Novelku ini bercerita tentang seorang bapak tua yang begitu mencintai pekerjaannya. Seorang pejabat perangkat kecil di pemerintahan, yang tidak gila jabatan, tidak menyukai sogokan, tidak menyukai korupsi dan begitu mengabdi pada kerjaannya. Seseorang yang memandang hidup dengan sederhana nan dewasa. Begitu tulus dalam banyak tindakan. Begitu mulia dalam bersikap pada orang lain. Seorang lelaki tua yang telah banyak menempa pengalaman panjang. Kisahnya tidak hanya menarik, namun penuh kejujuran. Sifat kebapakan yang langka ditengah godaan dosa rupiah. Dan yang terpenting, begitu mencintai sastra. Ya, dia lah Pak Rianto, ayah mertuaku sendiri.
Hari telah siang. Matahari begitu perkasa di atas langit. Awan pun minggir satu per satu. Tak kuasa menahan sengatannya. Sedang kawanan burung lebih memilih berdiam diri di atas sangkar pepohonan. Angin yang berhembus pun ibarat pelayannya yang diminta menghibur seisi bumi. Tulisanku sendiri nyaris rampung. Hanya sedikit penutup cerita di bagian akhir, maka selesai lah.
Sesekali Hendri kawanku itu datang melihat naskahku. Dibacanya barang 30 menit. Sambil manggut-mengangguk, dia pun yakin kali ini karyaku akan meledak dibanding dengan karya novelku yang pertama. Aku pun senang mendengar ucapannya itu. Sudah kubayangkan bagaimana kiranya nanti. Seorang Ansenat kecilku dapat mengenakan seragam sekolah. Diantar oleh dua orang tuanya yang begitu menyayanginya. Membayangkan diriku dan Sarah menunggu di pelataran sekolah menunggu Ansenat berlari kecil menyambut aku dan mamanya. Mendekap dan menggedongnya dengan senyuman menghiasi wajah keluarga kecilku.
Juga mulai kubayangkan bagaimana nanti aku, Sarah dan Ansenat berwisata ke pantai sambil menikmati senja. Jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, membelikan Sarah busana baru nan indah, membelikan Ansenat buku gambar  juga boneka mainannya. Juga, membeli buku baru sebagai tambahan koleksiku. Hari-hari yang indah, tunggulah aku!
“Panas banget ya, mas. Gerah sekali rasanya,” Sarah mengeluh karena sengatan matahari. Seperti biasa, aku dan dia bersantai memandangi halaman kecil di belakang rumah kami yang sederhana. Di atas halamannya tertanam bunga-bunga, dari mawar, melati, asoka, juga bergantung-gantung anggrek di pot berwarna merah muda. Taman kecil untuk keluarga mini.
“Iya gini lah, ma. Kalau ruang kosong terus menerus dialih-fungsikan menjadi bangunan-bangunan dan mengabaikan penghijauan kota, semakin panas saja yang ada. Walikota kok goblok. Mending papamu yang jadi walikota. Tahu bagaimana membenahi suatu yang salah.” Kataku nyeletuk sesuka hati. Kulihat Sarah tersenyum mendengar jawabanku. Ia sangat tahu bahwa aku begitu mengagumi ayahnya. Dan sering tersenyum kala aku memuji beliau. Kulihat ia sedang membuka setengah kancing bajunya. Sambil mengipas-ngipaskan koran ke arahnya.
“Ansenat mana, ma?” Tanyaku yang sedari tadi tidak melihat Ansenat bersamaku dan mamanya.
“Di dalam, mas. Di kamar kita. Katanya mau main game di computer,” jawab Sarah yang kini mulai mengipasiku.
“Ma, pernah menyesal nikah dengan aku?” Tanyaku yang menengadah padanya, di pangkuan paha kecilnya.
“Hush! Kalau aku menyesal, tak mungkin kamu aku manjain terus menerus, mas.”
