Thursday 30 January 2014

Arus





Hari ini cukup teduh. Sebangsa awan begitu sibuk bersuka ria. Angin begitu merdu menyibakkan udara. Sementara pohon rindang meliuk pelan menikmati sabda alam. Di bawah pepohonan rindang, terpapar kursi rajutan bambu. Reot sudah bentuknya. Nyaman pula bersandar di atasnya. Aku hanya duduk santai dalam ketidaktenangan. Mataku lurus membidik segala yang terhampar dihadapan. Sedang tangan sekali-kali mengusap-usap rambut. Iseng juga menggaruk ketombe yang gatalnya minta ampun.
“Ngapain aja melamun?” Kuncoro membangunkan lamunanku.
“Eh, enggak. Dari mana kau?”
“Biasa, isi perut. Sudah kau baca tulisanku kemarin?”
“Cuma dua yang baru kubaca. Nanti lah yang lain.”
“Gimana? Bisa kulempar ke Koran?”

“Hanya detilnya yang harus kau perbaiki. Lainnya oke.” Kataku tanpa memperhatikannya.
Kuncoro adalah teman kuliahku. Pernah merasakan pahitnya orientasi kampus, aku dan dia kini bersahabat sejak hari dimana kami dipermalukan seantero fakultas. Ia seorang yang ikut arus. Segala hal mau dia ikuti. Kadang dirinya hidup seperti tanpa ada yang dipikir. Ikut organisasi, dia oke. Ikut nongkrong sama mahasiswa hedon juga oke. Walau kutahu, dia tak punya keuangan yang cukup untuk terus berada di golongan hedon itu. Keunggulannya adalah dia pandai bergaul dengan siapa saja. Atau lebih tepatnya tidak neko-neko.
Sementara aku, seorang yang hanya mengejar impian. Impian titipan keluarga. Merantau jauh-jauh, menekuni perkuliahan, lulus dengan cepat dan nilai memuaskan, dapat pekerjaan, pinang wanita cantik, beranak lalu bercucu dengan harapan harta cukup mengulangi kisahku lagi, oleh anakku. Pola hidup yang sangat popular di bangsa ini. Satu-satunya penggoda menggeser pola pikiran seperti itu hanyalah Akbar. Seorang sahabatku yang lain.
“Kalau tulisan ini terbit, tak ragu aku ajak kau makan-makan. Makan di Pak Tono si kumis itu. Ah, lama betul tak kucicipi ayam kumisnya itu,” katanya mantap.
“Kun, kalau kau menulis setengah-setengah percuma. Kau harus membiasakan diri terlibat secara terus. Jangan hanya kejar royalty saja.” Kataku sedikit menggurui. Sengaja tidak kupedulikan rayuan traktir makannya.
“Ah gampang itu. Nanti perlu juga aku gabung di Tinta Pena itu. “
“Bukan gitu. Masuk Tinta Pena juga tidak menjamin kau jadi biasa menulis. Hanya saja, kau perlu menulis karena hatimu.”
“Maksudmu?” Kali ini air mukanya berubah. Matanya mulai memperhatikan gerak bibirku.
“Sebenarnya sudah lama ingin aku bilang. Menulis bukan sekedar menggoreskan tinta di atas kertas. Lebih dari itu, menulis karena desakan batin dan nurani.” Jelasku lekat mataku padanya.
Ia terus memandangi. Sedang tangannya menggapai ranting pohon yang memaksa sentuh tanah.
“Batin dan nurani itu, adalah suara sebenar-benarnya suara. Suara yang benar itu, adalah suara manusia yang sebenar-benarnya manusia. Singgungan yang terkandung dalam tulisan, mutlak milik manusia. Celaka lah jika manusia itu yang derita. Kan dimoncongkan kemana suaranya jika tulisan pun tidak menyertainya?” Terangku membuka kuliah bebas siang ini.
Kali ini Kuncoro tertunduk. Entah keberapa kalinya dia diserang oleh pelajaran jalanan yang kuberikan. Dipatahkannya ranting pohon itu, reflek tangannya menggores-garis bentuk di tanah. Ia hanya diam. Namun tak juga tersenyum-senyum kecil.
