Hari
ini cukup teduh. Sebangsa awan begitu sibuk bersuka ria. Angin begitu merdu
menyibakkan udara. Sementara pohon rindang meliuk pelan menikmati sabda alam.
Di bawah pepohonan rindang, terpapar kursi rajutan bambu. Reot sudah bentuknya.
Nyaman pula bersandar di atasnya. Aku hanya duduk santai dalam ketidaktenangan.
Mataku lurus membidik segala yang terhampar dihadapan. Sedang tangan
sekali-kali mengusap-usap rambut. Iseng juga menggaruk ketombe yang gatalnya
minta ampun.
“Ngapain
aja melamun?” Kuncoro membangunkan lamunanku.
“Eh,
enggak. Dari mana kau?”
“Biasa,
isi perut. Sudah kau baca tulisanku kemarin?”
“Cuma
dua yang baru kubaca. Nanti lah yang lain.”
“Hanya
detilnya yang harus kau perbaiki. Lainnya oke.” Kataku tanpa memperhatikannya.
Kuncoro
adalah teman kuliahku. Pernah merasakan pahitnya orientasi kampus, aku dan dia
kini bersahabat sejak hari dimana kami dipermalukan seantero fakultas. Ia
seorang yang ikut arus. Segala hal mau dia ikuti. Kadang dirinya hidup seperti
tanpa ada yang dipikir. Ikut organisasi, dia oke. Ikut nongkrong sama mahasiswa
hedon juga oke. Walau kutahu, dia tak punya keuangan yang cukup untuk terus
berada di golongan hedon itu. Keunggulannya adalah dia pandai bergaul dengan
siapa saja. Atau lebih tepatnya tidak neko-neko.
Sementara
aku, seorang yang hanya mengejar impian. Impian titipan keluarga. Merantau
jauh-jauh, menekuni perkuliahan, lulus dengan cepat dan nilai memuaskan, dapat
pekerjaan, pinang wanita cantik, beranak lalu bercucu dengan harapan harta
cukup mengulangi kisahku lagi, oleh anakku. Pola hidup yang sangat popular di
bangsa ini. Satu-satunya penggoda menggeser pola pikiran seperti itu hanyalah
Akbar. Seorang sahabatku yang lain.
“Kalau
tulisan ini terbit, tak ragu aku ajak kau makan-makan. Makan di Pak Tono si
kumis itu. Ah, lama betul tak kucicipi ayam kumisnya itu,” katanya mantap.
“Kun,
kalau kau menulis setengah-setengah percuma. Kau harus membiasakan diri
terlibat secara terus. Jangan hanya kejar royalty saja.” Kataku sedikit
menggurui. Sengaja tidak kupedulikan rayuan traktir makannya.
“Ah
gampang itu. Nanti perlu juga aku gabung di Tinta Pena itu. “
“Bukan
gitu. Masuk Tinta Pena juga tidak menjamin kau jadi biasa menulis. Hanya saja,
kau perlu menulis karena hatimu.”
“Maksudmu?”
Kali ini air mukanya berubah. Matanya mulai memperhatikan gerak bibirku.
“Sebenarnya
sudah lama ingin aku bilang. Menulis bukan sekedar menggoreskan tinta di atas
kertas. Lebih dari itu, menulis karena desakan batin dan nurani.” Jelasku lekat
mataku padanya.
Ia
terus memandangi. Sedang tangannya menggapai ranting pohon yang memaksa sentuh
tanah.
“Batin
dan nurani itu, adalah suara sebenar-benarnya suara. Suara yang benar itu,
adalah suara manusia yang sebenar-benarnya manusia. Singgungan yang terkandung
dalam tulisan, mutlak milik manusia. Celaka lah jika manusia itu yang derita.
Kan dimoncongkan kemana suaranya jika tulisan pun tidak menyertainya?” Terangku
membuka kuliah bebas siang ini.
Kali
ini Kuncoro tertunduk. Entah keberapa kalinya dia diserang oleh pelajaran
jalanan yang kuberikan. Dipatahkannya ranting pohon itu, reflek tangannya
menggores-garis bentuk di tanah. Ia hanya diam. Namun tak juga tersenyum-senyum
kecil.