“Tapi, aku juga tidak bisa menafkahi kamu secara lebih. Penghasilanku hanya cukup. Tidak bisa kamu kuajak sering-sering bermanja di salon. Memilih pakaian di butik setiap bulannya. Tidak bisa…” belum selesai kubicara, ia memotong pembicaraanku. Dengan diangkatnya tanganku ke dadanya yang telah membumbul keluar karena kancing yang terbuka, dikecupnya tangku yang biasa mengetik, ia berujar:
“Ayahku selalu bisa membahagiakan aku, kakakku, adikku dan ibuku dengan kesederhanaannya. Biarlah ayah tak mampu membelikan kami mobil seperti Kades-Kades terdahulu. Biar pun ayah juga tak mampu membeli banyak tanah seperti pendahulunya, ia tetap selalu mampu menorehkan senyumnya kala sedih dan suka. Tetap mampu ia sekolahkan kami bertiga hingga universitas. Mampu juga ia bikin ibu cinta mati padanya. Membuat kami pun cinta dan bangga karena sosoknya. Kamu pun begitu, mas. Orang mungkin bertanya, kenapa sarjana sepertiku mau dinikahi oleh seorang yang tak berpenghasilan tetap, walau aku juga kadang ingin, namun aku percaya, setiap orang punya jalannya masing-masing. Kamu tetap yang paling hebat untuk hidupku, mas. Lihat lah Ansenat, berulang kali ia bilang padaku tentang sayangnya dia, tentang kasihannya dia lihat mas kerja semalaman, berhari-hari bahkan di depan computer. Aku percaya seratus persen padamu, mas.” Perkataanya sungguh membuat hatiku berdegup kencang, membuatku tergugu sekaligus menentramkan hatiku. Sarah tak hanya cantik rupanya, namun begitu lembut hatinya. Wajar kalau ia kadang mengeluh ingin begini-begitu. Wajar pula ia menuntut lebih setelah sedikit tergoda oleh gossip murahan para tetangga. Sebenarnya ia bisa saja bekerja seperti wanita karir pada umumnya. Pengetahuan dan kemampuan akademiknya terbilang baik walaupun hanya lulusan kampus biasa. Tetapi, Sarah memilih untuk jadi ibu rumah tangga dulu.
Sedang aku dan Sarah bermanjaan di beranda belakang rumah, terdengar lah suara mengejutkan dari dalam rumah. Awalnya kudengar keras. Namun, pelan sayup. Lalu keras lagi. Tak salah, itu lah suara putriku, teriakan Ansenat!
“Mamaaaa!!! Papaaa!!! Maa…!!” Teriak dan tangisnya melolong dari dalam kamarku. Segera aku dan Sarah meloncat ke dalam kamar. Berlarian mengejar suara yang mulai terdengar sayu hingga tak kudengar satu suara pun selain suara ledakan keras di dalam kamar.
“Astagfirullah al’adzim! Ya Allah, Ansenat! Ya Allah!! Ya Allah!” Teriakku dengan kekagetan luar biasa ketika melihat Ansenat sedang kejang-kejang tersengat colokan kabel yang terpaku di kabel roll dekat meja komputerku. Kulihat tangan Ansenat menempel di ujung colokan. Tubuhnya menggelepar. Tangisnya reda. Namun wajahnya basah karena air mata. Segera kuambil kain dan kupisahkan tangannya dari colokan kabel roll. Melihat itu, Sarah lari keluar meminta pertolongan. Maka kusadari juga, bahwa api mulai membara di sekitar kabel dan mulai melahap mejaku. Dengan sigap aku berlari menuju Sarah dan kuserahkan Ansenat yang kini lunglai tak berkutik ke gendongannya. Kulihat para tetangga berdatangan juga ke arahku dan Sarah. Kukatakan tanpa pikir panjang pada mereka untuk membawa Sarah serta Ansenat ke rumah sakit.
“Api, api! Kebakaran! Mas, rumahmu kebakaran!” Terdengar teriakan Adi tetanggaku sambil menunjuk ke arah api yang berasal dari dalam kamarku. Maka berlari lah aku, Adi dan tetangga yang lain ke dalam rumah. Ketika di dalam, kulihat api sudah menjalar hingga lemari pakaianku yang bersebelahan dengan meja komputerku. Dengan dibantu para tetangga, api yang sudah melahap habis meja dan segala yang ada di atasnya, kursi dan lemariku, akhirnya api berhasil dipadamkan dan tidak menjalar ke perabotan lain yang berada di dalam kamarku.
“Untung gak sempat menjalar, mas. Untung, mas,” ujar Budi adik tetangga yang ikut membantu memadamkan api. Musibah begini masih sempat bilang untung?
Aku yang melihat meja serta komputerku yang telah hangus terbakar hanya bisa terduduk lesu di balik daun pintu. Hilang semua tulisanku yang sudah aku tulis. Hilang semua harapanku yang bergantung di balik tulisan magisku. Hilang semua harapanku menyekolahkanku Ansenat di TK. Ansenat! Ansenat anakku. Maka dengan tetesan air mata yang sudah membasahi pipiku, bergegas lah aku keluar. Kulihat tetangga sudah berkerumun di depan rumah. Kunyalakan sepeda motorku. Sesampai di ujung halaman depan rumah kutanyakan dimana Ansenat dan Sarah dibawa, maka segera aku tancapkan motor bebekku ke rumah sakit yang jaraknya tidak terlalu jauh.
