Seperti biasa, dalam roda
kehidupan manusia terpencar-pencar dalam satu kesatuan. Yang di atas berlena
sejenak atau selamanya, yang dibawah merangkak naik atau mengiba selamanya.
Semuanya beradu dalam grafik yang dinamis. Tarik-menarik tentu sudah lumrah. Semakin
merasa kemenangan, semakin dekat jua turunan yang curam. Agaknya memang begitu
hidup ini.
Tidak sedikit yang mengambil
jalan tengah. Memilih atau memutuskan sisi yang aman saja. Tidak banyak pula
yang mengambil sisi yang terjal. Memilih dan menantang curamnya hidup. Gagal
pun menjadi lain persepsinya. Demikian pun berhasil. Keduanya berada pada
garisnya masing-masing. Yang menjadi pembeda adalah titik balik. Tentu titik
balik ini terjadi setelah adanya tahapan yang berulang. Pola umumnya: berdiri, merangkak,
berjalan, berlari dan menang. Kalau berdiri sampai berlari berarti proses, maka
menang adalah hasil. Namun, hidup bumi tidak mungkin diisi oleh satu pemenang
saja, ada milyaran orang yang pernah/telah memenangkannya, apa pun itu. Rantai
pemenang pun tak putus-putus, setelah si pertama yang menang, si kedua
mengalahkan si pertama; jadilah si kedua yang menang. Begitu terus prosesnya
sampai si terakhir. Itu pola umumnya.
Titik balik, adalah
perulangannya. Bersyukur kalau mentalitas dan karakter sudah punya. Mau menang,
harus berani kalah. Berani kalah, harus berani bangkit. Berani bangkit, harus
berani terima resiko. Seperti itu terus.
Tentang titik balik ini, saya teringat
pada kekaguman saya pada sosok Tirto Adhi Suryo, atau nama sesuai gelarnya
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Barangkali sangat sedikit yang mengenal sosok
pahlawan Indonesia ini. Dalam berbagai literature sejarah dari SD hingga SMA
atau bahkan universitas, nama orang ini kurang begitu akrab, kecuali mungkin
mereka yang berada di bidang jurnalistik. Iya, Tirto Adhi Soerjo (TAS) adalah
salah seorang tokoh pers nasional. TAS memulai karir pers-nya dengan mendirikan
surat kabar Soenda Berita(berdasarkan info Wikipedia Indonesia) dan Medan
Prijaji. Sebelumnya, tidak ada satu pun pribumi (seorang kelahiran Indonesia
asli pada masa zaman colonial Belanda) yang memiliki surat kabar sendiri;
mandiri, bebas, berbahasa melayu (Indonesia) dan mencerahkan.
Sosoknya yang menentang
penjajahan Belanda dan pemikiran kolot pada kebudayaan di lingkungan sosialnya,
membentuk karakter TAS menjadi seorang yang pemberani. Bagi saya, TAS lah yang
membuka keran perjuangan menyeluruh Indonesia untuk kemerdekaan. Dengan banyaknya
masyarakat yang demikian terbelakangnya dalam segi pemikiran dan peri
kehidupan, TAS merasa terpekik dan tergugah untuk merubah semua itu. Di tengah
bencinya Ia pada pemerintah Hindia Belanda pada saat itu, maka dengan penanya
yang tajam, mulai lah dia berpropaganda dalam rangka mencerdaskan masyarakat
Indonesia. TAS pula orang melatarbelakangi terbentuknya organisasi Syarikat
Prijaji dan Syarikat Dagang Islam (yang kemudian berkembang besar menjadi
sebuah partai politik). Namun, kebanyakan orang lebih mengenal Haji Samanhudi
atau Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Nama yang terakhir lebih popular, karena
memang mertua pertama sekaligus guru Soekarno. Dalam banyak referensi, saya
sendiri menemukan bahwa TAS lah sangat berperan mendirikan SDI tersebut.
TAS, dalam perjuangannya
membangun nasion Indonesia pertama, dijejali dengan segudang cobaan dan
rintangan. Tidak mudah sama sekali. Dia adalah seorang keturunan bangsawan Jawa.