“Kun,
kau punya bakat untuk menulis. Walaupun bakatmu harus dipanggil dulu. Ditantang
dulu. Kini, kau sudah besarkan bakatmu.”
“Bung,”
katanya membuka suara,”lihat tulisanku Perempuan
Penjaga Zaman?” Katanya seolah membela diri.
Ya,
tulisan itu memang mengagumkan. Bahkan aku sendiri tidak menyangka sahabatku
yang pecicilan ini melahirkan sebuah tulisan sehebat itu. Sebuah tulisan yang
menggambarkan seorang pelacur muda dengan anak satu hasil hubungan intimnya
dengan pelanggan. Sosok perempuan yang mencoba melepas diri dari dunia hitam,
karena iba pada anak yang enggan digugurkannya. Perempuan yang rela memberi
ruang bagi anaknya untuk dapat merasakan
udara dunia, merasakan kejinya dunia bahkan mungkin dari ibunya sendiri, merasakan dan
berucap doa pada yang Esa, atau untuk sekedar dapat dikasihi dan dikecup oleh
ibunya sendiri, seorang pekerja seks komersial.
Aku
menitikkan air mata ketika membaca tulisan itu. Tak bisa kubayangkan, harapan
seperti apa yang dicurahkan Tuhan pada perempuan itu, hingga Ia selamatkan bayi
itu dari mati sebelum hidup. Perempuan yang teguh berkata, “Bukan salahnya
untuk bersanding pada zaman edan ini. Adalah haknya untuk berada. Aku mungkin
tak memiliki apa selain godaan Mama Gila itu untuk menggugurkannya dan mengais
rejeki dari permataku. Tapi, aku hanya tahu satu kepastian, tak ada jalan Tuhan
yang tak menunjukkan harapan dan capaian. Anak ini kan kubesarkan, jauh dari
hingar bingar lelaki belang. Aku hanya percaya.”
Tak
akan ada yang tahu bagaimana anak itu besarnya nanti. Sekilas dia sama saja
dengan puluhan juta bayi yang lahir di dunia ini. Mungkin saja anak itu jadi
seorang yang lebih baik dari ibunya. Mungkin saja anak itu jadi seorang yang
membela kebenaran. Mungkin juga, menjadi seperti ibunya. Namun, perempuan itu
hanya percaya, anak ini akan selamat. Entah selamat dari zaman yang edan. Atau
justru menyelamatkan ibu dan orang lain dari zaman edan ini. Sekali lagi karena
percaya. Betapa hebatnya kepercayaan itu.
**
Hari
itu, berlalu begitu saja. Aku dan Kuncoro akhirnya hanya menikmati garam
kehidupan yang tak berkenang, setidaknya setelah percakapan itu. Aku tidak
bicara terlalu banyak tentang tulisan
itu. Entah karena cepat bosan dengan perkataanku, Kuncoro justru mengalihkan pembicaraan dan
bergelantungan lah aku pada cerita romansanya dengan Rahma. Padahal yang
menyayat hati masih saja mengiris.
Aku
hanya duduk-duduk saja di beranda kos kecilku ini. Dengan gitar di tangan dan
sebatang rokok disela jariku, aku hanya jadi hiasan bagi mereka yang berlalu
lalang dihadapanku. Mereka yang kenal menyapa dan disapa, mereka yang tak kenal
hanya memandang sekilas. Ada juga beberapa dari mereka yang memperhatikanku.
Hari
memasuki senja, datang dari timur motor bebek penuh modifikasi ke kosku. Dengan
helm yang kacanya telah lepas, dari kejauhan Ia sudah melempar senyum-senyum
kecil padaku. Sosok muda yang jangkung dan kurus. Selalu menggunakan kemeja
yang lengannya dilipat setengah. Terlihat keren untuk menebar perhatian
(ngakunya dia). Tapi, Ia tidak sendiri, dibelakangnya ada seorang perempuan.