“Kun, kau punya bakat untuk menulis. Walaupun bakatmu harus dipanggil dulu. Ditantang dulu. Kini, kau sudah besarkan bakatmu.”
“Bung,” katanya membuka suara,”lihat tulisanku Perempuan Penjaga Zaman?” Katanya seolah membela diri.
Ya, tulisan itu memang mengagumkan. Bahkan aku sendiri tidak menyangka sahabatku yang pecicilan ini melahirkan sebuah tulisan sehebat itu. Sebuah tulisan yang menggambarkan seorang pelacur muda dengan anak satu hasil hubungan intimnya dengan pelanggan. Sosok perempuan yang mencoba melepas diri dari dunia hitam, karena iba pada anak yang enggan digugurkannya. Perempuan yang rela memberi ruang bagi anaknya untuk dapat  merasakan udara dunia, merasakan kejinya dunia bahkan  mungkin dari ibunya sendiri, merasakan dan berucap doa pada yang Esa, atau untuk sekedar dapat dikasihi dan dikecup oleh ibunya sendiri, seorang pekerja seks komersial.
Aku menitikkan air mata ketika membaca tulisan itu. Tak bisa kubayangkan, harapan seperti apa yang dicurahkan Tuhan pada perempuan itu, hingga Ia selamatkan bayi itu dari mati sebelum hidup. Perempuan yang teguh berkata, “Bukan salahnya untuk bersanding pada zaman edan ini. Adalah haknya untuk berada. Aku mungkin tak memiliki apa selain godaan Mama Gila itu untuk menggugurkannya dan mengais rejeki dari permataku. Tapi, aku hanya tahu satu kepastian, tak ada jalan Tuhan yang tak menunjukkan harapan dan capaian. Anak ini kan kubesarkan, jauh dari hingar bingar lelaki belang. Aku hanya percaya.”
Tak akan ada yang tahu bagaimana anak itu besarnya nanti. Sekilas dia sama saja dengan puluhan juta bayi yang lahir di dunia ini. Mungkin saja anak itu jadi seorang yang lebih baik dari ibunya. Mungkin saja anak itu jadi seorang yang membela kebenaran. Mungkin juga, menjadi seperti ibunya. Namun, perempuan itu hanya percaya, anak ini akan selamat. Entah selamat dari zaman yang edan. Atau justru menyelamatkan ibu dan orang lain dari zaman edan ini. Sekali lagi karena percaya. Betapa hebatnya kepercayaan itu.
**
Hari itu, berlalu begitu saja. Aku dan Kuncoro akhirnya hanya menikmati garam kehidupan yang tak berkenang, setidaknya setelah percakapan itu. Aku tidak bicara terlalu banyak  tentang tulisan itu. Entah karena cepat bosan dengan perkataanku,  Kuncoro  justru mengalihkan pembicaraan dan bergelantungan lah aku pada cerita romansanya dengan Rahma. Padahal yang menyayat hati masih saja mengiris.
Aku hanya duduk-duduk saja di beranda kos kecilku ini. Dengan gitar di tangan dan sebatang rokok disela jariku, aku hanya jadi hiasan bagi mereka yang berlalu lalang dihadapanku. Mereka yang kenal menyapa dan disapa, mereka yang tak kenal hanya memandang sekilas. Ada juga beberapa dari mereka yang memperhatikanku.
Hari memasuki senja, datang dari timur motor bebek penuh modifikasi ke kosku. Dengan helm yang kacanya telah lepas, dari kejauhan Ia sudah melempar senyum-senyum kecil padaku. Sosok muda yang jangkung dan kurus. Selalu menggunakan kemeja yang lengannya dilipat setengah. Terlihat keren untuk menebar perhatian (ngakunya dia). Tapi, Ia tidak sendiri, dibelakangnya ada seorang perempuan. Tanpa mengenakan helm. Seolah membiarkan angin mengibas rambutnya yang lurus semampai. Sore itu, Ia hanya memakai celana jins biasa dengan kaos berwarna merah. Anggunnya begitu menghipnotis. Dari kejauhan pula, Ia memandang ke arahku. Membuat diri lemah. Tak berdaya. Aduhai, perempuan ini. Tak cukup kah sekali dua kali kau menelanjangi kebodohanku? Aih, mati aku mak.
