![]() |
El Commandante, Hugo Chavez |
Awal Maret 2013 lalu, publik Venezuela tumpah ruah ke jalanan
kota, terutama di ibu kota, Caracas. Bukan untuk unjuk rasa atau memperingati
hari besar nasional. Bukan, hari itu tanggal 5 Mei 2013 dan hari-hari
berikutnya, warga Venezuela diselimuti duka. Betapa tidak, El Commandante Hugo Chavez meninggal dunia akibat penyakit kanker
yang menghantuinya selama dua tahun. Kabar ini jelas merupakan pukulan telak bagi warga
Venezuela, terlebih bagi masyarakat miskin di sana.
![]() |
Jutaan warga Venezuela mengantar Chavez menuju pemakamannya |
Tangisan dan perasaan tidak rela warga Venezuela setelah ditinggal
oleh sang pemimpin besar Revolusi Venezuela, seakan menegasikan stigma buruk
yang disematkan oleh Amerika Serikat dan media pro Paman Sam tersebut. Gambaran
yang menyebut Chavez sebagai pemimpin diktator dan tidak berperikemanusiaan
bagi rakyatnya sendiri, terbukti salah besar! Isak tangis dan rasa cinta warga
Venezuela adalah jawaban jelas, bahwa sang El
Commandante adalah figur yang dikagumi oleh jutaan warganya.
![]() |
Tangisan warga Venezuela setelah ditinggal Chavez |
Lantas mengapa AS begitu “anti” terhadap Chavez? Seringkali
ia disebut sebagai sosok yang paling berbahaya bagi Amerika Latin dan juga
dunia. Tentu tidak sulit menjawab pertanyaan lugu tentang sikap AS tersebut. Sejak
Chavez menjabat sebagai presiden, dengan berani ia melepaskan Venezuela dari
cengkraman modal AS. Menghilangkan pengaruh AS di Venezuela yang telah subur
sebelumnya. Chavez, yang sempat dipenjara (tahanan politik) layaknya sang guru, Fidel Castro,
naik ke podium presiden setelah memenangkan pemilu akhir tahun 1998. Dengan sigap
ia nasionalisasikan aset bangsa yang selama ini dikuasai pihak swasta lokal
maupun asing.
Tentu saja hal ini membuat AS kebakaran jenggot. Pasalnya,
Venezuela dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan minyak melimpah. Kebijakan
ekonomi Hugo Chavez yang sosialis, memang menggiring Venezuela menjadi negara
independen dalam pengembangan ekonomi. Belum lagi, kebencian AS dilatar
belakangi oleh perbedaan ideologi, “Kiri” vs
“Kanan”. Kiri jelaslah sebuah gelar bagi negara penganut paham yang
dicetuskan oleh Karl Marx. Sedangkan Kanan, adalah sebuah ideologi yang mendewakan
liberalisme dan pemenuhan hak individu seluas-luasnya. Perang ideologi ini
secara signifikan mempengaruhi wilayah Amerika Latin lainnya. Sebuah kondisi
yang mengkhawatirkan bagai hegemoni AS yang telah tumbuh begitu mekarnya. Tak pelak,
konfrontasi Venezuela terhadap AS (kebijakan kapitalisnya) ibarat Perang Dingin
masa lampau. Dimana AS dan kekuatan dari timur Uni Soviet bersitegang dalam
arena ideologi.
Baik AS dan Uni Soviet kala itu, berebut kekuatan dan
pengaruh. Muncul gerakan Blok Timur di bawah naungan Pakta Warsawa dan NATO
bikinan AS serta sekutu sebagai perwakilan Blok Barat. Apa yang dilakukan Hugo
Chavez selama memimpin Venezuela juga menyerupai Uni Soviet. Bersama Evo Morales
(Bolivia) dan Rafael Correa (Ekuador), mereka “berdakwah” mengajarkan rasa
cinta pada bangsa sendiri dan kemanusiaan lewat sosialisme. Sekarang, wajah
Amerika Selatan/Amerika Latin menjadi wilayah “merah” alias negara-negara
berhaluan sosialis. Ini pula yang membuat AS dan sekutunya di Eropa ketakutan.
Bujuk rayu AS dan Eropa yang menerapkan kebijakan ekonomi
kapitalis sebagai candu bagi negara miskin, jelas merupakan bentuk soft colonialism di era modern. Dalih-dalih
mengamankan keuangan negara miskin dengan memberi “bantuan” berupa utang,
justru malah menjebloskan negara penerima bantuan ke dalam jurang kemiskinan
yang paling fundamental. Taktik AS dan sekutu inilah yang ditolak oleh
mayoritas negara anggota CELAC, sebuah komunitas negara Amerika Latin dan
Karibia.
Sudah banyak contoh yang menggambarkan kesemena-menaan AS
dalam melebarkan sayap kapitalismenya di dunia. Tidak usah jauh-jauh, di
Indonesia sendiri perusahaan AS berdiri dengan lempangnya dari ujung Sumatera
hingga ujung timur Indonesia. Sedangkan hasilnya bagi pribumi Indonesia? Nol besar!