Tanpa mengenakan helm. Seolah membiarkan angin mengibas rambutnya yang lurus
semampai. Sore itu, Ia hanya memakai celana jins biasa dengan kaos berwarna
merah. Anggunnya begitu menghipnotis. Dari kejauhan pula, Ia memandang ke
arahku. Membuat diri lemah. Tak berdaya. Aduhai, perempuan ini. Tak cukup kah
sekali dua kali kau menelanjangi kebodohanku? Aih, mati aku mak.
“Gitar
dipegang tapi lagu satu pun gak ada kedengeran? Lupa kuncinya kah? Haha” Akbar
menuding segera setelah ia parkirkan motornya itu. Senyumnya masih saja
terburai. Tahu betul betapa kikuknya aku dihadapan Evi. Mengerjaiku kah dia?
Aih, kubalas nanti.
“Hai,
lagi nungguin kita ya?” Sapa Evi lembut dengan senyum yang memperlihatkan
sempurnanya.
“Ah,
enggak. Ini lagi main gitar aja.” Jawabku sekenanya berusaha mengusir
kegugupanku. Tak tahu kalau Evi justru melihat kekikukanku. Biar.
“Ada
gitar gak ada lagu, apa jadinya pujangga kita ini? Haha.” Akbar menggangguku.
Tak kugubris.
“Tumben
kesini, Vi?” Sapaku sopan.
“Ah,
Evi saja kau peduli. Aku gak kau tanya?” Akbar menerobos.
“Iya,
dari mana, Bar?” Kataku sedikit kesal.
“Haha,
gitu kan enak. Ada lah nampaknya aku dilihat disini. Ini barusan dari rumah Pak
Jamal. Ada perlu katanya.”
“Ngapain
ke Pak Jamal?”
“Beliau
cuma minta tolong sama kita, bantuin beliau observasi. Makanya, kami kesini mau
bicarin itu sama kau.” Akbar menerangkan.
“Observasi
apa lagi?”
“Tentang
anak jalanan, bung.”
“Daerah
mana, emangnya?”
“Di
deket alun-alun ada. Katanya sih, coba yang di alun-alun aja. Ya, Tanya-jawab
latar belakang sama gimana kehidupannya. Gitu doang.” Evi menjawab.
“Kapan
kita mulai observasinya?” Tanyaku terus.
“Aih,
bersemangat anak muda ini. Ya tau dah, ada Evi. Hahaha.” Akbar tak
henti-hentinya mengusiliku. Dan Evi, aduh. Senyumnya nempel seratus persen di
kegugupanku. Pada merahnya mukaku. Malu betul.
“Sudah
lah, Bar,” Evi menenangkan. Tahu betul dia aku salah tingkah. Dan dengan
lembutnya lagi dia bilang, “kita butuh kamu karena memang kita enggak pandai
nulis dokumentasinya. Laporannya. Mungkin lusa atau tiga hari lagi kita mulai.”
“Iya,
nanti kita siapkan dulu pertanyaannya,” Akbar menambahi.
Maka
dua hari setelah perbincangan singkat itu, aku, Evi dan Akbar pergi ke
alun-alun kota. Hanya saja, kami berangkat secara terpisah. Aku memilih naik
angkutan umum. Karena memag tidak memiliki kendaraan pribadi. Akbar dan Evi
berboncengan. Aku tiba lebih dahulu, setelah angkutan berhenti di lampu merah.
Selagi menyeberang, kuperhatikan gerombolan anak-anak kecil, remaja dan
beberapa orang dewasa di pelataran trotoar. Sebagian dengan gitar ditangan, diujung
gitar terdapat bungkusan plastik untuk tampung recehan. Aku terus saja melihat
mereka sambil berteduh di bawah atap toko, tahu matahari mulai merambat siang.
“Sudah
lama nyampe?” Akbar datang disusul Evi.
“Baru
10 menitan. Langsung?” Tanyaku pada mereka.
“Iya
dah, ayo. Yok, Vi.” Akbar mengomandoi.
Maka
berjalan lah kami ke beberapa remaja, sekitar 6 orang yang sedang duduk-duduk
di trotoar. Awalnya mereka tidak memperhatikan kami. Namun, mulai mendekat,
salah satu diantara mereka yang duduk selonjoran setengah tidur, bangkit
memandangi kami. Akbar tanpa diminta langsung menyapa.
“Permisi
bung, boleh kita duduk-duduk disini?”