“Gitar dipegang tapi lagu satu pun gak ada kedengeran? Lupa kuncinya kah? Haha” Akbar menuding segera setelah ia parkirkan motornya itu. Senyumnya masih saja terburai. Tahu betul betapa kikuknya aku dihadapan Evi. Mengerjaiku kah dia? Aih, kubalas nanti.
“Hai, lagi nungguin kita ya?” Sapa Evi lembut dengan senyum yang memperlihatkan sempurnanya.
“Ah, enggak. Ini lagi main gitar aja.” Jawabku sekenanya berusaha mengusir kegugupanku. Tak tahu kalau Evi justru melihat kekikukanku. Biar.
“Ada gitar gak ada lagu, apa jadinya pujangga kita ini? Haha.” Akbar menggangguku. Tak kugubris.
“Tumben kesini, Vi?” Sapaku sopan.
“Ah, Evi saja kau peduli. Aku gak kau tanya?” Akbar menerobos.
“Iya, dari mana, Bar?” Kataku sedikit kesal.
“Haha, gitu kan enak. Ada lah nampaknya aku dilihat disini. Ini barusan dari rumah Pak Jamal. Ada perlu katanya.”
“Ngapain ke Pak Jamal?”
“Beliau cuma minta tolong sama kita, bantuin beliau observasi. Makanya, kami kesini mau bicarin itu sama kau.” Akbar menerangkan.
“Observasi apa lagi?”
“Tentang anak jalanan, bung.”
“Daerah mana, emangnya?”
“Di deket alun-alun ada. Katanya sih, coba yang di alun-alun aja. Ya, Tanya-jawab latar belakang sama gimana kehidupannya. Gitu doang.” Evi menjawab.
“Kapan kita mulai observasinya?” Tanyaku terus.
“Aih, bersemangat anak muda ini. Ya tau dah, ada Evi. Hahaha.” Akbar tak henti-hentinya mengusiliku. Dan Evi, aduh. Senyumnya nempel seratus persen di kegugupanku. Pada merahnya mukaku. Malu betul.
“Sudah lah, Bar,” Evi menenangkan. Tahu betul dia aku salah tingkah. Dan dengan lembutnya lagi dia bilang, “kita butuh kamu karena memang kita enggak pandai nulis dokumentasinya. Laporannya. Mungkin lusa atau tiga hari lagi kita mulai.”
“Iya, nanti kita siapkan dulu pertanyaannya,” Akbar menambahi.
Maka dua hari setelah perbincangan singkat itu, aku, Evi dan Akbar pergi ke alun-alun kota. Hanya saja, kami berangkat secara terpisah. Aku memilih naik angkutan umum. Karena memag tidak memiliki kendaraan pribadi. Akbar dan Evi berboncengan. Aku tiba lebih dahulu, setelah angkutan berhenti di lampu merah. Selagi menyeberang, kuperhatikan gerombolan anak-anak kecil, remaja dan beberapa orang dewasa di pelataran trotoar. Sebagian dengan gitar ditangan, diujung gitar terdapat bungkusan plastik untuk tampung recehan. Aku terus saja melihat mereka sambil berteduh di bawah atap toko, tahu matahari mulai merambat siang.
“Sudah lama nyampe?” Akbar datang disusul Evi.
“Baru 10 menitan. Langsung?” Tanyaku pada mereka.
“Iya dah, ayo. Yok, Vi.” Akbar mengomandoi.
Maka berjalan lah kami ke beberapa remaja, sekitar 6 orang yang sedang duduk-duduk di trotoar. Awalnya mereka tidak memperhatikan kami. Namun, mulai mendekat, salah satu diantara mereka yang duduk selonjoran setengah tidur, bangkit memandangi kami. Akbar tanpa diminta langsung menyapa.