Inilah permainan utama kapitalisme dalam memperkaya diri atau korporasi tanpa
kenal batas. Hal ini pula yang melatarbelakangi pola pikir subversif Chavez
terhadap perekonomian yang selama bertahun-tahun dianggap “mencerahkan” dunia. Ia
tidak segan menghantam AS dengan gaung revolusi negerinya dan kemandirian
bangsanya. Seolah ingin membuktikan, negara manapun mampu berdiri tegak tanpa
pasokan dana yang menuntut pembalasan budi ala AS.
Ketegasan Chavez tidak melulu tentang sikapnya yang kontra
terhadap AS. Tetapi ia juga begitu tegas menyikapi berbagai isu global lainnya.
Konflik Israel-Palestina adalah salah satunya. Ia sangat membenci Israel yang
terus menerus memborbardir Gaza. Karena marah dengan Israel, dengan tegas ia usir
perwakilan duta besar Israel di Venezuela. Sekaligus ia juga menegur Arab Saudi
yang cenderung “adem ayem” melihat tetangga muslimnya dihancurkan Israel. Wajar
saja memang, mengingat Arab Saudi sudah sangat lama berpelukan dengan
kedigdayaan AS.
Sikap ketegasan yang berbau penentangan sana-sini sekaligus
menyeret ia sebagai tokoh kontroversial, semata-mata dilakukan atas dasar
kemanusiaan. Siapa sangka, ia begitu murah hati dan sangat mencintai keindahan.
Keindahan surgawi dalam dunia. Ia menjadi seseorang yang begitu terpukul
hatinya ketika melihat para manusia kelaparan dan kekurangan. Saat terjadi
krisis pangan di Haiti pada 2008, dengan sigap ia mengirim armada pesawat
terbang bermuatan 364 ton makanan. Lihat juga bantuannya pada Aceh saat
diterjang tsunami tahun 2004 silam, Venezuela tercatat memberikan bantuan
senilai 2 juta dolar AS untuk pendidikan, kesehatan dan perumahan. Belum lagi
saat ia dengan ramah memberi dukungan terhadap Iran, negara kesepian yang
diombang-ambing AS-Eropa karena diduga memiliki senjata pembunuh massal. Tercatat,
telah 11 kali total kunjungan kedua pemimpin tersebut; Chavez &
Ahmadinejad.
Rasanya sangat banyak sumbangan “cuma-cuma” yang diberikan
Venezuela kepada negara-negara (yang sedang kesusahan/krisis) lain di dunia. Ini
menjadi cerminan dirinya saat bersikap kepada rakyatnya sendiri. Selain kaum
kaya dan borjuis, tidak ada yang membenci Hugo Chavez. Pendidikan gratis, harga
BBM termurah di dunia, kesehatan gratis, perumahan gratis dan usaha untuk
mereduksi jurang sosial (kaya-miskin) adalah contoh kesuksesan Hugo Chavez
selama memimpin Venezuela. Tidak bijak rasanya memandang negara berhaluan
sosialis ---dengan standar kebutuhan negara masing-masing—merupakan negara
pengacau dan anti kemanusiaan. Sudah saatnya negara miskin, berkembang atau
negara dunia ketiga bangkit dan melihat, bahwa kapitalisme adalah iblis yang
menyesatkan. Bukan sosialisme sebagaimana media barat gencar memberitakannya. Termasuk
Indonesia yang semakin mirip sebagai bonekanya AS.
Indonesia perlu mencotoh kebijakan Venezuela dalam upaya
pemberantasan kemiskinan dan berdikari sebagai sebuah bangsa. Bangsa ini semakin lama semakin tergerus pada jurang
yang sangat dalam. Krisis 1998 seharusnya menjadi pelajaran, betapa kapitalisme
sebenarnya tidak akan kuat selamanya. Pun dengan krisis 2008 yang menimpa AS
dan sebagian besar negara eropa. Tidak perlu berbangga diri karena Indonesia
cenderung stabil pada krisis terakhir. Karena memang komoditi ekspor negara
kita tidak pernah sebesar negara lain.
Akhirnya saya selalu bermimpi, mendiami negeri sendiri tanpa
campur tangan pihak asing. Hidup dalam kemandirian ekonomi dan begitu kuat
dalam kebudayaan. Terlalu lama hidup menunjukkan wajah hipokrit di tengah
bangsa sendiri lama-lama jengah juga. Alih-alih memberdayakan kemampuan dalam
negeri, kita justru bunuh diri dengan investasi palsu.
Dan engkau, Hugo Chavez sang El Commandante, semoga semangatmu menular pada anak negeri ini. Agar
mampu melihat keserakahan dan kekejaman kapitalis global yang membunuh ribuan
anak penerus bangsa.
![]() |
Hasta Siempre, Hugo! |
Tak banyak kata yang bisa kusebutkan. Karena memang membahas
Hugo Chavez tidak ada habisnya. Hari ini, 3 Maret 2014, aku datang lebih cepat
dua hari menuju peringatan setahun pasca meninggalnya engkau. Layaknya seorang
rakyatmu, Frank Aponte yang rela mengantre dua hari demi mengantarkan engkau
pada peristirahatan terakhir.
Hasta La Victoria
Siempre, El Commandante!
Malang,
3 Maret 2014
Aqsha
Al Akbar
No comments:
Post a Comment
Silahkan komen yaa