Seorang
remaja yang berambut kucel, berdaki dan tentu belum mandi, menjawab “Oh. Iya
bang. Gabung aja.”
“Kenalin,
saya Akbar. Ini mbak ini namanya Evi…” Akbar membuka perkenalan.
Maka
langsung juga aku kenalkan diriku dan menyalami mereka satu per satu.
“Boleh
kita ngobrol-ngobrol?” Evi memulai. Mendapat anggukan setuju, maka Evi dan
Akbar bergantian bicara. Aku lebih banyak diam dan memperhatikan. Obrolan kami
cukup santai dan sesekali terseling iringan tawa.
“Jadi
kalau enggak ngamen, santai-santai aja bung?”
“Sebenarnya
enggak juga, bang. Kita juga punya komunitas anak jalanan. Ada namanya Papi
Suberi. Papi ini biasanya sering datang ke kita dan main-main. Kadang kita
diundang ke rumahnya.”
“Itu
kalau ke rumahnya ngapain aja?”
“Papi
Suberi sering ngajarin kita seni. Kita diajarin nyanyi. Ada juga yang lukis.
Belajar lah intinya. Katanya rumah itu, rumah sama-sama. Tapi, kita enggak semuanya
bisa bebas kesana.”
“Lho
kenapa?” Evi menanyakan serius.
“Kita
juga harus ngamen. Kita juga harus kasih setoran ke preman setempat. Kita ini
enggak punya rumah. Tidur di trotoar sini juga harus nyetor, bang.” Seru Acho,
pengamen termuda di rombongan ini. Ia tampak polos dan kerap bicara seadanya.
“Katanya
Papi Suberi ngasih tempat tinggal? Rumah sama-sama gitu….” Belum sempat aku
meneruskan, omonganku dipotong oleh Karno.
“Bukan
tempat tinggal, bang. Rumah sama-sama juga kalau Pak Suberinya ada di rumah.
Tapi, kalau ada istrinya, susah. Kita gak pernah nginap disana. Kita Cuma main,
malamnya kita pulang.”
“Jadi
untuk makan murni dari hasil ngamen?”
“Itulah
keadaannya. Cuma itu memang.”
“Enggak
pernah kepikiran pulang kampung?” Akbar penasaran.
“Kalau
pun ada juga percuma. Kita pulang berat diongkos. Sampai rumah Cuma jadi
sampah. Paling mentok nih ya bang, jadi preman kampung dah.”
Demikian
observasi kami. Banyak pertanyaan yang kami ajukan. Membuat diriku bertanya
kembali, bagaimana mereka bisa bertahan hidup dengan hasil ngamen dan itu juga
masih harus dibagi ke preman? Belum lagi mereka adalah perokok. Syukur-syukur
mereka tidak menyentuh narkoba. Aku saja hidup karena kiriman sebesar Rp.
900.000 per bulan juga rasanya tidak cukup. Sehingga memaksaku mencari uang
tambahan. Namun, mereka mampu hidup dalam keterbatasan. Juga, masih bisa
tertawa. Merasakan kebahagiaan bersama teman-temannya. Dan, mereka bebas,
setidaknya menentukan pilihan.
Ada
satu hal yang mengganggu pikiranku, adakah harapan yang mereka gantungkan? Atau
adakah kepercayaan dari diri mereka untuk suatu kehidupan? Laporan observasi
ini harusnya segera kutulis. Namun, pikiranku masih belum kokoh untuk
bersanding bersama hatiku, hatinya mereka. Maka sengaja aku pergi kembali pada
mereka, seorang diri. Malam ini juga.
Namun,
yang kutemui bukanlah Acho, Karno dan empat pengamen jalanan tadi. Aku justru
dikagetkan dengan hadirnya Kuncoro disana. Ngapain dia di tempat ini? Melihat
aku berjalan ke arahnya, dia langsung menyapa.
“Tumben
kau kesini.” Sambutnya senyum. Tumben? Apakah sering Ia kesini? Belum lagi aku
menanyakan rasa penasaranku, Ia sudah memulai:
“Bung-bung,
ini teman saya. Ayo, kenalan dulu.”