“Permisi bung, boleh kita duduk-duduk disini?”
Seorang remaja yang berambut kucel, berdaki dan tentu belum mandi, menjawab “Oh. Iya bang. Gabung aja.”
“Kenalin, saya Akbar. Ini mbak ini namanya Evi…” Akbar membuka perkenalan.
Maka langsung juga aku kenalkan diriku dan menyalami mereka satu per satu.
“Boleh kita ngobrol-ngobrol?” Evi memulai. Mendapat anggukan setuju, maka Evi dan Akbar bergantian bicara. Aku lebih banyak diam dan memperhatikan. Obrolan kami cukup santai dan sesekali terseling iringan tawa.
“Jadi kalau enggak ngamen, santai-santai aja bung?”
“Sebenarnya enggak juga, bang. Kita juga punya komunitas anak jalanan. Ada namanya Papi Suberi. Papi ini biasanya sering datang ke kita dan main-main. Kadang kita diundang ke rumahnya.”
“Itu kalau ke rumahnya ngapain aja?”
“Papi Suberi sering ngajarin kita seni. Kita diajarin nyanyi. Ada juga yang lukis. Belajar lah intinya. Katanya rumah itu, rumah sama-sama. Tapi, kita enggak semuanya bisa bebas kesana.”
“Lho kenapa?” Evi menanyakan serius.
“Kita juga harus ngamen. Kita juga harus kasih setoran ke preman setempat. Kita ini enggak punya rumah. Tidur di trotoar sini juga harus nyetor, bang.” Seru Acho, pengamen termuda di rombongan ini. Ia tampak polos dan kerap bicara seadanya.
“Katanya Papi Suberi ngasih tempat tinggal? Rumah sama-sama gitu….” Belum sempat aku meneruskan, omonganku dipotong oleh Karno.
“Bukan tempat tinggal, bang. Rumah sama-sama juga kalau Pak Suberinya ada di rumah. Tapi, kalau ada istrinya, susah. Kita gak pernah nginap disana. Kita Cuma main, malamnya kita pulang.”
“Jadi untuk makan murni dari hasil ngamen?”
“Itulah keadaannya. Cuma itu memang.”
“Enggak pernah kepikiran pulang kampung?” Akbar penasaran.
“Kalau pun ada juga percuma. Kita pulang berat diongkos. Sampai rumah Cuma jadi sampah. Paling mentok nih ya bang, jadi preman kampung dah.”
Demikian observasi kami. Banyak pertanyaan yang kami ajukan. Membuat diriku bertanya kembali, bagaimana mereka bisa bertahan hidup dengan hasil ngamen dan itu juga masih harus dibagi ke preman? Belum lagi mereka adalah perokok. Syukur-syukur mereka tidak menyentuh narkoba. Aku saja hidup karena kiriman sebesar Rp. 900.000 per bulan juga rasanya tidak cukup. Sehingga memaksaku mencari uang tambahan. Namun, mereka mampu hidup dalam keterbatasan. Juga, masih bisa tertawa. Merasakan kebahagiaan bersama teman-temannya. Dan, mereka bebas, setidaknya menentukan pilihan.
Ada satu hal yang mengganggu pikiranku, adakah harapan yang mereka gantungkan? Atau adakah kepercayaan dari diri mereka untuk suatu kehidupan? Laporan observasi ini harusnya segera kutulis. Namun, pikiranku masih belum kokoh untuk bersanding bersama hatiku, hatinya mereka. Maka sengaja aku pergi kembali pada mereka, seorang diri. Malam ini juga.
Namun, yang kutemui bukanlah Acho, Karno dan empat pengamen jalanan tadi. Aku justru dikagetkan dengan hadirnya Kuncoro disana. Ngapain dia di tempat ini? Melihat aku berjalan ke arahnya, dia langsung menyapa.
“Tumben kau kesini.” Sambutnya senyum. Tumben? Apakah sering Ia kesini? Belum lagi aku menanyakan rasa penasaranku, Ia sudah memulai:
“Bung-bung, ini teman saya. Ayo, kenalan dulu.”