Dalam kehidupan awalnya dulu, adat jawa sungguh sangat kental. Tidak sedikit
yang menyatakan, bahwa satu-satunya pribumi hanyalah bangsa Jawa. Pendapat ini
ditentang oleh TAS, yang mengatakan bahwa pribumi adalah mereka yang berada
dalam himpitan dan jajahan Hindia Belanda, artinya dari Aceh hingga Papua
adalah pribumi. Persoalan ini tidak mudah sama sekali. Dengan banyaknya bangsa
(suku) yang mengungguli kelompoknya sendiri, impian pembentukan nasion mulai
menemukan batu terjal pertama. TAS adalah orang yang menganggap bahwa Indonesia
pada saat itu adalah bangsa-ganda, bukan bangsa tunggal mendapat bermacam
reaksi. Terutama mengenai jasa dan bahasa. Umumnya masyarakat Jawa tidak bisa
berbahasa melayu, dikarenakan kehidupan sehari-harinya berbahasa jawa, terutama
di lingkungan prijaji. Sebagian lainnya berbahasa Belanda. Masalah jasa, sejak
lama Jawa sudah dikirim kemana-mana di dataran Indonesia, bekerja sebagai ini,
itu, bangun ini, itu. Dan ini lah yang menganggap beberapa superioritas Jawa
tidak serta merta disamakan dengan non-Jawa. Karena ini lah, lahir Medan
Prijaji.
Sebelum memulai memimpin Medan
Prijaji, TAS adalah seorang mahasiswa kedokteran STOVIA. Namun, alih-alih ingin
mendapat penghidupan yang layak dengan menjadi seorang dokter yang mengabdi
pada Gubermen, TAS justru dipecat dari sekolah tingginya itu. Tentu, ini
pukulan telak untuk seseroang yang cerdas seperti dirinya. Terlebih, mereka
yang berada di STOVIA adalah mereka yang benar-benar pintar secara keilmuan. Dan
petaka ini, adalah titik balik dari lahirnya TAS yang sesungguhnya dengan Koran
bikinannya itu.
Medan Prijaji yang dikomandoi
TAS ini, sengaja memilih bahasa melayu yang dianggap oleh TAS merupakan bahasa
pemersatu dan bahasa yang praktis. Praktis, karena ia gampang dilafalkan. Tidak
seperti bahasa Jawa yang tentunya sulit diucapkan oleh bangsa atau suku lain
non-Jawa. Selain perkenaan bahasa, hal yang penting dalam membentuk nasion
adalah, persatuan yang radikal. Disini TAS lagi-lagi mengambil peranan yang
besar. Digunakannya Medan Prijaji sebagai obat ampuh pelawan penindasan hukum
oleh penguasa (karena memang tersedia ‘rubrik’ pengaduan masalah-masalah
hukum), TAS dengan berani menyatakan ketimpangan pemerintahan Hindia Belanda
pada saat itu. Sikap Medan Prijaji yang berpihak pada kepentingan pribumi,
menjadikannya sebagai satu-satunya surat kabar yang berani mengkritik Hindia
Belanda, melalui jalan legal disertai bukti hukum yang kuat dan tentu, oleh
kaum pribumi.
Tidak jarang, TAS diserang oleh
berbagai pihak yang berada di pihak Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada masa
Van Heutz menjabat, tekanan yang datang pada TAS hanyalah berupa ancaman surat
kaleng dan terror tidak langsung padanya. Namun, setelah era Van Heutz, era
Idenburg dimulai. Misi awal Idenburg saat pertama menjabat yakni berusaha
membangkitkan perekonomian Hindia Belanda, terutama dengan banyaknya dana
Hindia Belanda yang terkuras pada pembiayaan perang, terutama Perang Aceh. Hal ini
juga dilatar-belakangi oleh Van Heutz, yang pada masa sebelum hingga menjabat
sebagai Gubernur Jenderal, Ia adalah seorang petinggi militer yang ‘menaklukan’
Aceh setelah puluhan tahun tidak mampu. Saat menjabat pun, Van Heutz lebih
mengutamakan pengutuhan wilayah Hindia-Belanda. Dan, ini artinya perang. Perang
tentu memakan biaya. Ihwal biaya ini lah yang dibawa oleh Idenburg.