“Tadi
siang dia juga sudah kesini bang. Sama temen-temennya,” Acho yang tadi tidak
kelihatan, muncul dengan celana pendek dan berdada telanjang.
Mendengar
itu, Kuncoro kaget. “Oh ya? Ngapain kesini bung?”
“Enggak,
Cuma main-main sambil observasi. Kau ngapain disini?” Tanyaku masih penasaran.
“Hahaha.
Harusnya aku yang Tanya. Aku sudah hampir setiap malam kesini.”
“Ha?
Aku gak pernah tahu.” Jawabku bingung.
“Iya.
Biasanya sehabis main dengan kau, atau yang lain, aku biasa kesini. Ini lah
teman-temanku semua. Ayo, ayo, duduk disana,” ajaknya menuju kursi di dekat
taman alun-alun.
“Kau
sering kesini kenapa gak pernah cerita?”
“Buat
apa aku cerita, kau toh sibuk dengan belajar.”
“Ya,
kan kau temanku. Aneh rasanya teman sendiri enggak tahu.” Kataku.
“Hahaha.
Jangan seperti pacar yang pengen tahu segalanya ah. Hahaha.” Tawanya geli.
“Ini
lah bung, sumber-sumber hidupku. Kau sendiri yang bilang, menulis dengan hati
dan nurani manusia. Sebagai pesan. Inilah dia prosesnya. Bergaul bersama
mereka. Tahu tentang mereka. Hingga apa yang ditulis pun dengan sendirinya
datang dari hati.” Aku terkaget-kaget mendengar perkataannya. Seperti bukan
Kuncoro yang aku kenal.
“Ini
lah aku, bung. Aku bisa kemana saja kemana aku suka. Kemana hati meminta. Kau
ingat dengan tulisan Perempuan Penjaga
Zaman itu? Ya itu juga berawal dari hal-hal seperti ini.”
Ia
menjelaskan bahwa dirinya suka keluar malam sendirian. Kemana takdir meminta,
kemana arah meminta, Ia tuju. Ia
terjang. Hingga ia pun sampai di tempat plesiran. Suatu yang membawa Ia pada
perempuan sang penjaga. Sosok perempuan yang saat itu sedang sembunyi dari kejaran
mami-mami ‘penjaga’nya. Hingga ditemukan oleh Kuncoro. Dibawalah perempuan itu
oleh Kuncoro ke rumah Papi Suberi, seseorang yang telah lama menjadi sahabat
Kuncoro meski beratahun jarak usia diantara mereka. Papi Suberi telah sejak
lama menjadi ‘pelita’ bagi anak jalanan di hampir seluruh pelosok kota ini. Ia
memang tidak mampu memberi anyaman tempat tinggal, namun Papi Suberi mampu
memberi semangat dan motivasi pada anak-anak jalanan ini.
Papi
Suberi pula yang kerap mengajarkan seni gitar, piano, lukis dan baca-tulis.
Menurut anak Papi Suberi kepada Kuncoro, bahwa dulu sebelum Papi Suberi turun
aksi ke anak jalanan, beliau adalah seorang Direktur pada berbagai perusahaan
konstruksi, telekomunikasi, dan perusahaan tambang. Hingga pada suatu peristiwa dirinya diminta
oleh perusahaan untuk membebaskan lahan di kota seberang. Ternyata, pembebasan
lahan itu menimbulkan sengketa bersama penduduk setempat. Papi Suberi yang saat
itu mewakili kepentingan eksekutor lahan, memilih jalan keras hingga berujung pada
penggusuran paksa, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa di kalangan penduduk.
Berita itu tidak pernah tersiar ke media. Yang tersiar justru pemberitaan
megahnya pertambangan baru yang dibangun oleh pengusaha tersebut. Entah karena
kebetulan, Papi Suberi melihat detil dengan muka pucat pasi saat eksekusi lahan
dijalankan. Terlihat lah olehnya anak berumuran sekitar 10 tahun yang melihat
Ibu dan Bapaknya terkena pukulan para eksekutor. Anak itu diam dengan wajah
ketakutan. Melihat dengan sendiri orangtuanya tersungkur ke tanah dengan darah
melukiskan derita. Bayangan anak itu lah yang begitu menghantui perasaan Papi
Suberi. Tentu, Papi Suberi merasa berdosa. Hingga pada akhirnya, Ia memutuskan
berhenti bekerja di perusahaan tersebut. Alih-alih menebus dosa dan
menghilangkan luka anak yang ditinggal ayah dan ibunya tadi, maka Papi Suberi
memilih untuk lebih dekat bersama anak jalanan ini. Walau keluarga besarnya,
yang rata-rata partner bisnis Papi Suberi menentang keputusan itu.