“Tadi siang dia juga sudah kesini bang. Sama temen-temennya,” Acho yang tadi tidak kelihatan, muncul dengan celana pendek dan berdada telanjang.
Mendengar itu, Kuncoro kaget. “Oh ya? Ngapain kesini bung?”
“Enggak, Cuma main-main sambil observasi. Kau ngapain disini?” Tanyaku masih penasaran.
“Hahaha. Harusnya aku yang Tanya. Aku sudah hampir setiap malam kesini.”
“Ha? Aku gak pernah tahu.” Jawabku bingung.
“Iya. Biasanya sehabis main dengan kau, atau yang lain, aku biasa kesini. Ini lah teman-temanku semua. Ayo, ayo, duduk disana,” ajaknya menuju kursi di dekat taman alun-alun.
“Kau sering kesini kenapa gak pernah cerita?”
“Buat apa aku cerita, kau toh sibuk dengan belajar.”
“Ya, kan kau temanku. Aneh rasanya teman sendiri enggak tahu.” Kataku.
“Hahaha. Jangan seperti pacar yang pengen tahu segalanya ah. Hahaha.” Tawanya geli.
“Ini lah bung, sumber-sumber hidupku. Kau sendiri yang bilang, menulis dengan hati dan nurani manusia. Sebagai pesan. Inilah dia prosesnya. Bergaul bersama mereka. Tahu tentang mereka. Hingga apa yang ditulis pun dengan sendirinya datang dari hati.” Aku terkaget-kaget mendengar perkataannya. Seperti bukan Kuncoro yang aku kenal.
“Ini lah aku, bung. Aku bisa kemana saja kemana aku suka. Kemana hati meminta. Kau ingat dengan tulisan Perempuan Penjaga Zaman itu? Ya itu juga berawal dari hal-hal seperti ini.”
Ia menjelaskan bahwa dirinya suka keluar malam sendirian. Kemana takdir meminta, kemana arah meminta, Ia tuju.  Ia terjang. Hingga ia pun sampai di tempat plesiran. Suatu yang membawa Ia pada perempuan sang penjaga. Sosok perempuan yang saat itu sedang sembunyi dari kejaran mami-mami ‘penjaga’nya. Hingga ditemukan oleh Kuncoro. Dibawalah perempuan itu oleh Kuncoro ke rumah Papi Suberi, seseorang yang telah lama menjadi sahabat Kuncoro meski beratahun jarak usia diantara mereka. Papi Suberi telah sejak lama menjadi ‘pelita’ bagi anak jalanan di hampir seluruh pelosok kota ini. Ia memang tidak mampu memberi anyaman tempat tinggal, namun Papi Suberi mampu memberi semangat dan motivasi pada anak-anak jalanan ini.
Papi Suberi pula yang kerap mengajarkan seni gitar, piano, lukis dan baca-tulis. Menurut anak Papi Suberi kepada Kuncoro, bahwa dulu sebelum Papi Suberi turun aksi ke anak jalanan, beliau adalah seorang Direktur pada berbagai perusahaan konstruksi, telekomunikasi, dan perusahaan tambang.  Hingga pada suatu peristiwa dirinya diminta oleh perusahaan untuk membebaskan lahan di kota seberang. Ternyata, pembebasan lahan itu menimbulkan sengketa bersama penduduk setempat. Papi Suberi yang saat itu mewakili kepentingan eksekutor lahan, memilih jalan keras hingga berujung pada penggusuran paksa, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa di kalangan penduduk. Berita itu tidak pernah tersiar ke media. Yang tersiar justru pemberitaan megahnya pertambangan baru yang dibangun oleh pengusaha tersebut. Entah karena kebetulan, Papi Suberi melihat detil dengan muka pucat pasi saat eksekusi lahan dijalankan. Terlihat lah olehnya anak berumuran sekitar 10 tahun yang melihat Ibu dan Bapaknya terkena pukulan para eksekutor. Anak itu diam dengan wajah ketakutan. Melihat dengan sendiri orangtuanya tersungkur ke tanah dengan darah melukiskan derita. Bayangan anak itu lah yang begitu menghantui perasaan Papi Suberi. Tentu, Papi Suberi merasa berdosa. Hingga pada akhirnya, Ia memutuskan berhenti bekerja di perusahaan tersebut. Alih-alih menebus dosa dan menghilangkan luka anak yang ditinggal ayah dan ibunya tadi, maka Papi Suberi memilih untuk lebih dekat bersama anak jalanan ini. Walau keluarga besarnya, yang rata-rata partner bisnis Papi Suberi menentang keputusan itu.