Di era Idenburg ini lah, petaka
menghampiri kembali TAS. Setelah sebelumnya Medan Prijaji menjadi salah satu
media massa terbesar di Indonesia dan bersaing ketat dengan kekuatan pers colonial.
Bahkan, dari berbagai dorongan dan kekuatan Medan Prijaji pula lah SDI pun
mekar namanya hingga ke pentas dunia. Masyarakat Indonesia mulai tergugah. Kehidupan
ekonomi, pelan-pelan meningkat. Sungguh prestasi luar biasa bagi TAS juga ‘anak-anak’nya.
Bayangkan, seorang Pribumi mampu berdiri dengan gemilang ditengah cengkraman
penjajahan. Namun, seperti yang saya sebut di atas, dalam polanya, pemenang
tidak hanya satu. Tingginya nikmat kemenangan, hanya seinci saja jaraknya
dengan jurang yang terjal menukik turun.
Begitu juga yang terjadi dengan
TAS, setelah korannya Medan Prijaji seakan ‘bebas’ menghantam kebijakan Hindia
Belanda, kali ini serangan itu berbalik ke diri TAS. Dengan dalih karena tulisan
tentang penyalah gunaa kekuasaan oleh pejabat pemerintah yang dianggap
mengganggu pemerintah colonial, TAS harus rela dijatuhi hukuman dan di buang ke
Lampung selama tiga bulan. Namun, ibarat pola kehidupan, TAS kembali dan
memulai lagi pergerakannya.
Namun, setelah berjuang dan
mendapatkan kesuksesan dengan Medan Prijaji, badai yang sesungguhnya baru tiba
pada 1913 (ada juga yang mengatakan 1912), setelah dituduh karena memiliki
utang yang tak terbayar, TAS akhirnya benar-benar habis. Ia dibuang kembali. Kali
ini ke Pulau Bacan, Maluku Utara. Sebuah dalih yang direka-reka oleh pemerintah
colonial, mengingat Medan Prijaji adalah media massa besar dengan pelanggan
yang mencapai ribuan. Terlebih TAS juga memiliki hotel dan simpanan sejak
masa-masanya dahulu.
Dengan diasingkannya TAS ke
Pulau Bacan, maka Medan Prijaji pun ikut tenggelam. TAS berada dua tahun di
Pulau Bacan. Pada saat itu, geliat kebangkitan nasionalisme Indonesia sedang
mulai tumbuh. Sekembalinya TAS dari pengasingan, ia sudah nyaris tidak dikenal.
Ia tinggal di selama sisa hidupnya di hotel miliknya sendiri. Dengan propaganda
colonial yang membenci dirinya, TAS dikabarkan memiliki penyakit yang menular,
sehingga taka da sahabat-sahabat dekatnya yang menjenguk. Ia mati dalam
keterasingan. Setidaknya itu lah gambaran yang diberikan oleh Mas Marco,
seorang pengagum dan murid langsung TAS. Hilang semuanya. Perjuangannya terkubur
oleh sejarah. Kematiannya pun tak berkenang. Terlebih, tidak ada satu pun surat
kabar yang mengabarkannya. Asing. Sepi.
Hidup. Berawal dari mula, awal. Melangkah.
Berlari hingga berada pada puncak. Gagal. Titik balik menjadi garis yang
ditarik. Tirto Adhi Soejo, adalah sosok titik balik. Mau melihat titik balik
pers, lihat lah Tirto. Mau melihat titik balik perjuangan Indonesia, lihatlah
Tirto. Titik Balik.
*Tirto Adhi Soerjo adalah pahlawan nasional RESMI. Ia juga bapak Pers Nasional. Kisahnya diangkat dalam sebuah novel berjudul JEJAK LANGKAH, sebuah buku ke-3 dari Tetralogi Buru, Pramoedya Ananta Toer.
*Tirto Adhi Soerjo adalah pahlawan nasional RESMI. Ia juga bapak Pers Nasional. Kisahnya diangkat dalam sebuah novel berjudul JEJAK LANGKAH, sebuah buku ke-3 dari Tetralogi Buru, Pramoedya Ananta Toer.
Malang, 22
Januari 2014
Aqsha Al
Akbar
No comments:
Post a Comment
Silahkan komen yaa