Monday 13 January 2014

Kehidupan Belum Bahagia



Kalau menulis adalah langkah terbaik, maka menulis. Tentu tidak ada yang tahu bagaimana rasanya tenggelam dalam kepahitan tanpa kenangan abadi. Tentu juga tidak ada yang tahu bagaimana rasanya suka gemilang tanpa adanya ingatan bertinta. Aku telah hidup bersandar suka pun duka. Dikalungi cinta dan berlayar sepi. Tapi hidup tak melulu seperti itu. 

Columbus bisa saja menemu benua. Tapi, sebagai pribadi, aku pun harus menemu dunia. Tak mesti berkelana berpetualang bagai elang. Melalui pandangan dan rasa yang ada pada orang lain. Ya, berbagi. Dari berbagi, pandangan sempit menjadi luas. Menjadi bermakna jika disertai ketulusan. Keikhlasan. Aku bersyukur menemu hal ini. Mengarungi tulisan hebat, berkelakar pada baitnya dan menjadi tokoh dalam kisahnya, cukup untuk menerbitkan edisi Columbus-ku sendiri.


Baru-baru ini tidak ada yang begitu spesial selain keadaan yang semakin tak karuan. Aku telah lama hilang semangat membaca. Hanya saja menulis semakin giat. Namun, menulis pun sepertinya menemui kebuntuan. Petaka alami yang pasti tiba jika senang menulis. Kuputuskan untuk kembali membaca, alih-alih menemukan ide yang lebih segar, aku justru bergulat pada segi yang telah lama kutinggal: tentang bagaimana humanisme menjalar pada tubuh dan pikiran serta nurani.

Jika ada, bait kehidupan mana yang menelurkan era kejayaan dan kemakmuran di negeriku? Ini lah bangsa yang tertinggal dari Eropa juga macan-macan Asia. Sepintas aku merasa tak merasa ada yang salah dengan kehidupan kini. Orang bekerja. Menikmati hiburan dan mengkreasikan hal yang diulang-ulang. Semua seperti dalam alurnya yang tepat. Namun, pada titik mana orang merasa, ini Indonesia kehilangan muka? Atau setidaknya aku, setelah kupikir dalam, tanpa sepintas selayang pandang, aku menemukan diri yang sangat tidak bahagia.

Aku pernah menulis puisi tentang kegusaranku pada zaman ini. Keadaan dimana aku tidak melihat senyuman suci dari zaman ini. Ketika negara hanya dijadikan dagelan para pembesar. Ketika hukum dikebiri oleh mafia. Ketika pikiran dan ide hanyalah pelengkap kabar. Ketika yang kuat selalu menista yang lemah. Lalu, pelan-pelan aku menyetujui, mengakui, aku malu. Belum-belum aku sempat melihat keluarga tersenyum, senyum pada diri sendiri saja diliputi keengganan. 

Orang mendewakan demokrasi. Presiden SBY pun gila demokrasi. Tapi, agaknya persepsi demokrasi yang umum justru menikam bangsa ini. Aku tidak melihat kekuatan demokrasi di sendi bangsa ini. Selain hanya formalitas yang diajukan liberal, demokrasi di negeri tertinggal ini tak berbentuk. Kita bukan lah bangsa barat dengan segala macam corak kebebasannya. Kita adalah bangsa yang dibangun melalui peradaban yang panjang. Dibangun melalui revolusi kemerdekaan demi menghapus penjajahan. Kita mendirikan azas sebagai patron kehidupan berbangsa. Pancasila azasnya. Kalau lah hendak menopang bangsa dengan demokrasi, tentu pancasila adalah fondasinya. Kalau lah pancasila fondasinya, tentu kemakmuran adalah bangunannya.

Namun, pemimpin di bangsa ini hilang budi dan akal. Terlalu menghamba pada dunia lain. Lupa kebutuhan bangsa. Lupa bahwa bangsa ini masih keropos. Lupa budaya bangsa ini terkikis. Lupa. Lupa. Lupa. Atau barangkali tidak mau tahu? Ia membawa negeri ini masuk pada pasar bebas. Menyeru agar bersaing dengan bangsa lain dan 'berbicara' banyak di pentas internasional. Tapi, bangsa ini keropos. Alih-alih mau bersaing, berlomba, kita telah terbunuh. Bahkan sudah terbunuh dalam ide sebelum sempat berada di jalur lomba. Selain tidak didukung prasarana yang mantap, bangsa ini harus rela meratapi segi kehidupan lain berupa pendidikan yang bercorak kapitalis, infrastruktur berfondasi nepotisme, dan banyak lain. Sudah bullshit kiranya menyerukan bangsa ini untuk bersaing. Kiranya mereka yang membuka jalan global ini, sebutlah WTO, tentu tidak akan menginginkan bangsa nun jauh ini menguasai. Tidak. Kita mantan jajahan yang kembali jadi sapi perahan. 

Kalau lah pemimpin bangsa ini tidak datang dari mereka yang humanis dan berkarakter pancasila, dagelan di atas realita kiranya jadi sebagai sebuah novel. Sebuah novel yang berteriak di balik kata dan bersimbah luka. Yang mau bahagia silahkan nikmati secara khayal. Yang duka lebih bijak, duka bersama cerita atau realita. Sampai saat itu, yang kutahu, kehidupan tak kunjung bahagia. Tinggal bagaimana zaman mengakhiri kepelikan ini menjadi sebuah titikbalik (dengan pesimis yang menggunung).

Malang, 13 Januari 2014
Aqsha Al Akbar

No comments:

Post a Comment

Silahkan komen yaa