“Kata Papi Suberi sekali waktu, keluarganya menentang dengan dalih resiko dari pekerjaan. Mau jadi apa lagi kalau tidak kerja begini? Inilah kenyataan di negeri ini. Bahwa segala hal yang dapat menabur kita menjadi kaya akan dipuja dan dihormati. Bahwa para sarjana pun dididik seperti itu. Ini lah mental pengusaha-pengusaha, sebagai jalan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Pendidikan kita pun dicampuri, disertakan lah pendidikan berbasis kebutuhan pengusaha tersebut. Kita lah yang menjadi bajingan.” Kuncoro bercerita panjang lebar. Membuat aku bertanya-tanya dalam hati, sisi lain mana lagi yang tidak kuketahui tentang anak ini? Anak yang biasa selalu mengembek padaku, anak yang biasanya kuanggap remeh temeh dibandingkanku, anak yang ternyata luar biasa.
“Aku tak tahu apakah perbuatan Papi Suberi selama ini sudah membuat Ia lepas dari dosanya yang kelam. Namun, satu dari beliau yang bisa kupelajari, berbuatlah karena itu yang harus diperbuat. Jangan berbuat karena desakan dan omongan yang belum tentu sesuai dengan diri kita. Aku ini, bung, mungkin seperti tidak punya arah. Iya, memang begitu. Kadang angin-anginan dan gak pasti. Tapi, itu lah takdir. Membawaku terus menerus dalam ketidak-pastian dan rangkaian kemungkinan-kemungkinan. Aku hanya perlu berbuat.”
Selagi aku masih takjub dengan perktaan dari sahabatku ini, Ia memulai lagi:
“Kiranya kau sudah membaca tulisanku yang berjudul “POLA”. Belum? Sedikit banyak tentang dirimu. Seorang yang kata Akbar hidup digantungkan oleh bisikan zaman. Bisikan zaman yang dibisikkan melalui impian orang tua pada anaknya. Memang itulah dirimu. Aku lebih mengenalmu dibanding yang lain. Aku selalu terima apa yang kau bilang, meski aku sudah tahu. Tapi, itu lah kau. Aku memilih jalanku sendiri. Lepas dari desakan apa pun. Lepas dari tuntutan apa pun.
“Kata-kata Akbar pada kau itu benar. Kita hidup tak perlu bergantung pada kemapanan yang sudah ada. Jangan menakutkan pada hal yang belum pasti kebenarannya. Bahwa kekhawatiran masa depanmu oleh orang tua itu patut dimaklumi. Namun, pada akhirnya, kau yang menjalani hidup, bukan mereka. Hiduplah kawan. Akhir-akhir ini kau tidak pernah merasa begitu ceria. Hidupkan dirimu. Biar pikiran maju dan mau berpikir. Sengaja aku kasih tulisan-tulisanku padamu, supaya kau dapat mengintip pesan yang kutulis. Kau sahabatku dan tak ada seorang sahabat yang rela lihat sahabatnya dirundung pilu, apalagi kebingungan.”
Entah apa yang kurasa. Kuncoro jauh lebih luar biasa dibandingkan apa yang sudah aku pikirkan. Ah. Prasangka. Betapa bodohonya aku terjebak pada prasangka. Ah. Kemapanan sosial. Entah berapa kali aku diombang-ambing ombak mainstream ini. Kuncoro, sahabatku, lebih dari yang kukenal, terima kasih.

Malang, 17 Januari 2014
Aqsha Al Akbar

No comments:

Post a Comment

Silahkan komen yaa