Tiba di rumah sakit, aku langsung lari tergesa-gesa ke unit instalasi gawat darurat (UGD). Dipojokan tempat tidur, kulihat Sarah sedang menangis tersedu-sedu sambil mengusap-usap kepala Ansenat. Anakku yang jelita itu tertidur atau barangkali pingsan. Dengan oksigen yang terpasang di hidung dan jarum infus yang menancap di ujung lengannya, ia terlihat begitu lusuh dan menderita. Tangisku tak dapat kubendung. Kuhampiri putriku yang manja ini dan kukecup berkali-kali di keningnya. Sarah yang menyadari kedatanganku menggenggam erat tanganku.
“Anak kita, Mas. Mas..” Bersuara ia sedu-sedan tersenggal-senggal karena isakan tangisnya.
“Sabar, Ma, sabar..” Kucoba menenangkan dia dalam ketidaktenangan dan kebingunganku.
Akhirnya, saat malam hari, dengan obat-obatan yang diresepkan, dokter pun mengizinkan Ansenat untuk dibawa pulang. Dokter mengatakan, kalau saja Ansenat tidak ditolong dengan cepat, mungkin sengatan listrik dapat membunuhnya.
Sesampai di rumah, kulihat Ayah dan Ibu mertua serta iparku telah menunggu di ruang tamu. Melihat aku masuk, segera ayah mertuaku memelukku dengan erat dan berucap-ucap menenangkanku. Sedang Ibu mertuaku berusaha menenangkan Sarah.
“Cobaan, nak, cobaan. Yang sabar. Allah selalu ada buat kita. Berdoalah, nak.” Pintanya dengan tetap merangkulku di sofa ruang tamu.
Esoknya, Hendri datang ke rumahku. Tampaknya ia tak mengetahui kejadian yang menimpaku kemarin. Setelah kuceritakan, wajahnya terlihat sangat murung dan sedih. Ia pun tak mampu berucap banyak. Menyadari tak mendapatkan apa yang telah ia harapkan sebelumnya, maka ia menyelipkan beberapa lembar uang ke sakuku dan bergegaslah ia pulang.
Tiga hari setelah kejadian yang memilukanku, berdasarkan penyelidikan pihak berwenang, bahwa penyebab kebakaran ‘kecil’-ku itu terjadi oleh korsleting listrik. Ansenat yang menjadi korban, sekarang sudah terlihat baikan, meski ia kelihatan begitu terguncang. Sarah pun berusaha menyembunyikan susahnya padaku. Maka aku menghampirinya dan berbicara padanya.
“Maafkan aku, ma. Sungguh hatiku minta maaf. Akan kucari pinjaman uang untuk menyekolahkan Ansenat. Aku sudah janji padamu. Pun aku sudah janji pada diriku sendiri dan Ansenat. Akan kucari juga computer atau laptop untukku menulis lagi, ma. Sabar lah.” Ucapku berusaha menghilangkan duka dan menerbitkan harapan di tengah kesusahan. Sarah yang mendengar hanya tertunduk. Dan:
“Mas…” Tangisnya kembali merebak.
Segera itu aku menyadari, keadaan cepat tiga hari itu telah berhasil membelokkan garis hidupku. Kutemuilah ayah mertuaku, dengan sejuta keengganan dan rasa malu kuminta kesempatan untuk dapat bekerja padanya di balai desa. Ia menyanggupi dengan syarat-syarat yang menghindarkan aku dan dia dari nepotisme. Hingga akhirnya dia mengatakan padaku:
“Nak, tak ada satu pun manusia yang mampu mengelak dari segala cobaan yang datang. Kita hanya harus ikhlas. Ketahanan kita sedang diuji. Tentu, kita pasti mampu melewati dan menyelesaikannya dengan baik, juga dengan sikap yang bijak. Ayah tahu, kamu tak suka kerja seperti ini. Pun ayah tahu, ini semua karena terpaksa. Tapi, coba lah untuk ikhlas jika sudah mulai bekerja nanti. Agar ringan kamu jalani, nak. Dan ingat, jangan tinggalkan dunia kepenulisanmu itu. Hal yang membuat ayah bangga padamu sangat besar dipengaruhi oleh bakat dan semangat menulismu yang luar biasa. Kalau kamu kiranya sudah tidak betah kerja di sini, ayah pun rela kalau kamu memutuskan untuk berhenti. Jangan pernah putus asa.” Nasehatnya yang terdengar menyejukkan dan bijaksana.
“Itu di rumah ada computer, bawalah untukmu. Jangan padam semangat menulismu. Terus lah menulis.”
Maka menetes lah air mataku. Meleleh hatiku mendengar ucapan tulusnya itu. Andai saja ia tahu yang terbakar itu adalah kisahnya yang tak sempat ia baca. Andai saja profesi penulis mendapat asuransi layaknya pekerja pada umumnya. Andai saja.


Malang, 30 Januari 2014
Aqsha Al Akbar

1 comment:

Silahkan komen yaa