Wednesday 22 January 2014

Titik Balik


Seperti biasa, dalam roda kehidupan manusia terpencar-pencar dalam satu kesatuan. Yang di atas berlena sejenak atau selamanya, yang dibawah merangkak naik atau mengiba selamanya. Semuanya beradu dalam grafik yang dinamis. Tarik-menarik tentu sudah lumrah. Semakin merasa kemenangan, semakin dekat jua turunan yang curam. Agaknya memang begitu hidup ini.

 
Tidak sedikit yang mengambil jalan tengah. Memilih atau memutuskan sisi yang aman saja. Tidak banyak pula yang mengambil sisi yang terjal. Memilih dan menantang curamnya hidup. Gagal pun menjadi lain persepsinya. Demikian pun berhasil. Keduanya berada pada garisnya masing-masing. Yang menjadi pembeda adalah titik balik. Tentu titik balik ini terjadi setelah adanya tahapan yang berulang. Pola umumnya: berdiri, merangkak, berjalan, berlari dan menang. Kalau berdiri sampai berlari berarti proses, maka menang adalah hasil. Namun, hidup bumi tidak mungkin diisi oleh satu pemenang saja, ada milyaran orang yang pernah/telah memenangkannya, apa pun itu. Rantai pemenang pun tak putus-putus, setelah si pertama yang menang, si kedua mengalahkan si pertama; jadilah si kedua yang menang. Begitu terus prosesnya sampai si terakhir. Itu pola umumnya.
Titik balik, adalah perulangannya. Bersyukur kalau mentalitas dan karakter sudah punya. Mau menang, harus berani kalah. Berani kalah, harus berani bangkit. Berani bangkit, harus berani terima resiko. Seperti itu terus.
Tentang titik balik ini, saya teringat pada kekaguman saya pada sosok Tirto Adhi Suryo, atau nama sesuai gelarnya Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Barangkali sangat sedikit yang mengenal sosok pahlawan Indonesia ini. Dalam berbagai literature sejarah dari SD hingga SMA atau bahkan universitas, nama orang ini kurang begitu akrab, kecuali mungkin mereka yang berada di bidang jurnalistik. Iya, Tirto Adhi Soerjo (TAS) adalah salah seorang tokoh pers nasional. TAS memulai karir pers-nya dengan mendirikan surat kabar Soenda Berita(berdasarkan info Wikipedia Indonesia) dan Medan Prijaji. Sebelumnya, tidak ada satu pun pribumi (seorang kelahiran Indonesia asli pada masa zaman colonial Belanda) yang memiliki surat kabar sendiri; mandiri, bebas, berbahasa melayu (Indonesia) dan mencerahkan.
Sosoknya yang menentang penjajahan Belanda dan pemikiran kolot pada kebudayaan di lingkungan sosialnya, membentuk karakter TAS menjadi seorang yang pemberani. Bagi saya, TAS lah yang membuka keran perjuangan menyeluruh Indonesia untuk kemerdekaan. Dengan banyaknya masyarakat yang demikian terbelakangnya dalam segi pemikiran dan peri kehidupan, TAS merasa terpekik dan tergugah untuk merubah semua itu. Di tengah bencinya Ia pada pemerintah Hindia Belanda pada saat itu, maka dengan penanya yang tajam, mulai lah dia berpropaganda dalam rangka mencerdaskan masyarakat Indonesia. TAS pula orang melatarbelakangi terbentuknya organisasi Syarikat Prijaji dan Syarikat Dagang Islam (yang kemudian berkembang besar menjadi sebuah partai politik). Namun, kebanyakan orang lebih mengenal Haji Samanhudi atau Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Nama yang terakhir lebih popular, karena memang mertua pertama sekaligus guru Soekarno. Dalam banyak referensi, saya sendiri menemukan bahwa TAS lah sangat berperan mendirikan SDI tersebut.