“Kata
Papi Suberi sekali waktu, keluarganya menentang dengan dalih resiko dari
pekerjaan. Mau jadi apa lagi kalau tidak kerja begini? Inilah kenyataan di
negeri ini. Bahwa segala hal yang dapat menabur kita menjadi kaya akan dipuja
dan dihormati. Bahwa para sarjana pun dididik seperti itu. Ini lah mental
pengusaha-pengusaha, sebagai jalan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Pendidikan kita pun dicampuri, disertakan lah pendidikan berbasis kebutuhan
pengusaha tersebut. Kita lah yang menjadi bajingan.” Kuncoro bercerita panjang
lebar. Membuat aku bertanya-tanya dalam hati, sisi lain mana lagi yang tidak
kuketahui tentang anak ini? Anak yang biasa selalu mengembek padaku, anak yang
biasanya kuanggap remeh temeh dibandingkanku, anak yang ternyata luar biasa.
“Aku
tak tahu apakah perbuatan Papi Suberi selama ini sudah membuat Ia lepas dari
dosanya yang kelam. Namun, satu dari beliau yang bisa kupelajari, berbuatlah
karena itu yang harus diperbuat. Jangan berbuat karena desakan dan omongan yang
belum tentu sesuai dengan diri kita. Aku ini, bung, mungkin seperti tidak punya
arah. Iya, memang begitu. Kadang angin-anginan dan gak pasti. Tapi, itu lah
takdir. Membawaku terus menerus dalam ketidak-pastian dan rangkaian
kemungkinan-kemungkinan. Aku hanya perlu berbuat.”
Selagi
aku masih takjub dengan perktaan dari sahabatku ini, Ia memulai lagi:
“Kiranya
kau sudah membaca tulisanku yang berjudul “POLA”. Belum? Sedikit banyak tentang
dirimu. Seorang yang kata Akbar hidup digantungkan oleh bisikan zaman. Bisikan
zaman yang dibisikkan melalui impian orang tua pada anaknya. Memang itulah
dirimu. Aku lebih mengenalmu dibanding yang lain. Aku selalu terima apa yang
kau bilang, meski aku sudah tahu. Tapi, itu lah kau. Aku memilih jalanku
sendiri. Lepas dari desakan apa pun. Lepas dari tuntutan apa pun.
“Kata-kata
Akbar pada kau itu benar. Kita hidup tak perlu bergantung pada kemapanan yang
sudah ada. Jangan menakutkan pada hal yang belum pasti kebenarannya. Bahwa
kekhawatiran masa depanmu oleh orang tua itu patut dimaklumi. Namun, pada
akhirnya, kau yang menjalani hidup, bukan mereka. Hiduplah kawan. Akhir-akhir
ini kau tidak pernah merasa begitu ceria. Hidupkan dirimu. Biar pikiran maju
dan mau berpikir. Sengaja aku kasih tulisan-tulisanku padamu, supaya kau dapat
mengintip pesan yang kutulis. Kau sahabatku dan tak ada seorang sahabat yang
rela lihat sahabatnya dirundung pilu, apalagi kebingungan.”
Entah
apa yang kurasa. Kuncoro jauh lebih luar biasa dibandingkan apa yang sudah aku
pikirkan. Ah. Prasangka. Betapa bodohonya aku terjebak pada prasangka. Ah. Kemapanan
sosial. Entah berapa kali aku diombang-ambing ombak mainstream ini. Kuncoro, sahabatku, lebih dari yang kukenal, terima
kasih.
Malang, 17 Januari 2014
Aqsha Al Akbar
No comments:
Post a Comment
Silahkan komen yaa