TAS, dalam perjuangannya membangun nasion Indonesia pertama, dijejali dengan segudang cobaan dan rintangan. Tidak mudah sama sekali. Dia adalah seorang keturunan bangsawan Jawa. Dalam kehidupan awalnya dulu, adat jawa sungguh sangat kental. Tidak sedikit yang menyatakan, bahwa satu-satunya pribumi hanyalah bangsa Jawa. Pendapat ini ditentang oleh TAS, yang mengatakan bahwa pribumi adalah mereka yang berada dalam himpitan dan jajahan Hindia Belanda, artinya dari Aceh hingga Papua adalah pribumi. Persoalan ini tidak mudah sama sekali. Dengan banyaknya bangsa (suku) yang mengungguli kelompoknya sendiri, impian pembentukan nasion mulai menemukan batu terjal pertama. TAS adalah orang yang menganggap bahwa Indonesia pada saat itu adalah bangsa-ganda, bukan bangsa tunggal mendapat bermacam reaksi. Terutama mengenai jasa dan bahasa. Umumnya masyarakat Jawa tidak bisa berbahasa melayu, dikarenakan kehidupan sehari-harinya berbahasa jawa, terutama di lingkungan prijaji. Sebagian lainnya berbahasa Belanda. Masalah jasa, sejak lama Jawa sudah dikirim kemana-mana di dataran Indonesia, bekerja sebagai ini, itu, bangun ini, itu. Dan ini lah yang menganggap beberapa superioritas Jawa tidak serta merta disamakan dengan non-Jawa. Karena ini lah, lahir Medan Prijaji.
Sebelum memulai memimpin Medan Prijaji, TAS adalah seorang mahasiswa kedokteran STOVIA. Namun, alih-alih ingin mendapat penghidupan yang layak dengan menjadi seorang dokter yang mengabdi pada Gubermen, TAS justru dipecat dari sekolah tingginya itu. Tentu, ini pukulan telak untuk seseroang yang cerdas seperti dirinya. Terlebih, mereka yang berada di STOVIA adalah mereka yang benar-benar pintar secara keilmuan. Dan petaka ini, adalah titik balik dari lahirnya TAS yang sesungguhnya dengan Koran bikinannya itu.
Medan Prijaji yang dikomandoi TAS ini, sengaja memilih bahasa melayu yang dianggap oleh TAS merupakan bahasa pemersatu dan bahasa yang praktis. Praktis, karena ia gampang dilafalkan. Tidak seperti bahasa Jawa yang tentunya sulit diucapkan oleh bangsa atau suku lain non-Jawa. Selain perkenaan bahasa, hal yang penting dalam membentuk nasion adalah, persatuan yang radikal. Disini TAS lagi-lagi mengambil peranan yang besar. Digunakannya Medan Prijaji sebagai obat ampuh pelawan penindasan hukum oleh penguasa (karena memang tersedia ‘rubrik’ pengaduan masalah-masalah hukum), TAS dengan berani menyatakan ketimpangan pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu. Sikap Medan Prijaji yang berpihak pada kepentingan pribumi, menjadikannya sebagai satu-satunya surat kabar yang berani mengkritik Hindia Belanda, melalui jalan legal disertai bukti hukum yang kuat dan tentu, oleh kaum pribumi.  
Tidak jarang, TAS diserang oleh berbagai pihak yang berada di pihak Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada masa Van Heutz menjabat, tekanan yang datang pada TAS hanyalah berupa ancaman surat kaleng dan terror tidak langsung padanya. Namun, setelah era Van Heutz, era Idenburg dimulai. Misi awal Idenburg saat pertama menjabat yakni berusaha membangkitkan perekonomian Hindia Belanda, terutama dengan banyaknya dana Hindia Belanda yang terkuras pada pembiayaan perang, terutama Perang Aceh. Hal ini juga dilatar-belakangi oleh Van Heutz, yang pada masa sebelum hingga menjabat sebagai Gubernur Jenderal, Ia adalah seorang petinggi militer yang ‘menaklukan’ Aceh setelah puluhan tahun tidak mampu. Saat menjabat pun, Van Heutz lebih mengutamakan pengutuhan wilayah Hindia-Belanda. Dan, ini artinya perang. Perang tentu memakan biaya. Ihwal biaya ini lah yang dibawa oleh Idenburg.
Di era Idenburg ini lah, petaka menghampiri kembali TAS. Setelah sebelumnya Medan Prijaji menjadi salah satu media massa terbesar di Indonesia dan bersaing ketat dengan kekuatan pers colonial. Bahkan, dari berbagai dorongan dan kekuatan Medan Prijaji pula lah SDI pun mekar namanya hingga ke pentas dunia. Masyarakat Indonesia mulai tergugah. Kehidupan ekonomi, pelan-pelan meningkat. Sungguh prestasi luar biasa bagi TAS juga ‘anak-anak’nya. Bayangkan, seorang Pribumi mampu berdiri dengan gemilang ditengah cengkraman penjajahan. Namun, seperti yang saya sebut di atas, dalam polanya, pemenang tidak hanya satu. Tingginya nikmat kemenangan, hanya seinci saja jaraknya dengan jurang yang terjal menukik turun.
Begitu juga yang terjadi dengan TAS, setelah korannya Medan Prijaji seakan ‘bebas’ menghantam kebijakan Hindia Belanda, kali ini serangan itu berbalik ke diri TAS. Dengan dalih karena tulisan tentang penyalah gunaa kekuasaan oleh pejabat pemerintah yang dianggap mengganggu pemerintah colonial, TAS harus rela dijatuhi hukuman dan di buang ke Lampung selama tiga bulan. Namun, ibarat pola kehidupan, TAS kembali dan memulai lagi pergerakannya.
Namun, setelah berjuang dan mendapatkan kesuksesan dengan Medan Prijaji, badai yang sesungguhnya baru tiba pada 1913 (ada juga yang mengatakan 1912), setelah dituduh karena memiliki utang yang tak terbayar, TAS akhirnya benar-benar habis. Ia dibuang kembali. Kali ini ke Pulau Bacan, Maluku Utara. Sebuah dalih yang direka-reka oleh pemerintah colonial, mengingat Medan Prijaji adalah media massa besar dengan pelanggan yang mencapai ribuan. Terlebih TAS juga memiliki hotel dan simpanan sejak masa-masanya dahulu.
Dengan diasingkannya TAS ke Pulau Bacan, maka Medan Prijaji pun ikut tenggelam. TAS berada dua tahun di Pulau Bacan. Pada saat itu, geliat kebangkitan nasionalisme Indonesia sedang mulai tumbuh. Sekembalinya TAS dari pengasingan, ia sudah nyaris tidak dikenal. Ia tinggal di selama sisa hidupnya di hotel miliknya sendiri. Dengan propaganda colonial yang membenci dirinya, TAS dikabarkan memiliki penyakit yang menular, sehingga taka da sahabat-sahabat dekatnya yang menjenguk. Ia mati dalam keterasingan. Setidaknya itu lah gambaran yang diberikan oleh Mas Marco, seorang pengagum dan murid langsung TAS. Hilang semuanya. Perjuangannya terkubur oleh sejarah. Kematiannya pun tak berkenang. Terlebih, tidak ada satu pun surat kabar yang mengabarkannya. Asing. Sepi.
Hidup. Berawal dari mula, awal. Melangkah. Berlari hingga berada pada puncak. Gagal. Titik balik menjadi garis yang ditarik. Tirto Adhi Soejo, adalah sosok titik balik. Mau melihat titik balik pers, lihat lah Tirto. Mau melihat titik balik perjuangan Indonesia, lihatlah Tirto. Titik Balik.

*Tirto Adhi Soerjo adalah pahlawan nasional RESMI. Ia juga bapak Pers Nasional. Kisahnya diangkat dalam sebuah novel berjudul JEJAK LANGKAH, sebuah buku ke-3 dari Tetralogi Buru, Pramoedya Ananta Toer.

Malang, 22 Januari 2014
Aqsha Al Akbar

No comments:

Post a Comment

Silahkan komen yaa